Monday, February 23, 2015

Revolusi Mental...?

Jokowi harus melawan siapa saja yang menghalangi agendanya, bahkan tak ragu meminta TNI untuk ambil bagian bila ada mafia pangan yang berusaha membuat petani terus diperbudak. Meminta TNI untuk ambil bagian dalam operasi penghancuran kapal mencuri ikan demi nelayan sejahtera.  Meminta TNI siap siap dengan segala resiko terburuk atas ancaman Autralia karena warganya terpidana mati kasus Narkoba. Apa yang dilakukan Jokowi memang beresiko secara politik. Tapi resiko ini harus diambil demi cita cinta lebih luhur bahwa kebenaran harus dibela ,kebaikan harus diutamakan dan keadilan harus menang. Tak ubahnya dengan seorang presiden yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan “pemberontakan” pada pertengahan abad ke-19 di Amerika, ketika sebagian wilayah hendak memisahkan diri,  Tapi bukan karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi tanah. Ada yang lebih penting ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita yang layak. Maka, ketika sejumlah negara bagian di Selatan menjadi kekuatan separatis karena ingin melanjutkan perbudakan, Presiden Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah perang pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika Serikat waktu itu tahu untuk apa. Kalimat pertama pidato Presiden Lincoln di Makam Pahlawan Gettysburg menjawab kenapa perang itu harus terjadi—dan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus berdiri: ia adalah “sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama”. Perbudakan jelas bertentangan dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya dengan kekerasan harus dikalahkan. Begitupula dengan Indonesia.

Sering kita dengar para jenderal dan politikus omong bahwa keutuhan wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti “wilayah” sebuah negeri? Apa pula “keutuhan” itu? Kita acap lupa “wilayah” adalah sebuah tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri, tapi dalam hal “Indonesia”, apa artinya “milik”?  “Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu bergerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut “Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan termasuk sebuah negeri yang disebut “Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah “wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benarkah begitu penting “keutuhan”? “Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana datangnya. Yang jelas, ia mencakup pengertian yang lebih luas ketimbang sekadar ketentuan tapal batas. “Keutuhan” bukan sekadar persoalan teritorial. Ia juga bisa berarti sumber alam dan keseimbangan ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup, juga para penghuni, kehidupan sosial, dan khazanah kebudayaan mereka. Apa artinya “keutuhan” yang dipertahankan bila hutan jadi terbakar untuk dijadikan kebun bagi Tuan besar, sawah dan lumbung bertukar jadi real estate , dan para wanita jadi jongos dingeri orang dan PSK dinegeri sendri? Apa artinya “keutuhan” jika kelompok manusia yang berbeda saling menghujat dan mengkafirkan.

Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebuah “Indonesia” sebagai ingatan yang berharga. Sejak kita kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari “Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Aceh yang menyumbangkan yang mereka miliki buat Republik Indonesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme Belanda yang justru mempersatukan pelbagai orang di Nusantara.  Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi setiap catatan dari masa lalu selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga apa yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” dapat berisi dokumen yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda—niat yang membuat Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terjadi dan sebuah generasi baru dengan ikhlas melupakan ikatan kesetiaan lama mereka, untuk membangun sebuah ikatan kesetiaan baru. Tapi sejarah persatuan itu juga dapat berupa sejarah ketidak-ikhlasan. Bahkan sejarah kekerasan, pemaksaan, dan penyeragaman. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah memperingatkan agar “per-satu-an” dibedakan dari “per-sate-an”. Karenanya kepemimpinan itu bukan memaksa orang setia dan patuh kepada Bendera dan Garuda Pancasila, yang membangkang berhadapan dengan peluru ,tapi orang patuh berbaris rapi karena keadilan tegak dan kehidupan beradab dimana yang lemah terlindungi dan  yang kuat tidak rakus.

Maka, sebuah “Indonesia” yang manakah yang hendak kita per-tahankan? Itulah yang ingin disampaikan Jokowi dalam revolusi mentalnya. Seratus hari ia berkuasa maka terjadi goncang luar biasa dan suhu politik memanas. Mengapa?  dia telah melakukan sesuatu yang selama Indonesia merdeka tidak pernah bisa dilakukan oleh pemimpin sebelumnya Apa itu ? Pertama, restruktur APBN dari orientasi konsumsi menjadi produksi. Kedua, transformasi dari birokrasi menjadi meritokrasi melalui keteladanan dari setiap menteri dengan gaya hidup sederhana. Ketiga,me-reformasi tataniaga Migas. Keempat,me-reformasi subsidi dari konsumsi ke produksi. Kelima, hukum harus ditegakkan bagi siapapun dan kehormatan negara harus dibela.  Ini akan terus ber-proses untuk sebuah Indonesia yang punya cita-cita. Sebuah Indonesia yang pandai ber-negosiasi dengan akal sehat. Sebuah Indonesia yang percaya kepada hak-hak rakyat. Sebuah Indonesia yang patut dibanggakan karena budaya terjaga dan agama dibela.  Maka Indonesia adalah negeri yang makmur dibawah lindungan Allah. Itulah yang akan dipertahankan oleh siapapun, sampai mati.

3 comments:

  1. ...Maka, sebuah “Indonesia” yang manakah yang hendak kita per-tahankan? Itulah yang ingin disampaikan Jokowi dalam revolusi mentalnya. Seratus hari ia berkuasa maka terjadi goncang luar biasa dan suhu politik memanas. Mengapa? dia telah melakukan sesuatu yang selama Indonesia merdeka tidak pernah bisa dilakukan oleh pemimpin sebelumnya Apa itu ? Pertama, restruktur APBN dari orientasi konsumsi menjadi produksi. Kedua, transformasi dari birokrasi menjadi meritokrasi melalui keteladanan dari setiap menteri dengan gaya hidup sederhana. Ketiga,me-reformasi tataniaga Migas. Keempat,me-reformasi subsidi dari konsumsi ke produksi. Kelima, hukum harus ditegakkan bagi siapapun dan kehormatan negara harus dibela..... Sudah Sekian tahun lamanya tiada, skrg ekspektasi itu begitu memenuhi dada.. Semoga.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.