Friday, February 29, 2008

WTO

Berita terakhir yang diterima melalui media massa Hongkong diberitakan bahwa ada 25 orang pertani asal Indonesia ditangkap oleh aparat keamanan berkaitan dengan aksi demo menentang pertemuan WTO. Para petani ini tergabung dalam Via Campesina, yang terlibat dalam mengorganisir aksi-aksi melawan neoliberalisme di seluruh dunia.Hasil-hasil yang membawa malapetaka selama 10 tahun dari kebijakan pertanian dan perdagangan WTO yang didasarkan pada pertanian berorientasi ekspor secara jelas telah menunjukkan kegagalan. Kebijakan neoliberal ini telah membuat rakyat lebih tergantung terhadap produk-produk impor dan telah memberikan keuntungan kepada industri-industri pertanian (agro-industri).

Begitu banyak contohh-contoh dari berbagai Negara mendukung pernyataan ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% di Amerika Latin tidaklah mendorong pengurangan kemiskinan di kawasan tersebut. Sebagai contoh, Brasil semakin jatuh miskin sebagai akibat peningkatan ekspor yang ditujukan untuk membayar hutang-hutang luar negerinya. Kekuasaan dan uang semakin terkonsentrasi pada segelintir tangan-tangan tertentu. Perusahaan-perusahaan multi-nasional kelihatannya lebih penting bagi WTO dibandingkan dengan seluruh rakyat dunia.

WTO, didirikan pada tahun 1995, merupakan agen baru perdagangan global yang berkuasa, yang telah mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan) menjadi sebuah perjanjian yang mampu memaksakan perdagangan global. WTO adalah salah satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Pendukungnya mengatakan bahwa WTO berdasarkan pada ‘perdagangan bebas’ (free-trade). Namun sebenarnya buku aturan WTO yang lebih dari 700 halaman lebih tersebut, merupakan suatu sistem perdagangan bergaya korporatis (corporate-managed) yang komprehensif. Bahkan WTO jauh sekali dari filosofi perdagangan bebas abad ke-18 yang dikembangkan oleh David Ricardo atau Adam Smith, yang berasumsi bahwa baik tenaga kerja maupun modal tidak boleh lintas batas negara.

Sistem perdagangan bergaya korporatis itu didominasi oleh efisiensi ekonomi yang tergambar dalam pencapaian profit perusahaan secara cepat. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi ekonomi hanya dinikmati oleh sektor swasta, sedangkan biaya-biaya sosial, lingkungan ,menjadi beban publik. Sistem yang kadang-kadang disebut model ’neoliberal’ ini mengesampingkan undang-undang lingkungan, usaha perlindungan kesehatan, dan standar tenaga kerja, dalam menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang murah bagi perusahaan-perusahaan transnasional (TNC/Trans-National Corporation). WTO juga menjamin akses perusahaan-perusahaan besar tersebut ke pasar luar negeri tanpa mewajibkan perusahaan-perusahaan transnasional tersebut untuk mempertimbangkan prioritas-prioritas keperluan domestik negara-negara yang dituju.

Dalam ideologi neo-liberal, mitos yang mengatakan bahwa setiap negara dapat berkembang dengan cara lebih banyak mengekspor dibandingkan impor, dianggap sangat penting. Sepertinya para pendukung ideologi ini lupa bahwa, bila suatu negara mengekspor mobil, misalnya, negara tujuan ekspor tersebut menjadi pengimpornya. Saat ini perusahaan-perusahaan transnasional tersebut menginginkan lebih, yaitu suatu ‘Millenium Round’ (Putaran Milenium) baru dalam perundingan-perundingan WTO selanjutnya, yang akan mengakselerasikan percepatan laju ekonomi dengan cara memperluas kekuasaan WTO.

Tapi kegagalan konsep ini terlihat jelas pada pertumbuhan ekspor yang merugi sebagai buntut dari krisis ekonomi Asia Timur pada tahun 1998. Saat IMF mendorong negara-negara Asia untuk melakukan ekspor guna keluar dari krisis, maka sebenarnya Amerika menjadi pengimpor sebagai penyelamat terakhir. Buruh pabrik baja Amerika kehilangan pekerjaannya karena membanjirnya baja impor, sementara para buruh Asia tetap terperosok dalam depresi yang mengerikan.

Ideologi neo-liberal yang menyokong perdagangan bergaya korporartis dicerminkan lewat slogan "TINA" atau "There Is No Alternative" (Tidak Ada Pilihan Lain), merupakan suatu akibat yang tak terhindarkan dibandingkan suatu puncak dari usaha jangka panjang dalam membuat dan merancang aturan yang lebih menguntungkan perusahaan dan investor, ketimbang masyarakat, buruh maupun sektor lingkungan hidup.

Saat WTO dibentuk, organisasi-organisasi publik dan para anggota masyarakat yang peduli memperingatkan bahwa perpaduan antara aturan-aturan WTO yang berpihak pada indusri dan kekuasaan pelaksanaannya yang besar merupakan ancaman terhadap undang-undang yang melindungi komsumen, pekerja, dan lingkungan. Hampir lima tahun kemudian, hal ini terbukti dengan rekor yang jelas: kasus-kasus yang diselesaikan berdasarkan aturan-aturan WTO bias terhadap kepentingan publik.

Masing-masing negara dan berbagai kelompok kepentingan memiliki agenda yang berbeda dalam pertemuan tingkat menteri WTO Ada tiga kategori isu, yaitu: Kategori pertama, banyak perjanjian WTO (Pertanian, Hak Kekayaan Intelektual, Jasa) memiliki pembahasan tetap (built-in review) dalam satu periode tertentu. Pembahasan ini tidak harus merupakan perundingan deregulasi baru. Kategori kedua termasuk komitmen-komitmen yang dibuat dalam pertemuan tingkat menteri sebelumnya untuk mengadakan perundingan tentang pertanian dan jasa di masa yang akan datang. Pertanyaan kunci yang akan dipecahkan dalam tahun ini adalah apakah kategori ketiga yaitu ‘isu-isu baru’ akan masuk dalam pembahasan WTO. Masuknya isu-isu baru seperti masalah investasi, kebijakan persaingan (competition policy) dan belanja pemerintah (government procurement), akan semakin jauh memperluas kekuasaan WTO.

Semoga DPR dapat mengawal team negosiator pemerintah disetiap perundingan WTO untuk selalu berpihak kepada kepetingan petani dan perduksi dalam negeri. Kegagalan negosiasi akan menempatkan rakyat dan petani dalam jeratan persaingan yang tidak seimbang dalam pasar global.
Arsip 2006

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.