Menjelang PEMILU , PDIP telah
mewacanakan untuk menghentikan pinjaman luar negeri. Menurut saya ini bukan
hanya sekedar retorika dari PDIP tapi sudah menjadi bagian dari prinsip PDIP
sesuai dengan idiology Marhaennya yaitu berdikari. Ketika Gus Dur jatuh dan digantikan oleh Megawati
maka yang pertama dilakukannya adalah menghentikan program recovery economy
dibawah IMF dan menetapkan kebijakan zero growth hutang atau tidak ada pertambahan hutang baru.Pada waktu
bersamaan Megawati menghentikan operasional FREEPORT dengan alasan melanggar
AMDAL , dan juga Menghentikan kontrak
pertambangan minyak Caltex di Blok Natuna Kepri dan Riau Daratan serta menolak penguasaan Blok Cepu oleh Exxon. Hutang dan
bagi hasil Tambang adalah dua sumber penghasilan yang menopang 80% penerimaan
negara dalam APBN. Tapi kedua hal itu dikeluarkan oleh Megawati sebagai sumber penerimaan.
Lantas bagaimana caranya menutupi APBN? Caranya
adalah dengan mengurangi subsidi sehingga negara bisa menghemat 40% belanja
rutin. Kemudian, Megawati menjual BUMN
yang Public Service Obligation yang dibawah 50% seperti Indosat dll.Pendapatan
ini dimasukan dalam penerimanaan negara. Sebetulnya masih banyak lagi program
yang akan dijalankan Megawati ketika itu tapi
karena terbatasnya waktu dia berkuasa
programnya tidak bisa berjalan dengan sempurna. Lawan politiknya
menggunakan kebijakan pengurangan subsidi untuk membuat Megawati dijauhi oleh
wong cilik. Pemilu 2004 Megawi kalah, dan digantikan oleh SBY, negara kembali
berhutang, blok natuna dan Cepu dikuasai oleh Exxon dan Freeport kembali
beroperasi.
Pada 2004 rasio utang terhadap
PDB masih 56,6%, kemudian terus turun menjadi 47,3% (2005); 39,0% (2006); 35,1%
(2007); 33,0% (2008); 28,3% (2009); 26,0% (2010); 24,4% (2011); dan sekarang
pada kisaran 22,9% (2012) [Bappenas, 2012]. Dengan data ini SBY bisa berbangga
hati bahwa dia telah sukses mengurangi hutang berbanding terhadap PDB. Benarkah
? Orang awam mungkin bisa dibodohi. Perhatikan
ini, bahwa kehebatan suatu negara bukan diukur dari perbandingan hutang
terhadap PDB tapi tingkat ( rasio ) kemampuan negara membayar hutang. Atau
disebut dengan debt service ratio /DSR atau rasio pembayaran utang dan bunga dibagi dengan
jumlah penerimaan ekspor. Dalam international
economy community ada konsesus bahwa apabila
DSR diatas 20% berarti menggambarkan lampu kuning, atau harus ekstra
hati-hati. Data yang ada menunjukkan DSR Indonesia terus meningkat oleh sebab
kenaikan jumlah utang, sedangkan di sisi lain ekspor cenderung menurun
pertumbuhannya. Pada Triwulan I-2012 DSR melejit menjadi 30,7%, padahal pada
2011 masih di kisaran 21,1%. Disampinng itu total jumlah utang terhadap
penerimaan pemerintah (pajak dan pendapatan bukan pajak) selalu lebih tinggi.
Misalnya, pada 2007 total penerimaan pemerintah Rp 706 triliun, namun utangnya
mencapai Rp 1.389 triliun. Pada 2011 total penerimaan pemerintah Rp 1.205
triliun, tapi jumlah utang Rp 1.803 triliun. Dan ini terus berlanjut sampai
dengan 2014 dimana utang Indonesia sudah mencapai Rp.2.465,45 Triliun
Keadaan tersebut harus dihentikan
karena dari tahun ketahun ketergantungan akan hutang semakin besar dan ancaman
default semakin besar pula.Inilah yang menjadi PR besar dan rumit bagi Presiden
terpilih. Lantas bagaimana solusi bagi PDIP untuk menghilangkan ketergantungan
APBN akan utang? Peninjauan seluruh kontrak blok Migas dan Mineral. Berdasarkan
hasil study KPK yang dibantu oleh lembaga riset independent international dari
sektor Migas saja (tidak termasuk Freeport, batubara) potensi ekonomi mencapai
Rp.7,200 Ttiliun pertahun atau 4 kali dari APBN. Artinya dengan hanya program amendment PSC ( production Sharing Contract) yang sesuai dengan kepentingan
nasional maka dalam setahun indonesia sudah bisa melunasi hutang luar negeri
dan selanjutnya APBN mandiri tanpa hutang. Seorang teman yang bekerja di
lembaga keuangan international pernah berkata kepada saya bahwa apabila
pemerintah baru mencoba merubah kontrak Block Migas maka investor akan kabur
dari Indonesia.Indonesia akan masuk blacklist financial community sehingga kehilangan
financial resource. Dengan demikian akan mengancam sumber penerimaan negara untuk
memenuhi APBN. Saya tersenyum saja. Bagi saya itu adalah berkah bila semua
investor kabur. Karena indonesia dapat leluasa mengelola sendiri ladang Migasnya.Bagaimana caranya? Dari mana duitnya? Soal tekhnologi tidak usah kawatir
karena di era sekarang tekhnologi bisa dibeli dari mana saja dan lagi insinyur
Indonesia yang berkarir hebat diluar negeri tentu akan pulang apabila
kesempatan diberikan.
