Saya pernah berdiskusi dengan teman seorang ekonom. Dia berbicara tentang makro ekonomi dengan berbagai teori memacu
pertumbuhan ekonomi,mengendalikan moneter, memperkuat fiskal dan lain
sebagainya. Saya rasa sehebat apapun pengetahuan orang tentang ilmu ekonomi namun itu hanyalah teori didasarkan asumsi yang utopia. Sedangkan kehidupan ini tidak ada yang utopia. Itu sebabnya saya tidak ingin menanggapi celoteh ekonominya. Saya pengusaha yang terlibat dalam ekonomi praktis dan realistis. Sebaiknya saya berbicara atas dasar realistis. Apa itu ? saya ingin
menyampaikan analogi seperti ini. Pemerintah mengeluarkan kebijakan dibidang
ekonomi dimana pada batas waktu yang
ditentukan maka Investor asing yang mengelola SDA seperti Emas , batubara,
nickel harus melakukan divestasi kepada Indonesia Participant. Semua ini diatur
dalam Kontrak Karya (KK) antara investor asing dengan Pemerintah
Indonesia. Setelah batas waktu yang ditetapkan maka walau berat dihati melepas
hak kepemilikan saham diperusahaan yang menguras SDA itu namun pihak asing
tidak punya pilihan, mereka harus melepas hak itu sesuai dengan KK. Pelepasan (
divestasi ) ini tidak diberikan gratis. Ini harus
dibayar oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan value dari saham itu. Pemerintah pusat memberikan
hak beli saham ini kepada Pemda sebagai bagian dari Otonomi Daerah dan
Perimbangan Pendapatan Pusat Daerah.Yang jadi masalah adalah pihak Pemda tidak
ada uang untuk menbeli saham yang menjadi right atas program Divestasi tersebut. Walau pemerintah pusat
tahu bahwa kemampuan daerah tidak ada untuk membiayai pembelian itu namun Pemerintah pusat tidak peduli.
Berdasarkan UU, Pemda tidak boleh
berhutang tanpa izin menteri keuangan dan kalaupun diizinkan tidak boleh memberikan jaminan atas hutang tersebut. Nah, siapa yang bisa memberikan pinjaman
tersebut kepada PEMDA. Conventional way untuk mendapatkan dana pembelian
saham ini jelas tertutup karena tidak ada bank yang mau memberikan pinjaman
tanpa ada collateral. Lantas bagaimana
Pemda mendapatkan dana itu? Seorang pengusaha menawarkan diri sebagai investor.
Pengusaha ini memberikan solusi too good to true; Tidak perlu ada jaminan.Tidak
perlu ada credit rating record. Caranya bagaimana? Pengusaha ini mengusulkan
agar Pemda membentuk BUMD yang berdasarkan Perda bertugas melaksanakan
pembiayaan divestasi. Selanjutnya Pengusaha membentuk satu perusahaan yang akan bertindak
sebagai shadow banking. Shadow banking inilah yang akan membentuk
perusahaan patungan dengan BUMD. Didalam perusahaan patungan ini pengusaha melalui shadow banking menguasai saham 75% dan BUMD 25%. Apakah
pengusaha itu membiayai dari kantongnya sendiri? Tidak! Mana ada business
dimana pengusaha menggunakan uangnya sendiri kecuali pedagang kelas gurem. Dana
itu dia dapat dari menempatkan hak saham 75% yang dimilikinya sebagai
trigger terbangunnya financing scheme. Jadi penguasaan mayoritas saham itu hanya karena dia membawa financial resource untuk pembiayaan pengambil alihan itu. itu saja.
