Jokowi harus melawan siapa saja yang menghalangi agendanya, bahkan
tak ragu meminta TNI untuk ambil bagian bila ada mafia pangan yang berusaha
membuat petani terus diperbudak. Meminta TNI untuk ambil bagian dalam operasi
penghancuran kapal mencuri ikan demi nelayan sejahtera. Meminta TNI siap siap dengan segala resiko
terburuk atas ancaman Autralia karena warganya terpidana mati kasus Narkoba.
Apa yang dilakukan Jokowi memang beresiko secara politik. Tapi resiko ini harus
diambil demi cita cinta lebih luhur bahwa kebenaran harus dibela ,kebaikan
harus diutamakan dan keadilan harus menang. Tak ubahnya dengan seorang presiden yang kurus dan
arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan “pemberontakan” pada pertengahan abad ke-19 di Amerika, ketika sebagian wilayah hendak memisahkan diri, Tapi bukan
karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi tanah. Ada yang lebih
penting ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita yang layak. Maka, ketika sejumlah negara bagian di
Selatan menjadi kekuatan separatis karena ingin melanjutkan perbudakan,
Presiden Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah perang pun
meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika Serikat waktu itu tahu
untuk apa. Kalimat pertama pidato
Presiden Lincoln di Makam Pahlawan Gettysburg menjawab kenapa perang itu harus
terjadi—dan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus berdiri:
ia adalah “sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan
dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama”. Perbudakan
jelas bertentangan dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya
dengan kekerasan harus dikalahkan. Begitupula dengan Indonesia.
Sering kita dengar para jenderal dan
politikus omong bahwa keutuhan
wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti “wilayah” sebuah negeri? Apa
pula “keutuhan” itu? Kita acap lupa “wilayah” adalah sebuah tempat dalam ilmu
bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Ia
sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai
membela milik sendiri, tapi dalam hal “Indonesia”, apa artinya “milik”?
“Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu
bergerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa
di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin
Singapura yang kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang
kini disebut “Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan termasuk
sebuah negeri yang disebut “Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya
bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah
“wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benarkah
begitu penting “keutuhan”? “Keutuhan”—kata
ini pun tak pasti benar dari mana datangnya. Yang jelas, ia mencakup pengertian
yang lebih luas ketimbang sekadar ketentuan tapal batas. “Keutuhan” bukan
sekadar persoalan teritorial. Ia juga bisa berarti sumber alam dan keseimbangan
ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup,
juga para penghuni, kehidupan sosial, dan khazanah kebudayaan mereka. Apa
artinya “keutuhan” yang dipertahankan bila hutan jadi terbakar untuk dijadikan kebun bagi Tuan besar, sawah dan lumbung bertukar jadi real
estate , dan para
wanita jadi jongos dingeri orang dan PSK dinegeri sendri? Apa artinya
“keutuhan” jika kelompok manusia yang berbeda saling menghujat dan mengkafirkan.
Tapi mungkin juga yang hendak
dipertahankan adalah sebuah “Indonesia” sebagai ingatan yang berharga. Sejak
kita kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang
dari “Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Aceh yang menyumbangkan yang
mereka miliki buat Republik Indonesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme
Belanda yang justru mempersatukan pelbagai orang di Nusantara. Kenangan
itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi setiap catatan dari masa
lalu selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang
mengharukan dan juga apa yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang
sebuah “Indonesia” dapat berisi dokumen yang merekam niat mulia yang hendak
menjabat tangan orang lain yang berbeda—niat yang membuat Sumpah Pemuda pada
tahun 1928 terjadi dan sebuah generasi baru dengan ikhlas melupakan ikatan
kesetiaan lama mereka, untuk membangun sebuah ikatan kesetiaan baru. Tapi sejarah persatuan itu juga dapat
berupa sejarah ketidak-ikhlasan. Bahkan sejarah kekerasan, pemaksaan, dan
penyeragaman. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah memperingatkan agar “per-satu-an”
dibedakan dari “per-sate-an”. Karenanya
kepemimpinan itu bukan memaksa orang setia dan patuh kepada Bendera dan Garuda
Pancasila, yang membangkang berhadapan dengan peluru ,tapi orang patuh berbaris
rapi karena keadilan tegak dan kehidupan beradab dimana yang lemah terlindungi
dan yang kuat tidak rakus.
Maka, sebuah “Indonesia” yang
manakah yang hendak kita per-tahankan? Itulah yang ingin disampaikan Jokowi dalam revolusi mentalnya. Seratus hari ia berkuasa maka terjadi goncang luar biasa dan suhu politik memanas. Mengapa? dia telah melakukan sesuatu yang selama Indonesia merdeka tidak pernah bisa dilakukan oleh pemimpin sebelumnya Apa itu ? Pertama, restruktur APBN dari orientasi konsumsi menjadi produksi. Kedua, transformasi dari birokrasi menjadi meritokrasi melalui keteladanan dari setiap menteri dengan gaya hidup sederhana. Ketiga,me-reformasi tataniaga Migas. Keempat,me-reformasi subsidi dari konsumsi ke produksi. Kelima, hukum harus ditegakkan bagi siapapun dan kehormatan negara harus dibela. Ini akan terus ber-proses untuk sebuah Indonesia yang punya cita-cita. Sebuah Indonesia yang pandai
ber-negosiasi dengan akal sehat.
Sebuah Indonesia yang percaya kepada hak-hak rakyat. Sebuah Indonesia yang patut
dibanggakan karena budaya
terjaga dan agama dibela. Maka Indonesia adalah negeri yang makmur dibawah
lindungan Allah. Itulah yang akan dipertahankan oleh siapapun, sampai mati.
...Maka, sebuah “Indonesia” yang manakah yang hendak kita per-tahankan? Itulah yang ingin disampaikan Jokowi dalam revolusi mentalnya. Seratus hari ia berkuasa maka terjadi goncang luar biasa dan suhu politik memanas. Mengapa? dia telah melakukan sesuatu yang selama Indonesia merdeka tidak pernah bisa dilakukan oleh pemimpin sebelumnya Apa itu ? Pertama, restruktur APBN dari orientasi konsumsi menjadi produksi. Kedua, transformasi dari birokrasi menjadi meritokrasi melalui keteladanan dari setiap menteri dengan gaya hidup sederhana. Ketiga,me-reformasi tataniaga Migas. Keempat,me-reformasi subsidi dari konsumsi ke produksi. Kelima, hukum harus ditegakkan bagi siapapun dan kehormatan negara harus dibela..... Sudah Sekian tahun lamanya tiada, skrg ekspektasi itu begitu memenuhi dada.. Semoga.
ReplyDeleteAamiin...
ReplyDeletekajian bagus
ReplyDelete