Istilah B2B atau Business to business ini digunakan untuk proyek PINA ( pembiayaan investasi non anggaran). Dalam aturan disebut dengan istilah KPBU ( Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha ), beberapa praktik lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dikenal dengan istilah Kerjasama Pemerintah dengan Swasta (KPS). Pengertian tersebut serupa dengan definisi public private partnership (PPP) pada skala internasional. KPBU adalah kerjasama yang memberikan kesempatan bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam pembiayaan, desain, konstruksi, operasional dan pemeliharaan terhadap proyek/program sektor publik, umumnya pemanfaatan tanah/lahan negara.
Terdapat berbagai model KPBU yang biasa diterapkan, misalnya kontrak operasi dan pemeliharaan (Operate & Maintenance Contract), Built Operate Transfer (BOT)/Bangun Guna Serah (BGS), dan Built Transfer Operate (BTO)/Bangun Serah Guna (BSG), dan lainnya. Dasarnya adalah perjanjian antara Swasta, pemerintah. Karena bagaimanapun KPBU melibatkan aspek hukum perjanjian, aspek hukum pemanfaatan lahan negara dan aspek hukum keuangan Negara.
Apa jenis proyek yang masuk PINA? Adalah proyek publik yang punya nilai komersial. Misal PLN, Bandara, Telkom, Jalan Tol, Kereta Api, pelabuhan. Selain proyek tersebut seperti rumah sakit utama, Bendungan dan irigasi, dan lainnya walau punya nilai komersial tetap tidak boleh dikelola secara B2B. Tetap dikelola oleh pemerintah dan pembiayaan bersumber dari APBN. Namun bagaimanapun proyek PINA itu bagian dari kebijakan fiskal Anggaran. APBN ikut menstimulasi proyek itu lewat insentif dan tarif, regulasi dan bahkan menyediakan dana sisipan seperti VGP. Biasa nya kebijakan itu tertuang dalam proyek strategis nasional
Prinsip obyek proyek pada KPBU ini sangat jelas. Agar tidak tercampur mana public service obligation (PSO) dan mana komersial. Prinsip anggaran Indonesia centris atau keadilan distrbusi anggaran secara nasional harus diperhatikan. Artinya misal, proyek kereta cepat menghabiskan anggaran diatas Rp. 100 triliun. Itu tidak ada urusannya dengan indonesia centris. Toh tidak pakai APBN. Itu proyek komersial biasa. Nah lain halnya kalau proyek kereta cepat itu dibiayai atau dijamin oleh APBN. Itu bukan lagi KPBU. Itu jelas tidak menganut keadilan distribusi APBN. Membuat kesenjangan Jawa dan luar jawa semakin timpang.
Dalam kasus kereta cepat, Jakarta Bandung. Awalnya skema KPBU. Tidak melibatkan APBN. Dana investasi dari modal konsorsium proyek dan pinjaman dari China Development Bank. Kalau akhirnya China sebagai investor minta agar proyek itu dijamin oleh APBN, itu artinya proyek itu tidak lagi dijalankan sesuai dengan business model awal. Dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan. Tidak lagi sesuai dengan skema bisnis KPBU. Jadi wajar saja kalau pemerintah China minta gar resiko proyek ditanggung APBN.
Kalau pemerintah setuju, maka itu jelas melanggar prinsip APBN yaitu indonesia centris. Mengapa ? Bayangin aja. Proyek komersial untuk kelas menengah yang katanya menampung penumpang 20.000/ hari harus ditanggung APBN. Itu akan jadi beban APBN selama 80 tahun dan dampaknya bisa mengurangi anggaran ke daerah. Gimana dengan rasa keadilan bagi rakyat Papua, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Ini APBN bukan hanya punya jawa saja, tetapi rakyat indonesia dari sabang sampai Marauke. Kalau dipaksakan akan berdampak tsunami politik di Indonesia. Sangat merusak reputasi pemerintah sebagai penjaga spirit NKRI.
Lantas apa solusinya ? saran saya, sebaiknya kembalikan saja ke konsep awal sesuai aturan KPBU. Penuhi syarat strategis bisnis KPBU yang diminta China, dan BUMN keluarkan saja dari anggota konsorsium. Jadi kita tidak ada urusan dengan utang atau resiko. Toh setelah masa konsesi habis, itu proyek kembali ke negara. Kalau untung negara tetap dapat pajak. Kuncinya, mari kita audit secara menyeluruh pelaksanaan proyek itu. Demi indonesia centris tentunya.
***
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.