Friday, October 12, 2018

Infrastruktur di Era SBY dan Jokowi.

Dua tahun setelah SBY kembali terpilih sebagai presiden periode ke dua, tepatnya pada 20 Mei 2011, dibentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (disingkat KP3EI). KP3EI adalah sebuah lembaga yang melakukan koordinasi untuk pelaksanaan MP3EI ( Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Lembaga ini dibentuk berdasarkan Pasal 4 dari Perpres RI Nomor 32 Tahun 2011 yang diketuai langsung oleh Presiden Republik Indonesia. Tim ini bekerja untuk mempersiapkan regulasi, konektifitas, Sumber daya manusia dibidang IPTEK. Dari MP3EI ini lahirlah program kuridor ekonomi yang terdiri dari kuridor ekonomi Sumatera, Kalimantan, jawa, Sulawesi, Bali dan NTB, Papua dan keluluan Maluku. Tepat tiga tahun atau menjelang akhir masa jabatan SBY,  selepas Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dijalankan, SBY meresmikan Jumlah proyek sebanyak 66 unit. Koridor Jawa memiliki tambahan proyek terbanyak, mencapai 19 pembangunan infrastruktur baru. Sedangkan koridor Maluku-Papua paling sedikit, hanya 7 proyek. Ini hanya peresmian , tetapi belum dibangun namun sudah direncanakan dengan baik.

Adapun proyek dimaksud adalah 

Koridor Sumatera
1. Pembangunan Jalur Ganda KA Double Track Medan-Bandara Internasional Kuala Namu (Rp 878 miliar).
2. Pembangunan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi (Rp 5,25 triliun).
3. Pembangunan PLTP Sarulla 1 330MW (Rp 17,56 triliun).
4. Pembangunan Pabrik Oleochemical senilai Rp 2,04 triliun.
5. Pengembangan Pelabuhan Container Batu Ampar Batam.
6. Revitalisasi pabrik pupuk PUSRI 2B senilai Rp6,24 triliun.
7. Pembangunan jaringan transmisi Jawa-Sumatera HVDC (Rp25,1 triliun).
8. Pembangunan PLTU Sumatera Selatan 8 2x620 MW (Rp 14,04 triliun).
9. Pembangunan PLTU Banjarsari 2x110 MW senilai Rp 2,88 triliun.
10. Pengembangan pariwisata tanjung lesung senilai Rp 73,8 triliun.
11. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api senilai Rp 12,3 triliun.

Koridor Jawa
1. Pembangunan Terminal Multipurpose Teluk Lamong tahap 1 Rp 4,1 triliun.
2. Pembangunan Jalur ganda KA lintas utara Jawa Cirebon- Surabaya senilai Rp 16,4 triliun.
3. Pengembangan Terminal Bandara Internasional Juanda senilai Rp1,05 triliun.
4. Pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta senilai Rp26,2 triliun.
5. Pembangunan Bandara Internasional Kertajati senilai Rp 8,2 triliun.
6. Pembangunan Jalan tol Cikampek-Palimanan senilai Rp1,25 triliun.
7. Pembangunan Jalur ganda KA dan elektrifikasi Serpong-Maja-Rangkasbitung senilai Rp1,5 triliun.
8. Pengembangan Pelabuhan tanjung emas, Semarang senilai Rp545 miliar.
9. pengembangan PLTU Adipala 660 MW senilai Rp6,9 triliun.
10. Pembangunan Jalan tol Surabaya-Mojokerto senilai Rp3,1 triliun.
11. Pembangunan Jalan tol Mojokerto-Kertosono senilai Rp3,4 triliun.
12. Pembangunan Jalan tol Gempol-Pandaan senilai Rp1,1 triliun.
13. Pengembangan pelabuhan Branta senilai Rp158 miliar.
14. Pembangunan pabrik kendaraan bermotor R-4 senilai Rp11,8 triliun.
15. Pembangunan Pabrik Semen Merah Putih senilai Rp6,8 triliun.
16. Pembangunan Smelter 1.200 MT senilai Rp1,29 triliun.
17. Pembangunan Smelter 300 ribu ton senilai Rp3,6 triliun.
18. Pembangunan Smelter 243.600 ton senilai Rp4,02 triliun.
19. Pembangunan Smelter 100.000 MT senilai Rp1,9 triliun.

