Friday, February 21, 2020

Kendaraan listrik.

Dua hari lalu teman saya sebagai team ahli pemerintah berdiskusi dengan saya soal rencana pemerintah membangun kendaraan listrik.  Dia presentasikan dari hulu sampai hilir rencana itu. Sangat luar biasa. Detail sekali. Memang pemerintah sangat serius membangun kendaraaan listrik. Sepertinya tidak ingin pengalaman membangun kendaraan fuel BBM terjadi pada kendaraan listrik. Artnya kemandirian dan sekaligus memanfaatkan sumber daya mineral yang kita miliki  menjadi issue utama dalam program itu. 

Saya memberikan masukan sederhana. Karena saya pedagang. Otak saya engga sampai pada perencanaan yang jelimet itu. Bagi saya kendaraan listrik itu akan tumbuh dan berkembang kalau ia bersahabat dengan kebutuhan orang. Kuncinya ada pada baterai. Kalau baterai hanya cukup untuk menempuh jarak puluhan kilometer, engga ada orang yang minat beli kendaraan listrik. Oh kan ada power bank yang disiapkan di dalam kendaraan. Katanya. Baterai aja udah berat, apalagi tambah power bank. Itu bukan idea yang friendly. Kan ada charger mobile dan bisa juga di charger di rumah, katanya lagi.  Itu pasti kapasitasnya rendah. Emang berapa listrik di rumah orang sehingga bisa charge dengan kapasitas listrik besar? Itu bukan ide yang bagus.

Tapi  kendaraan listrik itu hemat energy, katanya.  Orang beli kendaraan itu bukan soal hemat energi. Tetapi kebutuhan untuk mobilitas, kenyamanan dan rasa aman. Kalau orang menggunakan kendaraan listrik tapi kawatir baterai habis karena kapasitas baterai terbatas, itu sudah engga marketable. Jadi gimana seharusnya.? menurut saya persoalan kendaraan listrik itu bukan pada tekhnologi kendaraan tetapi soal tekhnologi baterai.  Ini hal yang rumit. Karena itu berhubungan dengan material dan design. Bisa saja bateri tahan lama, tapi berat. Itu pasti engga airodinamis lagi tuh kendaraan. Bisa saja ringan, tetapi engga tahan lama, orang juga ogah.

Kita memang kaya akan bahan material untuk baterai, yang terdiri dari nikel, kobalt, dan mangan. Saat sekarang tekhnologi teruji dan handal adalah CATL ( Jerman), Panasonic ( jepang), dan LG ( Korea). Belajarlah pada mereka dulu. China saja sekarang berusaha menyerap tekhnologi dari mereka. Contoh Baterai NCM 811 terbaru dari CATL, yang mengandung 80 persen nikel, kobalt 10 persen, dan mangan 10 persen, dapat mencapai 340 watt jam per kilogram - ukuran utama untuk kepadatan energi. Bandingkan dengan baterai China NCM 622 , yang dapat menghasilkan 240 watt jam per kg. Udah chargernya lama, jarak tempuh engga jauh.

Tapi China bisa terus produksi walau tekhnologi baterai mereka masih tertinggal. ?katanya. Itu bukan karena minat pasar besar. Tetapi karena subsidi dari pemerintah China. Konsumen dapat refund beli kendaraan setelah sekian ribu kilometer. Bebas pajak penjualan. Bebas ongkos toll. Apakah pemerintah kita mau seperti China. Kan engga mudah.  Dan lagi bagi China, subsidi itu bertujuan agar terjadi supply chain tekhonologi baterai secara meluas, melahirkan new business , sehingga ongkos produksi jadi murah. Sekarang berkat R&D sejak tahun 2014, memang China sudah berhasil memodifikasi tekhnologi baterai dari jerman , CATL, yang sekarang 60 % pasar baterai di China merek CATL. 

Terus, andaikan Jepang atau jerman, atau Korea mau memberikan tekhnologi, apalagi kendalanya, katanya. Kendala berikutnya adalah kesediaan listrik di stasiun charger. Kalau untuk ukuran kota besar, diperlukan banyak stasiun charger agar mudah di jangkau orang. Listriknya besar sekali. Kalau mengandalkan listrik yang ada pada PLN sekarang pasti engga cukup. Kalaupun dipaksakan pasti mahal untuk bangun infrastrukturnya, dan ini kembali kepada biaya charger. Kalau biaya charge murah, engga ada orang mau invest. Di China saja, biaya charger untuk jarak tempuh 300 KM itu sama dengan 90% harga BBM. Dari segi cost memang engga jauh beda dengan BBM. Belum lagi harus nunggu sekian jam untuk charger. Sementara BBM engga pake nunggu lama isinya. Tapi bagaimanapun kendaraan listrik ramah lingkungan. Niat pemerintah harus diapresiasi.  Dia tersenyum. Cara berpikir pedagang memang realistis, karena konsumen lah raja dan penentu tekhnologi itu diterima atau tidak.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.