Waktu sekolah dulu , sejak SLP sampai SMU saya tidak pernah mendapatkan nilai diatas 5 untuk pelajaran bahasa ( inggeris dan
Pendidikan bukan hanya soal menghafal dan berhitung untuk mendidik orang mampu menganalisa secara kualitatif maupun kuantitatif tapi juga kemampuan mengkayakan hati secara independen lewat pemahaman tentang agama dan budaya. Dalam suatu negara yang berniat membangun peradaban, maka idiologi adalah mata pelajaran utama. Pendidikan idiologi itu berbasis kepada budaya ( untuk negara sekular ) . Untuk negara islam maka design pendidikan itu bertumpu kepada Al Quran dan Hadith yang bijak terhadap budaya lokal. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan terbentuk karakter bangsa /umat. Menjadi masyarakat pencerah tentang cinta dan kasih sayang. Tapi jangan pula dianggap ini mengabaikan pentingnya sains untuk membangun peradaban. Sains penting tapi harus diletakan bukan segala galanya. Ia hanya pelengkap. Pelajaran termahal dapat dilihat di AS.
Strategi pendidikan Nasional Indonesia setelah reformasi mengikuti design dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Ini lembaga international yang dikenal sebagai penyokong utama program globalisasi dan kapitalisme dibawah bendera demokratisasi. OECD sebagi penggagas cetak biru pendidikan dinegara berkembang, memaksakan prinsip soal kapitalisme pendidikan. Bukan hanya soal biaya pendidikan yang harus dikurangi dari APBN (negara ) tapi juga paradigma sistem pendidikan yang harus dikeluarkan dari kebudayaan. Maka ketika reformasi tidak ada lagi Departement Pendidikan dan Kebudayaan, diganti dengan Kementrian Pendidikan. Ya, pendidikan kita sudah masuk SOP kapitalism yang semuanya ditentukan oleh rating. Kampus/Sekolah di Rating, Siswa/Mahasiswa di Rating , sebagai acuan masuk ke bursa kerja. Tidak ada lagi egaliter pendidikan. TIdak ada lagi membumikan kebudayaan dan agama dalam pendidikan.
Apa yang terjadi ? demi rating, semua orang menghalalkan segala cara untuk mencapai terbaik. Termasuk mencontek agar lulus dengan cara culas untuk qualifed masuk bursa kerja dan poles image agar qualified masuk bursa Kampus bergengsi. Soal kualitas hanya sebatas procedural belaka. Substansi pendidikan untuk perbaikan etika dan moral terdulasi sedemikian rupa akibat sistem kompetisi yang dibangun. Maka generasi yang dibangun adalah generasi yang miskin empati. Individualis terbentuk seiring lahirnya budaya hedonisme. Semua sibuk dalam kegegemaran memoles diri menjadi masyarakat cepat saji. Seperti Mi Instant , rasa soto tapi bukan soto. Rasa ayam tapi bukan ayam. Sarjana tapi bukan sarjana. Anggota dewan tapi bukan anggota dewan. Presiden tapi bukan presiden. Guru tapi bukan guru. Tentara tapi bukan tentara. Pengusaha tapi bukan pengusaha. Substansi terhalau, yang ada hanyalah topeng.
Ya...setidaknya saya bersyukur tidak dididik diera sekarang. Andai mengikuti sistem sekarang, mungkin saya tidak pernah bisa tamat SMU , apalagi kuliah. Sudah saatnya paradigma pendidikan dikembalikan kepada akar budaya bangsa dan kearifan lokal dengan menempatkan agama sebagai dasar membangun peradaban bangsa. Hanya dengan cara itulah kita bisa memperbaiki situasi yang sudah terlanjur jadi benang kusut , sekusut kita dalam berdiskusi menemukan solusi bagi masa depan bangsa kita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.