Koridor Kalimantan
1. Pengembangan Terminal Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan senilai Rp2,1 triliun.
2. Pengembangan tiga bandara di wilayah perbatasan senilai Rp390 miliar.
3. Pembangunan PLTG Kaltim Peaking 2x60 MW senilai Rp960 miliar.
4. Proyek PT Total Indonesia, Anjungan SISI-NUBI 2B di lepas pantai senilai Rp8,1 triliun.
5. Proyek Pengembangan Lapangan fasilitas lepas pantai dan gelar pipa lapangan ruby senilai Rp5,5 triliun.
6. Pembangunan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) senilai Rp34 miliar.
7. Pembangunan Institut Teknolohi Kalimantan (ITK) senilai Rp99 miliar.
8. Pembangunan PLTU Embalut, Unit 3 (50 MW) senilai Rp759 miliar.
9. Pembangunan PLTGU Senipah 2x41 MW senilai Rp2,1 triliun.
10. Pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina senilai Rp25,3 triliun.
11. Pembangunan Chemical Grade Alumina Refinery (CGA) senilai Rp5,3 triliun.

Koridor Sulawesi
1. Pengembangan PLTA Poso II 3x65 MW senilai Rp 3,8 triliun.
2. Pengembangan fasilitas pelabuhan pantoloan senilai Rp 2,7 triliun.
3. Pengembangan Bandaran Mutiara Sis-Al Jufrie Palu senilai Rp 836 miliar.
4. Pengembangan Jalur Kereta Api Lintas Makasar-Parepare senilai Rp 6,4 triliun.
5. Kawasan Ekonomi Khusus Palu senilai Rp1,7 triliun.
6. Kawasan Ekonomi Khusus Bitung senilai Rp2,3 triliun.
7. Pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung senilai Rp4,3 triliun.
8. Pembangunan PLTU Takalar/Punagaya 2x100 MW senilai Rp2,8 triliun.
9. Pembangunan Kilang LNG Donggi-Senoro senilai Rp28 triliun.
10. Pembangunan PLTA Karama 450 MW senilai Rp9 triliun.

Koridor Bali-Nusa Tenggara
1. Pengembangan 3 Pelabuhan di Nusa Tenggara Barat senilai Rp 231 miliar.
2. Pembangunan Kawasan Pariwisata Teluk Mekaki senilai Rp 3 triliun.
3. Pembangunan Kawasan Pariwisata Tanjung Ringgit senilai Rp 5 triliun.
4. Pembangunan BIP (Bali Internasional Park) senilai Rp 4 triliun.
5. Pengembangan Resort pariwisata bukit doa senilai Rp 100 miliar.
6. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika senilai Rp 30 triliun.
7. Pembangunan bendungan titab senilai Rp428 miliar.
8. Pembangunan Dam Raknamo senilai Rp1 triliun.

Koridor Maluku-Papua
1. Pengembangan Bandara di Tual, Maluku senilai Rp 123 miliar.
2. Pembangunan Pelabuhan khusus tanjung buli senilai Rp 226 miliar.
3. Pembangunan kawasan Industri Maritim Indonesia senilai Rp 1,3 triliun
4. Pengembangan Bandara Sentani, Papua senilai Rp 1,1 triliun.
5. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Morotai senilai Rp 6,8 triliun.
6. Pembangunan Jaringan Backbone serat optik senilai Rp 2,5 triliun.
7. Pembangunan Jalan trans papua (jalan P4B) senilai Rp 11,3 triliun

