Wednesday, April 30, 2025

Aset BUMN yang low value

 







Era periode  Jokowi berkuasa. Memang terjadi peningkatan asset BUMN sangat tinggi. Tahun 2013 asset BUMN Rp. 4557 Triliun. Tahun 2025 sudah Rp. 14.670 Triliun. Meningkat 3 kali lipat lebih. Itu memungkinkan karena likuiditas melimpah dan suku bunga rendah. Tempalah besi selagi panas. Teruslah tambah asset selagi kesempatan berhutang ada. Tentu prosesnya kurang transparan dan tidak akuntabilitas. Dilaksanakan dengan perencanaan yang tidak berkualitas. Soal laba engga begitu peduli. Value engga dipikirkan.


Dengan asset BUMN per 2024 mencapai Rp. 10.950 Triliun. Hanya menghasilkan laba Rp. 304 Triliun. Return on asset atau tingkat pengembalian atas asset hanya 2,7%. Dan lagi asset sebesar itu tidak didapat dari laba yang dikumpulkan, tetapi dari utang. Laporan konsolidasi utang BUMN mencapai Rp6.957,4 triliun ( 2024). Dengan Debt to asset ratio (DAR) 64%. Itu artinya lebih separuh dari asset berasal dari hutang.


Sangat tidak efisien. Udah pasti sulit dikatakan bisa bersaing secara global dengan industry sejenis. Padahal BUMN itu berdiri dengan misi agent of delopment. Diawasi dan dikawal langsung oleh elite partai atau ring kekuasaan sebagai komisari utama.  Didukung fasiltas business yang secure. Mendapat modal tunai dari negara lewat APBN.  Market yang monopoli. Akses keperbankan untuk pembiayaan. Para direksi yang well educated.


Makanya engga kaget. Bila selama 10 tahun kekuasaan Jokowi, uang APBN lewat PMN digelontorkan kepada BUMN mencapai Rp.226 Triliun. Sebagian besar digunakan untuk bayar utang. Itu belum termasuk dana kompensasi PSO kepada Pertamina dan PLN yang mencapai ratusan triliun. Kalau engga, utang tidak bisa dibayar.  Belum lagi perbankan BUMN yang kalau tidak didukung skema macroprudential lewat Repoline dengan BI, praktis sulit melaksanakan fungsi intermediary nya. Karena likuiditas kering.


Apa artinya ? Asset besar BUMN yang dibanggakan CEO Danantara itu tidak punya value untuk di- leverage dalam skema apapun. Malah justru menimbulkan moral hazard menguras APBN. Apa pasal ? Memang business model BUMN bukan bertujuan business as usual. Tidak berorientasi kepada profit oriented. Bukan sebagai resource revenue negara tetapi di-design sebagai resource bagi elit politik  memenuhi pundinya. Tentu bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dan membayar loyalitas kepada ring kekuasaan dan oligarki yang ongkosi pemilu.


Saya tidak mengerti apa yang dibanggakan Danantara terhadap Asset yang hampir 2/3 berupa utang. Tanpa proses rasionalisasi secara structural, asset itu akan semakin tergerus oleh beban bunga dan cost of maintenance. Moga tidak terjebak dalam skema Leverage buyout. Dimana asset yang didapat secara inbreng dari BUMN dijual untuk dapatkan 30% cash equity, sehingga punya akses pembiayaan bank lewat skema Non recourse loan sebesar 100%. Memang leverage (Debt to equity ratio) terjadi 3 kali namun pasti tidak efisien dan menimbulkan moral hazard. Mengapa ?


Karena proses penjualan asset menjadi uang tunai itu tidak mudah, karena  Danantara tidak bisa melepas asset BUMN tanpa izin pemegang saham seri A dan itu prosesnya melibatkan DPR dan pasti diawasi BPK dan KPK. Belum lagi akan sangat sulit menjaga disiplin standar kepatuhan lelang asset. Maklum asset jumbo itu mengundang mafia lelang yang pasti terhubung dengan broker elite dan lingkaran istana. Sangat mudah terjadi skandal. Mega skandal!

No comments:

Post a Comment