Pada tahun 2016 menurut IMF kekuatan ekonomi Indonesia menempati rangking 8 dunia. Atas dasar itu PwC dalam sebuah riset tentang outlook perekonomian dengan tema “The Long View, How will the global economic order change by 2050?”. Indonesia akan berada di peringkat 5 di tahun 2030 dengan estimasi nilai GDP US$5.424 miliar dan naik menjadi di peringkat 4 di tahun 2050 dengan estimasi nilai GDP US$10.502.
Yang menarik adalah pendekatan perhitungan ekonomi itu menggunakan PPP ( Purchasing Power Parity (PPP). Apa itu PPP? merupakan paritas daya beli atau keseimbangan kemampuan berbelanja. Dalam ilmu ekonomi, PPP mengukur berapa banyak sebuah mata uang dapat membeli dalam pengukuran internasional (biasanya dolar), karena barang dan jasa memiliki harga berbeda di beberapa negara. Nilai tukar PPP digunakan dalam perbandingan internasional dari standar hidup. Jadi PDB dihitung sesuai keseimbangan kemampuan berbelanja (PPP) setiap mata uang relatif kepada standar yang telah ditentukan (biasanya dolar AS).
Dalam risetnya, PwC selain menggunakan metode pendekatan paritas daya beli, dalam memproyeksikan nilai GDP, PwC juga turut memperhitungkan variabel demografi, tingkat pendidikan, dan modal investasi yang akan masuk ke negara-negara di bawah ini sehingga akan mendapat nilai proyeksi GDP tersebut. Nah berdasarkan nilai GDP dengan metode perhitungan tersebut menempatkan Indonesia dengan perekonomian big emerging market. Untuk peringkat pertama, posisi China tak tergoyahkan baik dalam kondisi perekonomian saat ini maupun proyeksi perekonomian 33 tahun mendatang dengan estimasi GDP mencapai US$5.8499 miliar atau sekitar Rp778 ribu triliun (Rp13.330 per USD). Indonesia menempati peringkat 5 besar setelah AS, India, ekonomi dunia. Dan masuk negara yang menguasai 85 % ekonomi dunia.
Memang kalau lihat data sekarang, kemampuan belanja masyarakat saat ini telah masuk dalam kelompok ekonomi 11. Jadi, kalau purchasing power parity pada 2030 rangking 4 bisa diterima. Yang jadi masalah adalah sebagaimana di peringatkan PS dalam pidatonya agar Indonesia mengurangi ketimpangan ekonomi itu. Makanya menarik hal ini menjadi focus Jokowi. Terlihat dari APBN sejak dia berkuasa upaya mengurangi ketimpangan itu anggarannya sangat besar. 2018, Pemerintah memasukkan anggaran penanggulangan kemiskinan untuk kelompok miskin, hingga Rp 292,8 triliun. Total subsidi yang dianggarkan juga semakin meningkat menjadi Rp 172,4 triliun, terdiri atas subsidi energi Rp 103,4 triliun, dan subsidi non energi Rp 69 triliun.
Karena kalau pemerintah tidak focus mengurangi ketimpangan ekonomi maka gejolak sosial akan terjadi dengan sendirinya sebagai dampak dari rasa ketidak adilan. Siapapun jadi presiden tentangan terbesar adalah mengurangi ketimpangan Rasio GINI dan kalau ini bisa dipacu maka proses menjadikan Indonesia kekuatan ekonomi nomor 5 dunia tahun 2030 bukanlah impian karena sumber daya tersedia. Dan Indonesia akan jadi negeri makmur.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete