Tuesday, November 8, 2016

Adat dan Islam...


Bagi sebagian orang asing, Islam adalah sebagaimana di tampakkan kaum berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan sewenang-sewenang di gurun pasir Arabia. Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal ia tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai Mekkah sejak 1806 sampai dengan 1812 mengumandangkan ajaran yang menampik tafsir apapun tentang Qur’an. Mereka dengan keras menuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan Hadith, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir), dan di Hijaz mereka bakar kitab tafsir, mereka hancurkan kubur dan tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham. Tentang hal ini, ada kisah yang terjadi di Minang Kabau, dan  menjadi pelajaran berharga betapa sesuatu yang di anggap lurus tak bisa sepenuhnya tegak bila di lakukan dengan kekerasan. Tersebutlah tiga orang haji dari Minangkabau pulang dari pengembaraannya di Makkah. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampilan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang di lingkari tembok, dengan pakaian berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula. Ia menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu. 

Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam cerita yang hidup di ranah minang bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri, hanya karena perbedaan paham. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibu mihanguskan dan para pemimpin adat di bunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.  Apa sebenarnya yang didapat? Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial di bentuk oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya, akhlak orang perorang yang menentramkan. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang di kehendaki kaum Padri.

Orang yang cukup arif untuk menerima ketidak-sempurnaan itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol, yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan hasil jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Gadang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan. Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya. Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran. Namun pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang di jalankannya sesuai dengan Qur’an? Selama delapan hari ia merenung dan akhirnya ia mengirim empat utusan ke Mekkah. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran yang di bawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih. Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepala adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, masyarakat Minang Kabau menerima formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsandi Sarak dan Sarak barsandi Adat”. Adat harus sesuai dengan syariat, dan Syariat harus sesuai dengan Adat. Kaum adat memaklumi mereka merubah adat yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Namun ke islaman itu tidak merubah adat sehingga harus seperti penampilan kaum Arab di sana.  

Adat Minang Kabau tentang budi di restruktur ulang dengan menanamkan keindahanan Akhlak AL Quran. Maka apa yang kemudian yang jadi pegangan bagi masyarakat Minang adalah Islam yang indah dan damai. Islam mengajarkan setiap orang menghidupkan dakwah tapi tidak mencari hidup dari dakwah. Islam tidak mengajarkan orang cari hidup dari Politik tapi menghidupkan politik untuk cinta bagi semua  Islam tidak mendidik orang jadi pendendam. Islam itu penuh maaf, penuh prasangka baik dan menjauhkan diri dari keributan. Walau perdamaian itu pahit maka harus di terima karena Allah. islam itu agama Tauhid yang punya kekuatan spirituall yang bagaikan elang terbang menembus langit namun membumi bagaikan Induk ayam yang mampu mengikuti sunatullah dengan berani dan unggul dalam putaran waktu. Islam itu mengajarkan agar yang jauh mendekat dan yang dekat merapat.Karena ia mengajarkan cinta dan kasih sayang untuk mencapai keharmonian dalam perbedaan. Islam itu tidak memaksa orang untuk beriman namun mendoakan siapapun agar hidayah dan keselamatan bagi semua. Islam mengajarkan agar setiap orang menggunakan akalnya dan menghindari taklik buta. Karenanya Al Quran bukan monopoli satu golongan saja tapi ia bisa di pelajari oleh siapa saja dan di bahas  dengan bebas. Dari perbedaan itu , dengan cinta dan niat baik maka Islam akan semakin mempunyai tempat memakmurkan bumi, hidayah pun terbuka bagi siapa saja. Di Minang terjadi rekontruksi adat , begitupula daerah lain. Islam di Indonesia punya bentuk yang tak menawarkan radikalisme tapi kedamaian dan keharmonian...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.