Friday, October 18, 2013

Prabowo?

Namanya Nagabonar. Itulah tokoh yang diciptakan oleh Asrul Sani untuk sosok seorang Jenderal dalam film perjuangan kemerdekaan RI. Kita yang pernah menyaksikan film ini ditahun 1987 terbayang akan adegan kocak ditengah ke luguan tokoh sang Jenderal dalam memimpin pasukannya. Tapi sebetulnya ada sesuatu pelajaran berharga yang ingin disampaikan oleh sang penulis scenario bahwa para pejuang itu harus mempunyai sikap superior dihadapan musuh. Tak boleh ada sikap lemah atau inferior. “ Aku ingin pangkatku Laksamana Jnderal “ Demikian permintaan Nagabonar kepada anak buahnya. Tapi dijawab oleh staff “ Tak ada pangkat Jenderal Laksamana. Tak ada itu. “ Kemudian Nagabonar menjawab tangkas “ ya, kalau begitu, kau adakan sajalah !” Karena merasa tak ada jalan lain untuk meluruskan sikap Nagabonar maka staffnya menjawab “ Apa kata dunia ? kalau sampai abang punya pankat yang tak ada didunia” Nagabonar tak peduli “apa kata dunia “ Walau dia menerima pangkatnya diganti hanya dengan “jenderal” namun gaya dan suprioritasnya tak berkurang. Terlebih ketika berhadapan dalam perundingan dengan Pasukan belanda soal tapal batas.

Agus Salim , terbang ke luar negeri dalam rangka memperkenalkan Republik ini yang baru lahir, ditanya soal passport ketika sampai dinegara orang. Agus Salim menjawab sambil tersenyum “ Ini passport saya” sambil mengelus janggutnya, karena memang waktu itu republik ini belum ada adaministrasi passport.. Walau hanya dengan jas dril yang lusuh , namun Agus Salim tak menampakan sikap inferior dihadapan asing. Begitupula dengan Mohammad Hatta , Sjahril dan lain lain yang tampil sederhana namun tak mengurangi sikap superiornya dihadapan asing dalam setiap putaran perundingan diplomasi international. Sejarah mencatat kehebatan negosiasi para pendiri negeri ini. Mereka disegani oleh lawan maupun kawan. Tak ada nampak sama sekali bahwa mereka dilahirkan oleh suatu bangsa yang pernah dijajah ratusan tahun oleh asing. Tak nampak sama sekali. Mereka tak pernah mau tahu istilah “ apa kata dunia ? “ bila mereka ingin bersikap membela kepentingan republic ini. Dimana saja dan kapan saja , mereka bersikap jelas. Bahkan Soekarno dengan tegas menyatakan Indonesia keluar dari PBB hanya karena tidak lagi melihat sikap keadilan dari lembaga dunia itu. Para pendiri negara memang mewariskan semangat memperjuangkan nilai nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan. Mereka perkasa dan tahu menempatkan rasa hormat untuk kepentingan bangsa dan negara.

Kemerdekaan bangsa ini memang lahir dari para pemberani dan pencinta besar terhadap negerinya. Mereka yang terdiri dari berbagai profesi, dari ulama sampai santri, dari kaum terdidik sampai kaum buta hurup, berbaur dalam kancah peperangan disegala lini. Semua menyatu dan bersatu dalam kekuatan tak tertandingi. Semua karena kesamaan tekad untuk memperjuangkan nilai nilai budaya dan agama yang diyakini. Bahwa semua kecil kecuali Allah. Allahuakbar. Mereka superior dihadapan musuh dan tentu inferior dihadapan Allah. Itulah yang kita kenal dari sebuah sejarah lahirnya republic ini. Sebuah teladan yang terlalu sacral dan mahal. Tapi di era kini, berbagai kebijakan ekonomi dan pembangunan dianggap modern bila mengacu dengan design ekonomi universitas di AS. APBN di design sesuai rekomendasi dari d World Bank, OECD. Dalam berbagai putaran perundingan multilateral seperti WTO dan lain lain ,kita hanyalah follower. Kalau ada yang berani bersikap berlawanan dengan kebijakan dunia dibidang pardagangan, investasi maka elit poltik kita akan menjawab “ apa kata dunia”. Termasuk kebijakan hutang luar negeri yang patuh adalah bentuk lain betapa kita memang kehilangan superior sebagai bangsa yang berdaulat. 

Ya, Kita menjadi bangsa yang inferior dihadapan asing. Empat orang TKW kita di hukum mati tanpa prosedur yang benar di Malaysia, tapi Presiden dan para elite tak marah. Dengan inferior kita melegitimasi  rakyat harus digusur demi Perkebunan Besar para pemodal asing. Dengan inferior kita terpaksa menjadikan rakyat papua sebagai pesakitan , diburu dan dibunuh hanya karena menuntut keadilan terhadap emas dan tembaga yang dikuras oleh Freeport. Dengan inferior kita melegitimasi  90% ladang minyak dikuasai asing dan memaksa kita membeli BBM dengan harga international. Dengan inferior kita melegitimasi nelayan asing dengan kapal besar berbendara Merah putih untuk menguras hasil laut kita dan meminggirkan nelayan kita  dalam kemiskinan.  Dengan inferior dihadapan asing kita tidak berdaya bila kartel asing membuat biaya produksi pertani menjadi mahal dan ketika dijual tak mendapatkan imbal hasil yang layak. Akhirnya para petani terpaksa melepas lahannya untuk menjadi buruh berupah murah, para anak perempuannya pergi kekota untuk menjadi pelacur dan keluar negeri untuk menjadi jongos. Para sarjana lulusan universitas terbaik berlomba lomba untuk menjadi jongos perusahaan asing yang menguras SDA. Mereka inferior untuk menjadi agent pembaharu melawan hegemony asing di negerinya sendiri.

Budaya inferior ini terjadi disemua bidang. Termasuk dalam bidang olah raga, prestasi kita terus menurun dan termasuk yang terburuk di Asia. Dari keterpurukan itu kita bertanya apa yang salah. Dimanakah nilai nilai superioritas sejarah berdirinya republic ini ? kita tak akan pernah menyadari itu karena budaya rela berkorban untuk kebaikan , kebenaran dan keadilan telah terhalau. Budaya mencitai dalam kebersamaan telah tergantikan oleh budaya individualisme dan partisan. Semua telah berubah. Sejarah telah dilupakan. Kita hanyalah komunitas tanpa ruh, tanpa semangat. Menjadi korban dari penjajahan model baru. Phisik kita tak lagi terjajah tapi emosi kita, budaya kita tak lagi merdeka. Korupsi by design telah membuat sendi sendi kekuatan bangsa berderak retak. Mind corruption telah melahirkan UU dan aturan dimana ketahanan ekonomi tergantung dengan asing.  Secara system kita telah terjajah. Mengatasi situasi penjajahan model baru ini, haruslah dengan revolusi. Tak bisa dilakukan secara reformasi. Kita butuh pemimpin baru yang superior dihadapan asing , yang berakar dalam budaya keindonesian, yang mencintai kebersamaan dan berakar dengan agama, kita butuh Naga Bonar yang tak peduli “apa kata dunia “ demi petani yang berdaulat, demi buruh yang berdaulat, demi nelayan yang berdaulat, demi RI yang perkasa bagaikan garuda membelah angkasa…yang tahu betul siapa musuhnya. Mungkinkah Naga Bonar itu adalah Prabowo ?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.