Mengapa ada yang bersedia
memberikan pinjaman kepada pengusaha tersebut ? karena struktur pinjaman yang
diajukan oleh Pengusaha kepada investor sangat exciting. Strukturnya adalah menerbitkan
MCN atau Mandatory Conversion Notes. MCN
adalah surat hutang yang bisa dikonversikan ke dalam saham sesuai akad yang
disepakati didepan. Skema ini sangat
menarik bagi investor karena nilai saham business tambang selalu diatas price
earning ratio. Pertumbuhan harganya sangat tinggi melebihi inflasi. Selanjutnya, MCN
dijual dalam dua cara yaitu, untuk pembeli private investor ( hidden group) MCN
dibayar dalam bentuk blocking fund yang bisa digunakan sebagai collateral pinjaman kebank dan sisanya dijual retail kepada investor.Lewat skema ini
pengusaha bisa mendapatkan sedikitnya 40% tunai dari bank dan 60% tunai dari
pasar. Sehingga 100% kebutuhan dana untuk program divestasi ini dapat terlaksana.
Karena 100% pembiayaan berasal dari pengusaha maka Pemda punya hutang sebesar
25% kepada pengusaha sebagai kewajiban setorannya. Pembayaran ini dilakukan dengan
cara mencicil melalui deviden yang didapatnya kelak. Secara hukum dengan masuknya Indonesia participant sebagai share
holder pada perusahaan tambang yang dikuasai asing itu maka program divestasi sebagai dasar kebijakan
ekonomi pemerintah dapat dilaksanakan. Namun kenyataanya kepemilikan saham itu
dalam kondisi digadaikan kepada pihak investor asing melalui skema MCN. Secara
substansi tetap saja SDA kita dikuasai asing. Program divestasi adalah useless. Sementara pengusaha dapat menguasai saham mayoritas dari program divestasi
tersebut tanpa keluar dana sendiri. Hebat,kan!
Apakah itu mungkin terjadi di
Indonesia? kalau mungkin siapa yang mampu melakukannya. Kata teman saya sambil
melongok terpesona. Seakan tidak percaya begitu mudah menjadi kaya raya di
Indonesia hanya melalui skema. Dengan tersenyum
saya katakan bahwa itulah yang terjadi ketika Bakrie group terlibat
dalam pengambil alihan saham dari program divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara
(PTNNT). Bakrie melalui shadow banking nya PT Multi Capital berpatungan dengan PT
Multi Daerah Bersaing (MDB) yang dimiliki PEMDA NTB untuk membiayai divestasi
24% saham PT.NNT dengan nilai USD 850 juta dollar. Skema ini sudah lazim dilakukan untu mengakuisisi saham Minerba. Sambil bekerut kening teman
itu berkata bahwa seharusnya pemerintah pusat menyediakan dana lewat APBN untuk
divestasi itu atau bertindak sebagai guarantor atas hutang BUMD
kepada bank. Sehingga tujuan ideal dari program divestasi dapat terlaksana.
Saya katakan karena kebijakan ekonomi dari kaum terpelajar lah yang membuat
APBN terjebak hutang (debt trap ) sehingga harus tunduk dengan kuridor asing, yang
salah satunya dilarang mengalokasikan APBN untuk tujuan divestasi , dan
dilarang memberi jaminan hutang kepada BUMN/D. By design kita selalu kalah dan
terkalahkan. Mengapa?karena perancang ekonomi negara umumnya teoritis dan bukan praktisi business. Kita lihat nanti setelah pergantian Presiden. Semoga ada perubahan.
Yang pasti newmont memasukan gugatanya ke Badan Arbitrasi international sehubungan dengan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah melarang export condensate ( Mineral mentah). Ini satu fakta bahwa walau didalamnya ada Indonesia participant namun Asing tidak pernah menghargai pemerintah kalau itu merugikann kepentingan business nya. Dan anehnya kelakuan indonesia participant tidak ada bedanya dengan asing, WNI bermental asing dan penjajah adalah cermin dari elite dan pengusaha besar di negeri ini...
Yang pasti newmont memasukan gugatanya ke Badan Arbitrasi international sehubungan dengan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah melarang export condensate ( Mineral mentah). Ini satu fakta bahwa walau didalamnya ada Indonesia participant namun Asing tidak pernah menghargai pemerintah kalau itu merugikann kepentingan business nya. Dan anehnya kelakuan indonesia participant tidak ada bedanya dengan asing, WNI bermental asing dan penjajah adalah cermin dari elite dan pengusaha besar di negeri ini...
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.