Monday, March 23, 2020

China phobia.


Saya tidak pernah mau dianggap sebagai pengamat China. Saya lebih suka menulis tentang China berdasarkan pengalaman. Saya berusaha melepaskan diri dari segala persepsi yang terbentuk dari opoini para pakar dan pengamat tentang China. Namun saya ada juga membaca beberapa buku dari penulis Barat khususnya AS, tentang China.  Seperti yang ditulis oleh Jonathan D. Spence, berjudul “ The Search for Modern China”. Buku ini walau terkesan tidak objektif namun masih bisa diterima. Tetapi ada buku yang benar benar lahir dari pemikiran yang konservatif terhadap China. Buku yang ditulis oleh Michael Pillsbury’s yang berjudul “  The Hundred-Year Marathon: China’s Secret Strategy to Replace America as the Global Superpower". Ini memang benar benar provokatif. Membuat generasi muda AS jadi paranoid terhadap China.

Padahal kalau mereka mau membaca buku sejarah tentang China dari sejarawan abad 20, akan bisa menemukan alasan rasional akan sikap China sekarang. Seperti yang ditulis Immanuel C.Y, yang berjudul, Hsu’s The Rise of Modern China. Ray Huang’s China,  berjudul, A Macro History dan  Li Dun Jen’s , The Ageless Chinese: A History. Tetapi sayang sekali buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan AS sendiri justru tidak menarik bagi generasi muda AS. Kalaulah mereka bisa memahami sejarah tentang China, akan banyak pelajaran yang bisa mereka terima. Setidaknya mereka bisa tahu aspek lain dari pengertian demokrasi yang selama ini mereka pahami. Aspek lain dari kebebasan yang selama ini mereka pahami.

Sikap Trumps yang seenaknya menyebut Covid 19 sebagai China virus, bisa dikatakan karena pengaruh dari tulisan Michael Pillsbury’s. Banyak analis percaya bahwa buku kontroversial Pillsbury sangat besar pengaruhnya bagi kebijakan pemeritahan Trumps terhadap China. Teman saya analis investasi pernah mengatakan, Trumps butuh dukungan politik dari generasi muda yang jadi korban kegagalan generasi Baby boomer di Wallstreet dan beragam skandal korporat. Trumps butuh alasan kuat untuk mempersatukan generasi muda dalam narasi the greatest of America. Persepsi Pillsbury memang ampuh. Walau karena itu membuat hubungan AS dan China semakin sulit.

Makanya tidak aneh bila sebagian besar generasi muda AS percaya kata Trumps bahwa Amerika membantu China memenangkan perang melawan Covid 19 dengan bantuan tunai USD 100 juta. Padahal faktanya tidak pernah China menerima bantuan itu. Bantahan itu disampaikan secara resmi oleh Kemenlu China. Trumps mengatakan bahwa virus corona yang sekarang melanda AS disebarkan oleh China. Pemerintah China menolak tuduhan itu. China meminta WHO melakukan investigasi dengan membentuk tim pencari fakta atas penutupan Bio-Lab militer AS di Fort Detrick, Maryland. Setidaknya ada laporan investigasi alasan dibalik penutupan Bio Lab itu. AS mengabaikan argumen China itu. Sebagian warga AS tetap percaya apa yang dikatakan Trumps.

Semua orang tahu bahwa China sudah memenangkan perang terhadap Covid19, tetapi tidak banyak orang tahu betapa besar penderitaan yang harus dilewati oleh pemerintah dan rakyat China. Mereka sedang berdarah darah dihantam perang dagang, pada waktu bersamaan mereka dihantam wabah virus. Bayangkanlah, betapa berat yang dihadapi pemerintah China yang harus menjaga penduduk yang populasinya 4 kali penduduk AS. AS hanya ada 50 juta orang miskin secara struktural. Di China ada 150 juta orang miskin secara struktural. Akibat adanya lockdown kota Wuhan dan lockdown sebagian terhadap beberapa kota di China, dampak negatif psikologinya butuh waktu sedikitnya setahun untuk memulihkan mereka.

Di tengah proses recovery itu, China memaksa rakyatnya untuk mulai produksi agar ekonomi dunia bisa tertolong. Maklum porsi produk domestik bruto (PDB) Cina terhadap jumlah PDB seluruh dunia, saat ini China sudah sekitar 15% GDP-nya dibanding GDP dunia. Artinya bila China redub, maka dunia gelap.  Itu sebabnya bantuan China kepada negara yang kena wabah corona adalah keniscayaan untuk memastikan terjadinya pertumbuhan berkelanjutan.  Kalau China membantu negara lain menghadapi wabah corona, itu sama saja mereka menolong diri mereka sendiri. 

