Tadi siang saya nonton TV one ada
berita seorang ibu yang mengakiri
hidupnya bersama kedua anaknya dengan melompat dari jembatan Pulo empang, Bogor
Tengah, Kota Bogor. Akibatnya wanita itu meninggal dunia bersama anak keduanya.
Sementara anak pertamanya dapat diselamatkan oleh warga. Kejadian itu Rabu 4
Juli 2012. Dari Koran digital , saya membaca lebih lengkap. Setelah itu saya
terenyuh. Saya bacakan kisah itu dihadapan istri saya. Istri saya berlinang air
mata.Saya terkejut, karena saya pikir istri saya akan menyalahkan wanita itu
karena tidak sabar dalam kemiskinan. Seakan sambil berbisik dia berkata, kita
ikut bersalah dengan keadaan itu. Tapi yang lebih bersalah adalah mereka yang
duduk dan ditakdirkan sebagai pemimpin di negeri ini. Para tuan terhormat
tidak akan pernah merasa bersalah akibat kematian Markiah, Tidak mungkin! Tentu , semua itu karena tuan-tuan para elite penguasa
negeri ini adalah orang yang beradab. Mengaku bersih dari segala dosa dan noda.
Tuan memang beradab. Tapi tak ada
peradaban ketika Markiah harus lompat dari Jembatan , jatuh dan mati, sebuah
harapan telah hilang ditelan debu kepongahan, dan kita semua yang memilih para
elite itu tidak berbuat banyak untuk manusia seperti Markiah yang jumlahnya
selalu dikaburkan oleh data statisitik . Markiah adalah indikator negatif
peradaban. Dia seorang janda miskin. Ketika suaminya meninggal, tak ada harta
yang ditinggalkan. Sejak suaminya meninggal dia bersama kedua anaknya tinggal
berpindah pindah. Demikian pengakuan dari anaknya tertua. Mungkin setiap dia
tinggal terpaksa diusir karena tak mampu membayar sewa rumah. Dari Banten
akhirnya dia mati di Bogor. Memang takdir telah berlaku baginya. Selesaikah ?
tapi diakui atau tidak , seorang Markiah nasipnya ditentukan oleh tuan tuan
terhormat di Parlemen dan Tuan Tuan yang Kabinet dan Tuan President, juga kita yang berkecukupan. Mengapa ? Karena uang semakin banyak , uang semakin sulit didapat oleh simiskin. Ketidak adilan yang memang menyedihkan dan ini teror bagi simiskin secara sistematis, berujung kepada kematian sia sia.
Apa daya Markiah ? Ia hidup di sebuah negeri dengan para birokrat yang seperti tak
hendak tahu dan berbuat; kemiskinan akibat sebuah system bukanlah hal yang baru,
Ini sudah dibicarakan dan dibahas sejak era kolonialis hingga negeri ini di Proklamirkan. Markiah adalah sebuah indikator kemalasan da keculasan
para pemimpin. Ia juga gejala kegagalan.
Di China ketika Revolusi kebudayaan para
orang pintar dan terdidik serta bangsawan dibersihkan akal dan nyawanya oleh
Mao. Hanya karena mereka acuh tak acuh dengan kemiskinan disekitarnya. Mereka dianggap kutu dalam selimut. Mereka pantas mati
dihadapan pengadilan rakyat miskin. Soekarno mencintai Marhaen sebagai buruh tani yang
miskin. Ketika PKI tampil membela golongan Marhaen, Soekarno bermasam muka kepada ulama yang tak berpikir membela kaum miskin, kecuali ulama yang mau
memikirkan orang miskin, kecuali nasionalis yang mau membela orang miskin. Maka
jadilah persekutuan nasionalis dan agama untuk membela kelompok marhaen,
bernama NASAKOM.
Apa yang baik bagi China, adalah
ketika Deng tidak menyalahkan Mao. Deng belajar dari substansi hati nurani Mao
untuk rakyat tertindas. Dengan itulah reformasi ekonomi dicanangkan dengan satu
tujuan, mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan melalui Produksi. Tapi
berbeda dengan Soeharto, ketika Soekarno jatuh, dengan mudahnya menyalahkan
Soekarno yang pro komunis, pro marhaen, pro rakyat tertindas. Para agamais juga
menyalahkan Soekarno dengan alasan Komunis anti agama. Tapi agamais lupa substansi dari komunis yang membela orang tertindas. Mereka lupa berpolitik demi QS Al-Maun. Para nasionalis juga
menyalahkan Soekarno dengan alasan tidak jelas. Tapi setelah itu, Soeharto
bicara tentang Repelita melalui berhutang dan mengundang asing datang untuk memberi
modal dan tekhnologi. Para Markiah dari kumpulan Marhaen menjadi penonton dalam
sunyi ketika buldoser membelah dan meluluh lantakan hutan, memecah gunung dan
bukit, meratakan rumah kumuh untuk dibangun Mall dan industry. Nasip kaum
Marhaen terlupakan, juga Markiah tenggelam dalam catatan statistic, dan mati
tanpa harapan.
Kini, apa yang berubah setelah
Soekarno tiada dan Rezim Soehato jatuh? Markiah , tak tahu. Yang saya tahu,
Indonesia tak mengalami apa yang dialami Iran. Di sana, demokrasi yang
menggantikan kediktaturan Syah Reza
Pahlevi memangkas habis semua mereka yang pernah bersinggungan dengan Syah Reza
Pahlevi, bahkan termasuk networking kapitalisme dari Barat dan AS juga
disingkirkan. Yang tersisa adalah sesuatu yang baru, dengan paradigm baru untuk
rakyat, untuk agama. Apa yang terjadi ? swasembada pangan , Swasembada
tekhnologi , swasembada modal , swaaembada kesehatan, dan yang lebih penting lagi
adalah kehormatan semakin tinggi. Saya tak tahu adakah ini soal malang rakyat Indonesia..
Yang pasti, demokrasi datang dan negeri ini hanya punya sederet pengambil
keputusan yang kacau, atau tak cerdas, atau bingung. Ya Markiah adalah indicator
dari kepemimpinan yang lahir dari system yang kacau dan bombrok. Tuan-tuan pasti punya sejuta alasan untuk
tidak sependapat dengan saya. Tapi faktanya Markiah telah mati.
Kisah tragis Markiah bukanlah hanya cerita tentang kemiskinan
akibat kekuasaan dan kebebalan. Ia juga
cerita sebuah keadaan, ketika seorang bisa begitu putus asa tak ada tempat
tinggal , tak ada penghasilan dengan beban dua anak, sementara tak jauh dari tempat ia melompat
dari jembatan , ada rumah pemimpin negeri ini. Ada vila mewah yang diisi oleh selir para orang kaya di Jakarta , bisa saja
mereka anggota dewan atau bisa saja juga pengusaha yang dekat dengan penguasa.
Mereka terbiasa menghabiskan urang puluhan juta untuk memanjakan diri ditempat
hiburan atau melempar uang lewat phone bankingnya untuk para selir dan istrinya
Cerita Markiah adalah cerita seorang yang dibunuh dengan acuh
tak acuh. Maka ia juga cerita tentang kematian yang tak terdengar, tapi seperti
sebuah teriakan. Markiah memang tak menggugat siapa-siapa, tapi ia
tetap sebuah kontras: ia kecemasan yang tak ditengok. Markiah akhirnya sebuah cerita selamat tinggal yang
tenang. Putus-asa itu tampaknya menyebabkannya siap dan ikhlas. Ia adalah
pengingat kita untuk tak kianat kepada UUD 45 pasal 34 dan firman Allah QS Al-maun…
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.