Friday, August 12, 2011

Pemekaran wilayah

Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa pada saat sekarang jumlah Daerah Otonom di Indonesia mencapai 530 yang terdiri dari 33 provinsi, 498 kabupaten, 93 kota, 5 kota administrative dan 1 kabupaten administrative. Inilah dampak dari semangat reformasi yang diawali disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 . Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan luas bagi daerah untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya masing masing. Maka jangan kaget terjadi pemekaran wilayah sebesar 65 % dibandingkan dengan jumah daerah otonom diakhir masa orde baru. Jumlah tersebut akan bertambah seandainya 178 usulan proposal pemekaran daerah yang saat ini masih dikaji DPR disetujui oleh pemerintah dan DPR sendiri. Luar biasa.

Kenyataannya kini, pemekaran daerah tidak berjalan sesuai rencana bahkan 80% dari 205 daerah pemekaran baru selama 10 tahun terakhir kurang berhasil. Penyebabnya, antara lain: pengadaan pembangunan sarana dan prasarana belum memadai, pelayanan publik belum optimal, belum selesainya dokumen Rencana Umum Tata Ruang wilayah (RUTRW), dan lain-lain. Tentu saja dengan membengkaknya daerah pemekaran di Indonesia otomatis akan menyimpan ‘bom waktu’ yang bisa meledak kapan saja sehingga menimbulkan high cost atau biaya tinggi bagi pemerintah pusat dan daerah sendiri.

Ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk mengukur mahalnya biaya pemekaran selama ini. Pertama, pemborosan uang negara dari APBN. Konsekuensi dari ledakan pemekaran selama 1999-2010 menyebabkan lonjakan beban APBN yang luar biasa besar. Salah satu hak keuangan paling dasar yang dimiliki pemerintah daerah adalah transfer dana APBN berupa dana alokasi umum (DAU). Besaran DAU tersebut didasarkan pada kebutuhan minimal masing-masing daerah dengan mempertimbangkan sejumlah variabel. Alokasi transfer ke daerah dari APBN terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pada 2003 pemerintah pusat harus menyediakan DAU sebesar Rp 1,33 triliun bagi 22 daerah otonom baru hasil pemekaran yang dilakukan pada 2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada 2004 sebesar Rp 2,6 triliun bagi 40 daerah otonom baru (DOB). DAU pada 2005 mencapai Rp 88,76 triliun. Kemudian, dananya meningkat menjadi Rp 145,66 triliun pada 2006, Rp 164,78 triliun (2007), Rp 179,50 triliun (2008), Rp 186,41 triliun (2009), dan Rp 203,60 triliun (2010). Pada 2011, pemerintah menganggarkan DAU Rp 225,53 triliun.

Secara umum, total transfer daerah (termasuk dana bagi hasil, dana alokasi khusus, dan dana penyesuaian) sebesar Rp 150,46 triliun pada 2005 dan membengkak menjadi Rp 392,98 triliun tahun 2011. Hal ini disebabkan selama ini setiap daerah pemekaran mendapat DAU secara mandiri, lepas dari perhitungan ‘daerah induknya’. Celakanya, ketika daerah induk mendapat DAU sebesar Rp 100 miliar dan daerah itu dipecah, dana tersebut tidak lantas berkurang dan dialihkan ke daerah pemekaran. Daerah pemekaran mendapat DAU dengan formula yang mandiri.

Kedua, semakin tingginya kesenjangan kemiskinan antar-daerah. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2011 mencapai 6,5%, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Menurut data BPS jumlah warga miskin sebesar 13,3%. Penyebarannya pun masih belum merata sehingga menyebabkan semakin tingginya kesenjangan kemiskinan antar-daerah di Indonesia. Ketiga, semakin rendahnya kinerja birokrasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai aspek, antara lain: rendahnya kapasitas dan kualitas SDM pegawai negeri, kualitas peraturan yang rendah, pengawasan birokrasi yang lemah dan lain-lain. Akibatnya, korupsi menjamur di daerah-daerah sehingga menghambat pengusaha dalam menjalankan bisnisnya.

Yang pasati bahwa pemekaran daerah yang dilakukan sejak tahun 2000 lalu hingga saat ini tak lain hanya menambah ongkos politik tanpa ada sentuhan real bagi kesejahteraan rakyat. Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, selama empat tahun terakhir, porsi belanja pegawai selalu jauh lebih dominan dibandingkan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Sejak 2007 hingga 2011, persentase belanja pegawai cenderung naik dari 39,91 persen menjadi 46,52 persen tahun lalu. Sebaliknya, porsi belanja modal untuk menggerakkan pembangunan cenderung turun dari sebelumnya 29,98 persen menukik ke 22,92 persen. Inilah fakta bahwa selama 10 tahun reformasi tak lebih menciptakan beban politik dengan gerombolan aparatur negara yang miskin kontribusinya bagi kemajuan bangsa.

Jalan keluarnya hanya satu yitu restruktur kelembagaan dan wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan rasionalisasi PNS untuk menuju reformasi total birokrasi. Kalau ini tidak segera dilaksanakan maka sampai kapanpun negeri ini tidak akan pernah ada kesempatan memikirkan rakyat yang harus dipikirkan. Ditambah lagi pemekaran wilayah dan peningkatan nilai APBN /D , telah menyuburkan tindakan korupsi dan konspirasi. Inilah yang sangat berbahaya dan kalau tidak dihentikan , hanya soal waktu , ini akan menimbulkan chaos...@Data: BPS dan MenKeu

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.