Tuesday, March 27, 2018

Ketimpangan kepemilikan lahan

Hidup ini tidak adil memang. Disaat kita menguasai sepetak tanah, pasti ada orang yang tidak punya atau kehilangan haknya. Tanah adalah harta yang paling hazasi bagi manusia yang hidup di planet bumi ini. Bayangkanlah kehidupan tanpa rumah. Hidup dari menyewa diatas tanah hak orang lain. Apalagi hidup dari tanah namun hak tanah ada pada orang lain. Berproduksi berpeluh namun nikmatnya untuk orang lain. Tetapi dari dulu setiap negara berdiri diatas dasar isme, dan setiap isme berangkat dari semangat kaum terpelajar yang sebaian besar punya mimpi besar, tentu besar untuk dirinya lebih dulu, bukan besar untuk orang lain , apalagi untuk rakyat jelata. Itulah kehidupan sosial yang terjebak dengan keangkuhan politik yang membuat lahir kelas feodal dan jelata.

Makanya jangan kaget bahwa 71 persen hutan Indonesia dikuasai perusahaan. Sebanyak 22 juta hektare tanah perkebunan dikuasai pihak swasta serta negara. Dimana rakyat ? Sementara, berdasarkan data BPS 2017, sekitar 17 juta penduduk miskin hidup di desa dan memiliki mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini membuat kerentanan timbulnya konflik masyarakat melawan pemodal. Benarkah ? Konplik agraria terjadi secara massive dari tahun ketahun sejak negeri ini merdeka. Tahun 2005, SBY mencanagkan sosialisasi Reformasi Agraria kepada berbagai pihak, baik di kalangan pemerintahan, akademisi, pegiat agraria dan para pemangku kepentingan lainnya. Tetapi sampai akhir jabatan periode ke dua SBY, Pasalnya, SBY hingga memasuki periode kedua masa kepemimpinan belum jua merealisasikan janjinya untuk membagikan tanah kepada rakyat. Termasuk, janji menyelesaikan konflik tanah yang ada.

Di era Jokowi, program reformasi agraria dilaksanakan dengan cepat dan berani. Jokowi telah menempatkan reforma agraria sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. Tanah seluas 9 juta hektar menjadi rencana redistribusi tanah dan legalisasi aset di bawah payung reforma agraria. Sumber tanahnya berasal dari kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan (perkebunan). Sedangkan dalam rangka memperluas wilayah kelola masyarakat di kawasan hutan, target 12,7 juta hektar hendak dialokasikan untuk dapat diberikan ijin kelolanya kepada masyarakat.

Walau reforma agraria terkesan lambat namun ada upaya serius dari Jokowi untuk mempercepat realisasi pembagian lahan tersebut. Memang tidak mudah, Karena hambatan politik yang bersumber begitu besarnya kekuatan modal pada lahan sehingga tidak mudah bagi Jokowi untuk bergerak cepat. Namun dengan dialogh dengan semua stakeholder hambatan itu lambat laun dapat diatasi dan proses pembagian lahan dari tahun ke tahun terus meningkat. Dan bukan hanya pembagian lahan tetapi juga akan dibentuknya kelembagaan sebagai pendamping petani untuk meningkatkan nilai produksi dari lahannya. Jadi memang tidak ada yang bohong soal pembagian lahan kepada rakyat. Itu sudah jadi program nasional dan setiap tahun target terus meningkat. 

***
Tahukah anda bahwa Gini rasio pertanahan saat ini ( 2017) sudah 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Data dari Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyebutkan, 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut, baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap.

Di sisi lain, Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektar. Jadi penguasaan lahan itu sudah terjadi puluhan tahun sebelum Jokowi jadi presiden. Semua mereka yang menguasai lahan itu punya legitimasi dari Pemda dan pusat. Semua karena perlunya arus investasi agar ekonomi bergerak dengan kontribusi nyata lewat penerimaan negara berupa pajak dan retribusi, yang memang diperlukan guna melaksanakan fungsi sosial APBN.

Ketika Jokowi berkuasa , dia menerima fakta yang ada itu. Dimana sebagian besar tanah berada di tangan segelintir orang. Bukan lagi tuan tanah, melainkan pemilik bisnis (kapitalis) besar yang hidup di sektor agrobisnis. Kedua, pemilikan tanah oleh petani, yang merupakan soko-guru dari produksi pangan nasional, justru mengecil. Sebagian besar petani Indonesia adalah petani gurem dengan pemilikan lahan rata-rata 0,3 hektar. Bahkan, ada 28 juta petani adalah petani tak bertanah. Kondisi itu tentu saja tidak sesuai dengan semangat Pancasila dan cita-cita Konstitusi (pasal 33 UUD 1945). Juga memunggungi visi pemerintahan Joko Widodo untuk mewujudkan keadilan agraria dan kedaulatan pangan. Kalau ini tidak segera diatasi maka hanya masalah waktu akan terjadi chaos sosial, dan bukan tidak mungkin Indonesia akan masuk abad kegelapan. Jadi sangat mengkawatirkan situasi ketidak adilan lahan ini.

Nah bagaimana solusinya? Ada lima langkah yang sedang dikerjakan Jokowi , yaitu : 1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria ; 2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria ; 3) Kepastian Hukum dan Legalisasi atas Tanah Obyek Reforma Agraria ; 4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria ; dan 5) Kelembagaan Pelaksanaan Reforma Agraria Pusat dan Daerah. Kelima hal itu dituangkan dalam Perpres No 45/2016 pada 16 Mei 2016. Namun kelima hal itu berjalan terseok seok. Karena terdapat hambatan serius dibidang regulasi yang bersinggungan dengan penanaman modal dan investasi.

Apa itu ? Pertama, adanya liberalisasi investasi. Dengan demikian mengalami kesulitan untuk hal kedua yaitu melakukan pembatasan pemilikan lahan individu dan membatasi luasan penguasaan tanah (HGU) untuk sektor bisnis, baik di sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, dan lain-lain. Hambatan tersebut telah diupayakan diatasi dengan langkah berani yaitu pertama melakukan moratorium perkebunan sawit. Juga memberikan kebijakan tarif agar pengusaha perkebunan lebih focus kepada pengolahan downstream perkebunan. Kedua, menerapkan pajak progresive individu yang mengusai lahan lebih dari luas yang ditentukan.

Bagaimanapun ini sedang berproses terus. Yang penting bagaimana lahan yang sudah terlanjur dikuasai korporat itu dapat memberikan manfaat sebesar besarnya bagi rakyat dalam bentuk industri downstream dan menampung angkatan kerja. Serta hentikan semua izin perluasan kebun besar. Sudah saatnya reformasi agraria meluas dan rakyat berhak mendapakan haknya sesuai dengan UU PA tahun 1960 bahwa tanah itu adalah berfungsi sosial.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.