Ketika rezim Soeharto jatuh, maka orang kampus tampil dipanggung politik. Semua yang berbau Orba adalah salah tapi orang Orba bukanlah salah. Ini sebagai sebuah bentuk kompromi oportunis karena chaos adalah ketakutan bagi siapa saja. Negeri ini dimana sang visioner sudah lama mati , yang ada hanyalah ruang bisik bisik para elite untuk memilah mana yang perlu dikoreksi dan mana yang tidak. Tapi image harus dibangun untuk label sebuah nama “reformasi” yang pro demokrasi. Maka UUD 45 di amandement. Hasilnya Lembaga Baru pun bermunculan sebagai suatu bentuk reformasi. Namun pada kenyataannya adalah bukannya demokrasi dari rakyat untuk rakyat tapi dari pasar untuk pasar.
BP-MIGAS dibentuk. Berharap ada kepastian dari dunia usaha untuk datang mengelola sumber daya alam migas kita. Seakan Departemen terkait soal MIGAS kurang demokratis untuk mengorganisirnya. BP-MIGAS memang berhasil mendatangkan investor Migas dari hulu sampai kehilir. Dan akhirnya kita mengetahui bahwa MIGAS sudah menjadi komoditi business bagi pemodal siapa saja. Namun , anehnya catatan eksport MIGAS yang dibuat Bea Cukai tidak sama dengan data produksi BP MIGAS. Hak Angket soal MIGAS kandas dimakan kompromi. Keliatan esensi pengawasan nol dan kecuali kemudahan pelepasan resource kepada asing.
Jalan Toll itu bagus katanya walau ini hasil rezim Soeharto.. Karena negara cukup atur tanpa harus keluar modal melayani kebutuhan public.
Menjelang masa akhir Jabatan DPR , kini sedang dipaksa untuk menyelesaikan RUU OJK ( Otoritas Jasa Kuangan ). Menurut para elite politik dan pemerintah bahwa idealisme pendirian OJK ini sangat tepat untuk mengintergarasikan kebijakan dibidang keuangan, perbankan dan pasar modal. Juga memberikan peran BI lebih focus menjaga posisi moneter yang berhubungan dengan pengendalian inflasi lewat operasi pasar uang. Inggeris yang memilik lembaga sejenis ini , kenyataannya tidak berfungsi dengan baik untuk menciptakan system pengawasan dibidang keuangan, perbankan, pasar modal. Terbukti ketika dihadapkan oleh krisis financial, Bank Central nya terpaksa mem bail out perbankannya. Kelak lembaga ini akan copy paste dengan apa yang sudah terjadi di Inggeris dimana bank centralnya hanya menjadi sapi perahan tanpa berdaya mengatur dan mengawasi.
Banyak lagi lembaga yang didirikan selama era reformasi. Seperti KPK, yang hanya mengejar pejabat public korup tapi tak berdaya menghadapi pengusaha asing yang melakukan kontrak karya dengan negara. Padahal kejahatan asing melalui kontrak karya jauh lebih besar dibanding korupsi pejabat public. PPATK ( Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan ), hanya bekerja berdasarkan delik aduan. Tidak efektif membendung pengusaha yang melarikan dananya ke luar negeri. Tugasnya tak lebih mengawasi unqualified receiver fund sebagai bentuk kepatuhan terhadap Partiot Act dan Money Laundry International law. Tapi asing bebas bawa dana masuk dan tidak perlu ditelusuri asal usul uangnya. SMECO atau Badan Nasional Usaha Kecil , dibentuk agar kelak tidak perlu ada lagi jabatan menteri yang mengurus UKM. Soal UKM bukan lagi urusan politik. Itu urusan pasar. Biarkan pasar yang berbicara dan mengurusnya. KPPU ( Komisi Pengawasan Persaingan Usaha ) dibentuk tapi gagal melindungi pedagang tradisional yang terjepit oleh kekuatan pedagang retail raksasa.
Hal tersebut diatas berlum termasuk lembaga baru yang berupa badan Usaha dibidang asuransi ( simpanan di bank/LPS ), Perbankan ( Pembiayaan Eksport/Bank Export ) , Lembaga Penjamin investasi, Pembangunan infrastruktur. Sementara yang sudah ada justru diprivatisasi bila menguntungkan asing/swasta. Dibidang penegakan hukum, ada MK dan KY tapi hukum tidak juga tegak. Tentu semua lembaga itu menguras anggaran yang tidak sedikit. Dan sekaligus memberikan kesempatan bagi elite partai untuk duduk dilembaga baru itu dengan limpahan facilitas dan kehormatan. Hasilnya jauh idealisme moralitas negara melindungi rakyat.
Padahal esensi reformasi bukanlah perluasan kelembagaan tapi lebih daripada itu adalah penegakan hukum yang efekfive dan itu hanya melalui reformasi birokrasi , rasionalisasi dan reorientasi PNS dari birokrasi menjadi meritokrasi.