Mengapa sampai MP3EI diadakan? Tanya saya kepada teman di Bappenas. Karena sejak SBY berkuasa 2004 sampai 2009 praktis pembangunan infrastruktur ekonomi sangat minim sekali bila dibandingkan dengan luasnya wilayah indonesia. Maklum sebagian besar sumber pembiayaan proyek berasal dari APBN. Sehingga sangat lambat proses eksekusinya. Contoh bila ada program pembangunan satu project, harus melalui proses yang tidak sederhana.  Pertama menurutnya,  rencana disusun oleh instansi , Ketika rencana ini disusun muatan biaya didalam rencana itu akan nampak sebagai berikut : biaya anggota team ( panitia pembangun) termasuk honor, biaya rapat, biaya study, biaya asistensi. BIaya ini umumnya mudah diperbesar. Tapi yang penting pos anggaran ini harus tersedia terlebih dahulu. Setelah itu, tahap kedua, adalah menghitung kebutuhan anggaran project. Pada anggaran project ini pos segala biaya yang tidak berhubungan langsung dengan project diperhitungkan.Maklum untuk bisa teralokasinya anggaran project harus ada dukungan dari DPR/D dan instansi pengawas serta otoritas anggaran. Para mereka ini harus kebagian jatah. Memang secara resmi tidak ada pos anggaran untuk mereka namun termuat didalam anggaran project lewat mark up. Dari itulah nilai anggaran yang akan tercantum dalam rencana belanja modal.

Dari proses ini,  realisasi belanja modal hanya mencapai 70 % setahun. Artinya anggaran untuk pengeluaran yang berhubungan dengan team pelaksana ( panitia)  umumnya habis terpakai dan sisanya yang  berkaitan dengan realisasi kerja yang akan dirasakan langsung oleh rakyat umumnya tertunda alias melambat. Mengapa terlambat ? ya para pelaksana project takut ambil resiko hukum. Seperti masalah pembebasan lahan yang selalu dijadikan alasan atau alasan lemahnya koordinasi dengan instansi terkait atau masih diperlukan payung hukum untuk kelancaran project itu.  Yang jadi masalah saat itu adalah misal pada APBN-P 2012, dari Rp1.435,4 T total APBN  namun porsi anggaran belanja modal adalah sebesar Rp 168,7 triliun, atau tidak lebih 12 %. Selebihnya habis untuk belanja rutin yang berkaitan dengan Belanja Pegawai, Barang, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja lain-lain yang tidak ada kaitannya dengan penambahan asset atau jasa yang bisa delivery pemerintah kepada rakyat. Artinya sangat banyak pos anggaran disemua lini yang bisa dipangkas untuk dialihkan keproject nyata. 

Makanya hampir tidak mungkin SBY bisa merealisasikan rencana mulianya mempercepat pembangunan nasional melalui program MP3EI itu. Perhatikan anggaran pembangunan infrastruktur era SBY sangat rendah sekali. World Bank dalam laporannya pada 2014 pernah menyoroti rendahnya investasi infrastruktur yang menyebabkan Indonesia tertinggal. Sebelum krisis moneter 1997-1998, investasi di infrastruktur pernah mencapai 7 persen dari PDB. Namun, beberapa tahun terakhir hanya berada di bawah lima persen. Padahal negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam memiliki rasio di atas 7 persen, apalagi China yang investasi infrastrukturnya di atas 10 persen dari PDB. World Bank juga menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2001 - 2011 bisa lebih tinggi jika saja alokasi infrastruktur pada PDB lebih tinggi.

Nah di era Jokowi, semua rencana yang sudah dibuat oleh SBY tidak diubah. Jokowi tidak membuat rencana baru melainkan memperbaiki rencana yang sudah dibuat SBY khususnya MP3EI. Yang diperbaiki bukan designnya tetapi orientasinya yang lebih kedaerah luar Jawa. Namun kembali lagi , masalah Jokowi juga percis yang diwariskan oleh SBY, yaitu ruang fiskal semakin kecil untuk ekspansi pemerintah. Tak lebih 10 % APBN tersisa untuk pembangunan infrastruktur.  Kalau Jokowi tetap mengikuti APBN SBY maka Jokwi akan terjebak dengan APBN yang tersandera utang dan belanja rutin yang semakin membesar. Makanya APBN 2014 di revisi.  Ya, andaikan bisa dihemat sebesar 30% saja dari total APBN maka ada lebih dari Rp, 400 trilun yang bisa digunakan untuk belanja modal. Mengapa selama Era SBY tidak terpikirkan untuk dihemat ? Hal ini disebabkan kebebasan mengajukan anggaran pada setiap instansi. Sementara Kementrian Keuangan tidak mempunyai kemampuan lebih menilai usulan project itu. Apalagi kadang sebelum project diajukan, lobi dengan DPR sudah dilaksanakan untuk menekan Otoritas anggaran. 

