Anda boleh saja dapat warisan dari keluarga dengan harta banyak. Tetapi kalau anda tidak punya sumber daya keuangan maka harta itu hanya masalah waktu akan habis dijual untuk konsumsi. Sebaliknya walau anda terlahir tanpa harta namun anda dapat berkembang karena anda punya sumber daya keuangan. Kalau dulu sumber daya keuangan itu hanya dua yaitu satu dari keluarga atau teman, kedua dari Bank. Hanya itu. Keluarga atau teman disebut dengan sumbedaya keuangan yang berbasis cinta. Sementara sumber dari bank berbasih collateral. Dalam hal negara, dulu sebelum tahun 2000 sumber daya keuangan negara berasal dari pajak , bagi hasil dan utang. Utang ini berasal dari negara lain atau G2G yang bersifat politik. Ada juga kuridor multilateral seperti CGI atau IMF atau World bank.
Setelah tahun 2000 kita membuka diri dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Format APBN tidak lagi seperti buku Toko atau nerara T ( debit kredit yang seimbang ) tetapi di ubah menjadi vertikal atau I . Ini standard Government Finance Statistic. Dengan standar ini maka APBN kita sudah seperti neraca perusahaan. Utang tidak lagi dianggap sebagai pendapatan atau penerimaan. Utang ditempatkan sebagai financial resource atau sumber daya keuangan. Nah yang namanya sumber daya keuangan maka itu selalu berhubungan dengan standar rasio kelayakan dihadapan investor atau kreditur. Tahun 2000-2003 Gus DUR dan kemudian Megawati tidak bisa lagi menarik hutang seperti era Soeharto. Sumber daya keuangan kering. Makanya terpaksa menjual asset lewat BPPN atau pelepasan asset BUMN.
Era SBY pada periode pertama, Indonesia menata sistem keuangan negara yang bertumpu pada pajak dan utang sebagai sumber daya keuangan. Sampai dengan periode kedua SBY, sumber daya keuangan kita melimpah. Karena faktor eksternal dimana harga 10 komoditas utama Indonesia naik dipasar dunia. Sehingga neraca kita positip yang memudahkan pemerintah meng akses sumber daya keuangan. Setelah krisis 2008 terjadi banjir likuiditas di pasar uang global karena AS mengeluarkan kebijakan QE. Ini dimanfaatkan dengan baik oleh SBY untuk menarik utang melalui pasar uang global. Namun utang itu sebagian besar tidak digunakan untuk sektor produksi tetapi lebih kepada penguatan konsumsi domestik lewat subsidi.
Tahun 2013 AS mulai menarik supply uang di pasar melalui kebijakan tapering off yang sehingga suku bunga the fed mulai di naikan. Akibatnya tahun 2014 pasar uang global kekurangan likuiditas karena kebijakan tapering off semakin kencang. Ketika Jokowi masuk Istana tahun 2014, posisi APBN kita dalam kondisi defisit primer atau pendapatan negara tidak cukup lagi untuk menutup belanja negara di luar pembayaran cicilan utang dan bunga. 10 komoditas utama Indonesia harganya jatuh dipasar dunia. Dalam kondisi ini tidak mungkin Jokowi dapat menarik utang dipasar dengan mudah. Kalaupun ada , tentu suku bunga tinggi. Lantas apa solusi Jokowi? Pertama, restruktur APBN agar sehat dan kredibel. Kedua, membuat aturan agar Dana pihak ketiga ( DPK ) dari institusi seperti dana pensiun dapat diperluas penempatannya atau portfolionya.
Restruktur APBN itu tidak mudah. Karena ini berkaitan visi, orientasi dan standar kepatuhan sesuai dengan design dari strategi pembangunan yang ditetapkan oleh Jokowi. Semua bisnis non tradeable tidak lagi mendapatkan insentif dan fasilitas. Mengapa ? agar sektor real dalam tumbuh tanpa distorsi dengan pasar. Kalau sektor real tumbuh, pajak juga akan meningkat. Orientasi APBN diarahkan untuk sektor produksi dengan penyediaan infrastruktur ekonomi. Mengapa ? agar dunia usaha bisa efisien. Bila dunia usaha efisien maka daya saing akan tinggi, tentu akan mendorong orang untuk ber-investasi. Terakhir adalah mereformasi UU pajak agar peluang meningkatkan tax ratio lebih mudah dicapai. Dengan kebijakan itu, maka pasar melihat bahwa Jokowi serius mengelola keuangan negara secara modern dan transparans.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan peningkatan dana investasi asuransi dan dana pensiun pada instrumen obligasi. Lembaga jasa keuangan non-bank diwajibkan Peraturan OJK No.1/POJK.05/2016 untuk meng-investasikan sekitar 20-30 persen dana mereka di surat utang negara, baik obligasi konvensional ataupun obligasi syariah (sukuk) yang diterbitkan pemerintah. Perusahaan asuransi jiwa diharuskan menempatkan dana pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30 persen dari keseluruhan nilai investasi. Sementara itu, perusahaan asuransi umum dan reasuransi, minimal 20 persen. Adapun Dana Pensiun diwajibkan sedikitnya 30 persen di SBN. Menurut data, porsi kepemilikan obligasi oleh perusahaan asuransi meningkat menjadi 12,36 persen pada tanggal 18 April 2016 dari sebelumnya hanya 11,74 persen pada akhir tahun lalu. Kepemilikan obligasi oleh Dana Pensiun juga mengalami kenaikan pada periode yang sama menjadi 3,55 persen dari sebelumnya 3,41 persen. Selain kedua lembaga tersebut, porsi kepemilikan obligasi dari perusahaan pengelola reksa dana juga mengalami kenaikan, menjadi 4,49 persen dari sebelumnya 4,21 persen.
