Sunday, October 13, 2013

Negara tanpa idiologi...

Apakah kamu kecewa dengan sebuah pentas , demikian teman saya berkata ketika usai menonton sebuah teater. Kisah tentang kebenaran yang selalu menang. Saya senang ceritanya walau ini hanya sebuah teater. Ilusi belaka. Karena apa ? Sesuatu yang tak mungkin saya dapatkan didunia kalkulasi , ada di teater. Kalau orang butuh keadilan , pasti akan kecewa dengan demokrasi yang menciptakan Dinasty kekuasaan di Partai dan Kepala Daerah. Kalau orang butuh kebenaran dan kebaikan , pasti akan kecewa dengan ketua MK yang korup dan KPK yang takut dengan “Bunda Putri”. Itulah realitas yang setiap hari kita tonton, sebuah teater yang menyesakkan dada.  Akan ini berubah ? Lebih dari ribuan tahun kekuasaan dibangun diatas kepatuhan mutlak. Kemudian tumbang ketika kepala Claude Lefort jatuh kebumi sebagai tanda dimulainya sebuah revolusi di Francis. Sejak itu, tak ada kepala yang menggiring orang kepada satu kiblat. Tokoh dibangun dari creativitas media massa untuk dijual dengan cara cara kapitalis. Dari situlah kekuasaan tak lagi punya dasar sakral. Dari situlah konstitusi di create sesuai kehendak pasar. Dari situlah kreatifitas propaganda berkembang pesat untuk melahirkan rakyat yang malas berpikir tentang kebenaran sedang diselewengkan.

Kreatifitas ini diagungkan sejak terjadinya revolusi di Francis , kemudian Revolusi Industri di Inggeris. Ada harapan tentang keadilan akan dibangun diatas kehendak orang banyak. Diatas keyakinan demi lahirnya Freedom, Peace, Equality. Tak aneh bila beberapa decade demokrasi telah melahirkan creativitas nilai ; Demokrasi demi sosialime, Demokrasi demi kapitalisme. Ini dapat terjadi begitu mudahnya dan tak ada yang perlu diperdebatkan untuk dipahami orang banyak. Kemana nilai demokrasi itu ? Tergantung kapitalisme atau sosialisme. Mengapa ini sampai terjadi. Karena demokrasi adalah sebuah system yang didasarkan atas tak adanya sebuah “dasar”. Setelah idiologi, agama, terpenggal dari tubuh politik maka kepala bisa dalam bentuk apa saja. Tak ada lagi yang mutlak kecuali kehendak pasar. Itulah mungkin yang membuat para pendiri negara resah ketika harus mendirikan republic ini. Resah karena tak mungkin sebuah negara dibangun tanpa landasan filosofi yang kuat. Apakah agama sebagai landasan ? Budaya ? Ada keraguan untuk berkiblat pada satu titik. Pemikiran kemerdekaan berangkat dari sejarah kekecewaan dengan sistem otokrat keagamaan. Kecewa dengan sosialisme dan komunisme yang feodalis. Kecewa dengan demokrasi barat yang arogan. Tapi itu pasti bukan negara agama , tapi juga bukan negara sekterian. Radjiman Widiodiningrat, yang terpengaruh filsafat Kent dan Hegel, mendesak agar konstitusi di create dari sebuah nilai nilai universal dan semangat gotong royong. Maka Pancasila dirumuskan tapi dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila sebuah inspirasi multi dimensi. Pancasila penghapus keresahan ketika dipersimpangan jalan mencari perekat kesatuan visi. Mungkin juga sebuah kompromi final yang tak selesai. Karena didalamnya mengakomodasi nilai nilai spiritual, dan keagungan sosialisme. sebuah mimpi tentang keadilan social bagi siapa saja. Mimpi spiritual socialisme memang tak aman dari serangan kaum bermodal yang rakus--sebagai kelanjutan dari sisten colonialisme berupa Neo colonialisme--. Apa arti kekuasaan tanpa tiran, demikian kata mereka pro demokrasi untuk jatuhnya Soeharto. Reformasi di dengungkan dan Soeharto di ganyang untuk Lahirnya  demokrasi liberal , demokrasi kaum bermodal. Rich Dad’s , Conspiracy of the rich , dari Robert T. Kiyosaki menyebutkan ada empat hal yang membuat demokrasi harus dipertahankan oleh kapitalisme yaitu perlunya uang sebagai kekuataan dan karenanya perlu inflasi untuk memeras rakyat, perlu hutang untuk menggadaikan resource dan perlunya konsumsi untuk membuat orang tergantung terhadap pasar. Sebuah sistem nilai yang hebat tentang konspirasi orang kaya dan penguasa untuk menjajah yang lemah. Dari waktu kewaktu krisis ekonomi terjadi karena sistem ini, dengan korban kemanusiaan yang massive. 

Yang pada akhirnya Pancasila hanya menjadi jargon ketika upacara naiknya berdera merah putih. Ia tinggal romantisme diatas kehebatan propaganda pasar untuk meyakinkan agar kapitalisme punya ruang menganeksasi rakyat. Inilah kehebatan demokrasi, sebuah grey area, dimana DPR berkuasa membuat UU namun dapat dengan mudah dibatalkan oleh lembaga non parlemen, MK.  Demokrasi beranak cucu menjadi neoliberal, sebuah sistem yang melahirkan budaya cinta bersyarat tanpa bandrol. Sebagai cara sistematis membuat kelas terbentuk tanpa bisa digugat. Sebuah realitas yang membuat china tersenyum bersama komunisme sebagai "dasar"...yang membuat Iran unggul bersama islam sebagai "dasar". Keliatannya benarlah bahwa kapitalisme hanya bisa dijinakan oleh sebuah idiologi ( "dasar ") dan menjadi monster ganas ketika dia bebas ( demokrasi liberal dan neoliberal). Itulah yang kita lupa dalam membangun sebuah bangsa. Lupa bahwa Pancasila bukanlah produk konpromi politik tapi sebuah baiat kepada Allah. Melawan itu, adalah kehancuran. Kembalilah....

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.