Demokrasi itu berdiri di empat
pilar yaitu legislatif, eksekutif ,judikatif dan Media Massa. Media massa dapat
diperhitungkan sebagai kekuatan karena dari media massa public dapat ikut mengawasi
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di Era global society community yang di dukung
oleh IT , informasi mengalir begitu derasnya dan darimanapun sumbernya. Bahkan media massa digital menyediakan ruang
interaktif di setiap berita yang dimuat. Media social ( medsos) pun menjadi
wahana penyebaran berita dari media massa melalui fasillitas link. Dari medsos
pun muncul beragam opini terhadap kebijakan public. Sehingga sulit dikatakan
bahwa di Negara yang menganut demokrasi liberal, orang bisa bersembunyi dari
kesalahannya sebagai elite politik atau pejabat public. Inilah yang patut
disadari oleh siapapun yang terpilih
sebagai bagian dari orang yang duduk di Legislatif, executive ,yudikatif. Jangan pernah berpikir bahwa kekuasaan pada system
demokrasi adalah kekuasaan yang bebas berbuat apa saja seperti kerajaan atau
diktator. Sekali jadi penguasa atau pejabat public maka siap siaplah gerak
gerik anda di awasi oleh public. Kehidupan pribadi anda tidak lagi rahasia.
Apabila tidak hati hati maka cepat naik akan cepat jatuh. Cepat di puja,
cepat masuk penjara.
Jokowi adalah contoh tepat
bagaimana kekuatan media massa bisa mengantarkan si tukang kayu yang bukan
jenderal, bukan professor, bukan pimpinan partai dapat melenggang ke istana menjadi orang nomor satu di republic
ini. Ahok juga akan menjadi contoh
bagaimana kekuatan media massa mendukung keberadaan “Teman ahok” untuk
mengantarkan Ahok sebagai pemenang dalam Pilgub. Baik Ahok maupun Jokowi
bukanlah elite partai. Mereka orang biasa saja. Mereka di dukung partai karena public
menginginkan mereka sebagai pemimpin, dan partai “terpaksa “ melegitimasi
keinginan rakyat itu. Lantas bagaimana bila ada orang , katakanlah seperti Ahok
yang tidak mau di legitimasi partai dan
lebih ingin di legitimasi langsung oleh rakyat melalui jalur independent yang
memang di benarkan oleh UU? Ini seharusnya tidak perlu menjadi kesan deparpolisasi
atau ingin menggerus keberadaan partai. Ketika UU yang mengatur pemilu/pilkada
di syahkan , tentu ini sudah diperhitungkan dengan matang oleh para wakil rakyat.
Bahwa siapapun harus diberi ruang dan peluang untuk tampil menjadi pemimpin. Pada akhirnya
rakyatlah penentu. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tidak bisa lagi Partai
menjadi penentu siapa yang pantas memimpin.
Dengan adanya kekuatan ke empat
atau media massa, seharusnya bisa juga menjadi jalur bagi siapapun yang memang
punya potensi untuk menjadi pemimpin, entah berkaliber local atau nasional.
Mungkin banyak orang hebat dari segi spiritual, intelektual, pengabdian di
tengah masyarakat,namun mereka tidak mau tampil kepermukaan. Mereka lebih suka
berbuat dalam diam dalam skala terbatas namun hasilnya fenomenal. Mereka
menjauh dari partai karena tak ingin larut dalam kepongahan dan korup. Orang
orang seperti ini seharusnya diangkat ke permukaan. Media massa tidak punya
cara menemukan orang hebat. Namun Ormas yang berbasis keagamaan, social,
budaya, bisnis dapat melakukan konvensi untuk menjaring mereka yang potensi
untuk di tampilkan. Pada moment ini media massa akan meliputnya. Contoh ormas seperti Muhammadiah, NU ,HKTI,
Walhi, dll, melakukan konvensi calon pemimpin. Gemanya tentu akan menarik
perhatian media massa dan public pun akan memperhatikan untuk bersuara
meramaikan medsos. Bulan lalu FPI ( Front Pembela Islam ) telah berinisiatif
melakukan konvensi memilih gubernur Muslim. Namun gemanya kurang besar. Karena ada
unsur SARA , media massa kurang berminat meliputnya. Seharusnya FPI berfocus
kepada “memilih Gubernur ber-akhlakul karimah”.
Bagaimanapun lahirnya
kepemimpinan lewat jalur independent jangan disikapi berlebihan oleh elite
partai. Semangat demokrasi harus di hidupkan di kalangan masyarakat agar nilai
nilai demokrasi semakin mengerucut sehingga partai juga berubah menjadi benar
benar lembaga bergengsi untuk mendidik orang menjadi elite politik di negeri
ini. Selagi elite partai hidup seperti di istana gading dengan keangkuhan
dihadapat rakyat ,maka jangan salahkan rakyat bila pemilu rakyat memilih bukan orang
yang di legitimasi partai. Karena semakin lama rakyat semakin cerdas dan tahu
siapa yang peduli dan tulus bersama mereka. Mereka tidak peduli jargon idiologi
atau agama, mereka hanya meliat apabila calonnya jujur dan adil ,amanah maka
mereka menjadi militan mendukung calonnya. Partai yang seharusnya menjadi patron
rakyat malah akan menjadi musuh yang
harus dilawan oleh rakyat. Kepada elite Partai , mari sikapi suasana hati
rakyat dengan cerdas untuk berubah menjadi lebih baik bagi rakyat dan kejayaan
negeri ini.