Darimana uangnya untuk mengolah
Migas bila investor hengkang? Pernah Darmin Nasution ketika masih menjabat Gubernur BI mengatakan bahwa dari total 140 juta rekening nasabah perbankan, sebanyak 3% ( 4,2
juta) nasabah menguasai 67% dana di perbankan.Kalau total dana nasabah diperbankan sebesar Rp 3.392 triliun maka 4,2 juta nasabah menguasai Rp.2.270 Triliun atau kurang lebih
sama dengan USD 200 miliar. Ini merupakan Potensi
financial resouce dalam negeri yang sangat besar dan dapat digunakan pemerintah untuk sumber
pembiayaan pengelolaan MIGAS. Caranya? Pemerintah
bisa mengeluarkan kebijakan menukar ( SWAP) tabungan/deposito untuk 4,2 juta
nasabah tersebut dengan SUKUK RI (Obligasi
berbasis revenue). SUKUK ini dijamin
likuiditasnya oleh pemerintah asalkan disertai dengan underlying pembiayaan
proyek ( bukan untuk konsumsi). Sehingga
pada waktu bersamaan pemerintah memaksa secara UU pemilik dana untuk terlibat
langsung dalam produksi ( sektor riil). Jadi jangan ada lagi orang kaya
menikamati rente tanpa kerja keras. Agar tidak timbul gejolak sehingga
berdampak sistemik maka pemerintah menyertakan kebijakan SWAP itu dengan bebas
pajak penghasilan atas pendapatan revenue dari SUKUK tersebut. Dengan demikian
pemilik dana mendapatkan dua manfaat ; pertama dananya dikelola untuk usaha (
MIGAS) yang pasti mendatangkan laba yang bebas pajak dan kedua SUKUK dapat kapan
saja dicairkan selagi digunakan untuk pembiayaan proyek sehingga tidak
menghabat financial freedom nya. Dan yang penting pemerintah lepas dari bunga
atau Riba. APBN lebih besar powernya menopang
tanggung jawab sosialnya untuk mencapai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Namun ilustrasi tersebut diatas
hanya mungkin bila PDJP bersama Partai sosialis kanan ( PKS,PBB,PPP) Sosialis
nasionalis ( GARINDRA dan NASDEM) bersatu dalam aliansi dan menguasai mayoritas
suara di Parlemen diatas 70%. Apabila aliansi ini hanya mencapai suara dibawah
50% maka dapat dipastikan walau presiden
terpilih dari PDIP atau GARINDRA atau PKS tetap tidak akan bisa menerapkan kebijakan
tersebut. Kekuatan kapitalisme international akan memanfaatkan pengaruhnya
kepada Partai seperti , PKB,
PAN bersama PD dan Golkar untuk
menghadang setiap upaya hendak merubah UU yang bisa membuat kepentingan
business Migas mereka tereliminasi. Semuanya kembali kepada Rakyat ketika
PEMILU nanti. Apakah lebih suka menadahkan tangan dan gratis dari negara namun mencari rezeki sulit dan harga melambung tinggi ? Pilihlah Partai beraliran atau berkiblat kepada kapitalis. Ingin mendapatkan financial freedom karena mencari rezeki mudah dan biaya hidup murah? Pilihlah Partai yang tidak berkiblat kepada Kapitalis. Apabila anda Golput maka suka tidak suka anda ikut bertanggung
jawab bila negara ini tetap hidup dari RIBA dan terjebak RIBA, karena anda
diberi kebebasan memilih tapi anda milih lari dari arena. Cerdaslah!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.