Kalaulah China punya ambisi agressor , tentu wabah corona ini dijadikan momentum untuk mendapatkan hegemoni. Apalagi negara lain kena wabah, China  sudah bisa melewati wabah itu dengan angka nol kasus Corona. China bisa saja melepas Tbill yang dipegannya dengan membanjiri pasar agar ekonomi AS collapse di tengah wabah corona. Tetapi China tidak lakukan. Kepada negara debitur seperti  Pakistan, Bangladesh, Italia, China menunda perudingan penyelesaian gagal bayar utang. Artinya secara tidak langsung China telah melakukan moratorium. 

Teman saya di China punya pandangan tersendiri terhadap sikap AS kepada negaranya. Menurut saya sikapnya cukup fair dan realisitis. “ Ketakukan AS terhadap China lebih karena tidak bisa memahami mengapa China bisa begitu cepat menguasai pasar,  ekonomi, tekhologi dan militer. Itu bukan hal yang luar bisa. Bahkan untuk ukuran penduduk, AS tak terkalahkan dalam porsi menguasai PDB dunia. Dengan hanya 4,5% dari populasi dunia, Amerika menghasilkan 20% dari produk domestik bruto (PDB) global. Bandingkan dengan China yang penduduknya 4 kali AS , hanya menguasai 15 dari PDB dunia.

Kalaulah mereka bisa memahami tentang kemajuan China, mereka tidak perlu takut kepada China. Bahkan seharusnya prihatin. Sumber segala kelemahan China secara politik ada pada jumlah penduduknya yang sangat besar, dan sumber daya ekonomi yang terbatas. Karena itu, tidak ada pemimpin China yang punya agenda untuk jadi agressor. Dan lagi China tidak pernah jadi negara kolonialis. Silahkan cek sejarah. China tidak punya pengalaman untuk jadi penjajah. China sudah terlalu pusing mikirin jumlah penduduk yang sangat besar, yang setiap tahun angka pertumbuhannya sama dengan jumlah penduduk Jakarta. Tidak ada alasan rasional membenci China kecuali memang ada kelainan jiwa, paranoid.

***
Banyak penduduk di dunia ini mengenal negara China terbelakang. Apalagi sejarah revolusi kebudayaan tidak perna hapus dari ingatan. Orang Eropa punya guyon tentang China. Semua buatan China termasuk Tuhan, but fake one. Bad image china tukang tiru dan bajak tekhnologi bukan rahasia umum. Ada juga stigma tentang China yang jorok dan kotor. Pemangsa apa saja, termasuk hewan liar. Oleh sebagian bangsa lain menyebut China anti Tuhan, karena komunis. Bahkan ada cafe bertuliskan " China dilarang masuk" Singkatnya semual hal negatif tentang China. Kemungkinan besar mereka belum pernah tinggal di China lebih dari 10 hari atau mungkin hanya kenal dari media massa dan buku sejarah dari persepsi orang luar China.

Tetapi dengan adanya C-19 menjadi pandemi global, seluruh mata dunia terarah kepada China. Mereka baru sadar ternyata China sudah sangat maju dalam bidang industri biomedical, sistem politiknya sangat kuat, rakyatnya sangat tangguh, dan yang lebih hebat lagi adalah China tetap menjadi nomor satu ekonominya disaat semua negara memasuki resesi ekonomi. Teman saya orang Inggris mengatakan, bahwa tidak ada sistem politik, ekonomi dan sosial, bahkan budaya di dunia ini yang bisa sehebat China. Semua negara boleh saja hebat tekhnologi dan sainnya, tetapi kekuatan itu tidak nampak ketika terkena pandemi. Berbeda dengan China.

Andaikan pandemi C-19 ini berakhir, resesi ekonomi dunia bisa berlalu, persepsi orang tentang China sudah berubah total, kecuali yang bebal. Mereka tidak lagi dengan persepsi sebelumnya. Apalagi sikap respect China kepada negara lain yang terkena pandemi, sangat luar biasa. China mengirim petugas palang merah nya. Memberikan bantuan alat kesehatan, dan seakan China menebarkan paradigma baru dalam politik dunia, bahwa hidup damai atas dasar kemanusiaan saling tolong menolong adalah kekuatan menghadapi tantangan apapun, termasuk bencana.

Apa yang membuat saya terharu. China diaggap oleh sebagian orang tidak bertuhan karena paham komunis. Tetapi lewat Corona China mengaktualkan sikap kemanusiaan yang tinggi, dan itu merupakan esensi dari eksistensi Tuhan yang maha pengasih lagi penyayang. Sangat bertolak belakang dengan ISIS yang mengagungkan Tuhan tapi pada waktu bersamaan tidak ada kemanusiaan. Justru merendahkan nilai nilai kemanusiaan, penuh kebencian bau amis darah. Semakin mempermalukan orang yang berjuang dengan alasan agama. Andaikan orang beragama bisa mengamalkan keberadaan Tuhan seperti China lakukan, syiar agama melambung ke langit dan membumi penuh rahmat..mungkinkah kita bisa mengambil hikmah…?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.