Apa hasilnya ?
Pertama, naiknya peringkat kredit Indonesia ke kategori layak investasi (investment grade). Tidak dapat dipungkiri, kenaikan peringkat kredit ini sangat berpengaruh terhadap arus masuk dana asing ke dalam negeri. Hal ini tercermin dari peningkatan volume dana masuk ke pasar obligasi mulai pertengahan tahun 2015, dibandingkan periode sebelum Indonesia mendapatkan peringkat itu. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari tiga lembaga pemeringkat dunia telah memberikan stempel 'layak investasi' dengan outlook 'stabil' terhadap Indonesia. Bahkan, Moody's dan Fitch Ratings memberikan peringkat 'layak investasi' pada waktu hampir bersamaan. Hanya Standard & Poor's (S&P) yang masih mempertahankan peringkat Indonesia pada level BB+ atau outlook positif.
kedua, turunnya risiko investasi di pasar obligasi Indonesia. Kondisi ini tercermin dari turunnya nilai Credit Default Swap (CDS) Indonesia. CDS merupakan kontrak swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual sementara pembeli menerima hak untuk memperoleh pembayaran bila kredit mengalami default atau kejadian lain yang tercantum dalam credit event, misalnya kebangkrutan atau restrukturisasi. Dengan kata lain, CDS adalah sejenis perlindungan atas risiko kredit. Nilai CDS 5 dan 10 tahun pada tiga bulan terakhir mengalami penurunan. Penurunan ini dapat disebabkan beberapa faktor, seperti membaiknya kondisi ekonomi. Ini termasuk menyempitnya defisit transaksi berjalan Indonesia, rendahnya inflasi tahunan, serta pertumbuhan ekonomi yang masih terjada di level 5 persen. Selain itu, CDS Indonesia baik yang periode 5 ataupun 10 tahun saat ini bergerak relatif stabil jika dibandingkan periode tahun 2008 dan 2011. Pada kedua tahun itu, CDS Indonesia bergerak dengan volatilitas yang sangat tinggi, karena berhubungan dengan ekspektasi akan kemampuan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi.
Ketiga, yield obligasi yang ditawarkan lebih menarik dibandingkan negara sejenis. Yield yang ditawarkan obligasi Indonesia masih menarik dibandingkan negara-negara 'fragile five' lainnya, kecuali China. Berdasarkan data, yield obligasi Indonesia mengalami penurunan paling kencang yang kemudian disusul oleh Afrika Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa investasi surat utang di Indonesia jauh lebih menjanjikan dibandingkan tiga negara lainnya, yakni Afrika Selatan, India, dan Brasil. Ketiga hal di atas memicu berbondong-bondongnya investor asing masuk ke instrumen utang Indonesia. Maka financial resource pun terbentuk. Dengan adanya financial resource maka Indonesa bisa terus menghadapi tekanan eksternal dalam bentuk apapun. Mengapa ? Walau AS dan China bertarung. Walau AS semakin gila dalam kebijakan moneternya. Tidak akan menggantikan posisi money is the king dan uang selalu datang ketempat yang nyaman. Selagi financial resource atau sumber daya keuangan tersedia maka money follow program. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Yang penting teruslah bekerja keras untuk kini dan besok.
Mengapa Jokowi dalam waktu tiga tahun dapat menjadikan APBN kredibel dan sehat? Padahal Jokowi memulai dalam keadan APBN defisit, dan situasi politik yang tidak 100% mendukungnya di DPR. Sementara era SBY 10 tahun walau ekonomi sempat booming namun APBN tidak kredibel. Karena Jokowi menjaga konsistensi namun tetap bersikap sederhana terhadap semua pihak. Dari kesederhaan sikap dan perbuatannya , tidak sulit baginya untuk mengarahkan idea dan hal yang konstruktif kepada bawahannya agar emosi tetap terjadi secara positip, mengundang orang untuk mengambil langkah keyakinan melalui sepatah kata tentang apa yang mungkin , menciptakan sebuah inspirasi kolektif. Semua itu tercermin dari caranya berpikir ( way of thinking ) , merasakan ( feeling ) dan kemampuannya memfungsikan semua potensi positip ( functioning ) , sebuah cara hidup ( the way of life ) dan cara menjadi ( way of being ) yang transformative. Hal tersebut melebur dalam hati dan jiwa seiring keteladannya untuk negeri yang dia cintai.
Mengapa Jokowi dalam waktu tiga tahun dapat menjadikan APBN kredibel dan sehat? Padahal Jokowi memulai dalam keadan APBN defisit, dan situasi politik yang tidak 100% mendukungnya di DPR. Sementara era SBY 10 tahun walau ekonomi sempat booming namun APBN tidak kredibel. Karena Jokowi menjaga konsistensi namun tetap bersikap sederhana terhadap semua pihak. Dari kesederhaan sikap dan perbuatannya , tidak sulit baginya untuk mengarahkan idea dan hal yang konstruktif kepada bawahannya agar emosi tetap terjadi secara positip, mengundang orang untuk mengambil langkah keyakinan melalui sepatah kata tentang apa yang mungkin , menciptakan sebuah inspirasi kolektif. Semua itu tercermin dari caranya berpikir ( way of thinking ) , merasakan ( feeling ) dan kemampuannya memfungsikan semua potensi positip ( functioning ) , sebuah cara hidup ( the way of life ) dan cara menjadi ( way of being ) yang transformative. Hal tersebut melebur dalam hati dan jiwa seiring keteladannya untuk negeri yang dia cintai.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.