Apakah bisa anggaran itu dihemat ? Bisa ! Bagaimana ? Ya, tergantung Pemimpinnya. Birokrat hanya mengikut apa kata pemimpinnya. Ambil contoh, anggaran Pelantikan Gubernur DKI awalnya dianggarkan sebesar Rp. 1,2 miliar bisa turun menjadi Rp. 500 juta. Bahkan di Solo menghapus anggaran pelantikan walikota. Juga dulu , lanjutnya, ketika awal reformasi di zaman Habibie, Gus Dur, Megawati , APBN kita tidak sebesar saat era SBY. Jumlah birokrat dimasa itu dengan sekarang perbandingannya tidak begitu besar. Namun anggaran yang kecil itu tidak membuat pemerintah Gus Dur, Megawati, Habibie tidak bisa kerja. Birokrasi tetap jalan.

Di era Jokowi, secara system penghematan dilakukan dengan mengurangi pos anggaran software yang berkaitan dengan anggaran pelayanan dan kebijakan. BIaya rapat, biaya study , biaya dinas, Perjalanan dinas dan lainnya dikurangi atau bila perlu pembangunan kantor baru atau mempercantik gedung baru tidak dijadikan prioritas. Dana tersebut alihkan kepada anggaran hardware ( infrastruktur ) agar  setiap tahun Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pemerintah terus bertambah yang bisa dirasakan oleh rakyat. Artinya harus ada mindset baru dari para birokrat untuk fokus pada peningkatan PMTB. Mereka harus professional dan amanah dalam menyusun dan melakukan penilaian atas project yang diusulkan. Disamping itu Kementrian Keuangan harus pula punya kemampuan diatas rata rata untuk memastikan anggaran yang diajukan oleh instansi memang layak dimasukan dalam anggaran dan dibahas oleh DPR yang anggotanya amanah. Instansi semacam kantor pelayanan umum yang berbentuk loket  seperti kantor pajak, bea cukai, pelayanan perbendaharaan negara (KPPN), perizinan industri, investasi, perdagangan, kependudukan dan lain lain lebih baik berkonsentrasi pada perbaikan pelayanan melalui system IT yang cepat dan hemat. E government juga bisa diterapkan agar mengurangi pemborosan anggaran project pembangunan dengan biaya besar yang outputnya ‘hanya’ kertas yang kegunaannya sangat minimal.

APBN di era Jokowi terus meningkat dari tahun ke tahun. Artinya walau penghematan dilakukan, Anggaran tidak berkurang. Yang terjadi hanya pengalihan dana penghematan itu untuk terbangunnya infrastruktur ekonomi dan social. Agar roda perekonomian nasional dapat  bergerak efektif dan efisien untuk meng eskalasi pertumbuhan ekonomi menuju kemakmuran. Pada gilirannya akan meningkatkan pemasukan pajak untuk memperkuat fungsi social APBN demi tagaknya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk birokrat.  Jadi apa yang membedakan Pemerintahan SBY dengan Jokowi? ya dalam hal focus pembangunan. Jokowi focus kepada infrastruktur sementara SBY focus kepada konsumsi domestik. Kalau ada pihak bilang bahwa era SBY lebih banyak pembangunan infrastruktur ekonomi itu jelas hoax. Tetapi kalau SBY yang merencanakan semua yang sekarang dibangun oleh Jokowi , itu valid dan benar.  Jokowi sebagai eksekutor dan SBY sebagai planner. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.