Tuesday, June 15, 2010

No Value

Ada seorang yang bertanya kepada saya soal 1) apa yang dimaksud dengan OJK dan 2) mengapa penggabungan quasi bank dan conventional bank menyebabkan krisis. 3) Bagaimana cara kerja reksadana antaboga di Indonesia dan sekuritisasi perumahan di AS. Saya mendapatkan pertanyaan ini sempat tertegun. Karena pertanyaannya smart atau setidaknya pertanyaan mengarah menjadi smart keuangan. Ini sangat baik datang dari kaum muda. Maklum saja begitu banyak orang pintar lulusan universitas tapi bodoh memahami cara kerja uang. Mereka hanya paham bekerja keras untuk menghasilkan uang dan menabung kalau berlebih dan bila berlebih lagi, beli saham, bila lebih lagi beli rumah (property). Ketika harga saham jatuh, nilai uang amblas dimakan inflasi, harga property ambruk, mereka menjadi kumpulan korban dari sebuah sistem.

Mungkin kebanyakan orang menganggap bahwa OJK adalah cara terbaik membuat satu badan independent yang bertugas sebagai regulator dan sekaligus sebagai badan pengawas. Lembaga ini kekuatannya dibawah UU dan bertanggung jawab kepada Parlemen. Nyatanya Inggeris sebagai pencetus Financial Service Authority ( Otoritas Jasa Keuangan ), tak mampu menghadang krisis ekonomi. Di Amerika Serikat ada namanya GS Act 33 yang merupakan dasar regulasi industri keuangan yang memisahkan investment banking dan conventional banking. Tapi nyatanya tahun 80an krisis terjadi dan tahun 90an juga krisis sampai akhirnya tahun 1999 di remove oleh the FED karena dinilai distorsi terhadap hukum SEC yang ada.

Di Indonesia, dulu zaman Soeharto, kebijakan moneter dan keuangan ditangan departemen Keuangan, BI dibawah president. Tapi kemudian BI dibawah DPR dan tetap ada pemisahan antara Industri jasa perbankan dan Non Bank. BI hanya bertugas mengatur dan mengawasi perbankan. Sementara non Bank seperti Leasing, Asuransi,d Dana pensiun, Jasa pegadaian dibawah Dirjen Lembaga Keuangan (Kementrian Keuangan ) Sekuritas Company , Asset Management dibawah Bapepem ( Kementrian Keuangan ). Sistem ini memang efektif untuk menjaga industri keuangan tidak lepas kendali terlalu jauh. Tapi bukan berarti bebas dari goncangan apabila masing masing pejabat yang berkuasa tidak memahami sophisticated transaksi keuangan. Krisis 1998 dan Kasus century dan Antaboga serta banyak lagi arisan berantai lainnya satu contoh kebobolannya sistem perbankan kita.

Mengapa terkesan ada penggabungan antara quasi bank dan conventional bank ? Penyebab utamanya adalah bank yang merupakan lembaga kepercayaan yang didirikan karena legitimate negara bertindak sebagai promotor agent antara fund manager dan nasabah kaya untuk memungkinkan dana mengalir kesektor yang non conventional. Non Cenvetional ini berkerja layaknya business ponzy. Lantas apa jadinya bila bank jadi channeling agent untuk business ponzy ? Yang umumnya orang percaya karena bank yang tawarkan padahal itu bukan business bank. Produk yang ditawarkanpun dikenal dalam banyak literatur sekolah. Keadaan ini berlangsung dari tahun ketahun hingga para fund manager asik merekayasa produk investasi untuk diputar dalam business spekulasi valas, saham , emas, dan komoditi, property. Dan bank sebagai lembaga penyalur produk itu kepada nasabah kakab yang umumnya miskin knowledge ( umumnya dana pensiun, koruptor, dll ).

Bagaimana kerjanya bank menarik dana ke jalur non konventional ? . Karena ada linking product yang masuk area abu abu. Contoh bila anda nabung di bank, maka anda diberi akses untuk mendapatkan credit instant untuk beli rumah, beli saham atau apa saja. Begitu pula anda deposit uang dibank..terus bank tawarkan produck derivative atas uang itu. Uang anda tetap ada dibank tapi telah digunakan untuk sebuah komitment yang rapi diluar sistem perbankan. Seperti kasusnya antaboga. Orang deposit di Century tapi aplikasinya untuk investasi di antaboga (bukan tabungan conventional ). Seperti kasusnya Repo saham Bakri kepada PNM menggunakan jaminan rekening rekasadana PNM. Banyak lagi contoh yang semuanya berakhir kepada korban kerugian.

Kenapa endingnya rugi ? ya karena ini transaksi tanpa nilai dan semua karena sebuah rekayasa future. Yang namanya rekayasa , tentu semua direkayasa termasuk price and yield. Agar semakin besar orang melepas dananya ke produk rekayasa ini. tanpa disadari para pemilik cash hanya memegang kertas yang nilainya diatur oleh sistem pasar ( bukan oleh negara ). Jumlahnya semakin membesar dan membesar ( bubble). Dan ketika semua ingin kertas itu diuangkan ( ditunaikan ) ,pasar tidak bisa membayar karena ya namanya rekayasa..mana ada pula nilainya. Seketika itu juga nilai surat berharga yang ada ditangan menjadi tak bernilai. Nilai saham jatuh, harga property hancur. Orang kaya meradang. Tapi hebatnya negara digaris depan menjadi pelindung sistem ini. Bail out dilakukan. Bail out itupun uang rakyat yang berujung kepada inflasi dan jatuhnya nilai uang dipasar.

Dari krisis demi krisis yang terjadi harusnya kita menarik pelajaran berharga. Cobalah, tahun 80a krisis mendulang rugi ratusan juta dollar, tahun 90an sudah mencapai miliaran dollar dan sekarang sudah mencapai triliunan dollar. Kalau tahun 80an krisis sebatas lokal, tahun 90an sudah merambah keregional dan sekarang menjadi global. Semoga keadaan ini membuat kita semakin smart memahami soal uang dan harta. Bahwa sebaik baiknya harta apabila digunakan untuk produksi dan bermanfaat bagi orang lain, bukan sebagai pencipta rente lewat produk no value yang bersumber dari sifat rakus dan malas berbagi.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.