Sheldon Whitehouse adalah senator mewakili negara bagian Rhode Island di Senat AS. Di Rhode Island, dia pernah menjabat sebagai Jaksa dan Jaksa Agung. Dia tinggal di Newport, Rhode Island. Dengan pengalaman luas sebagai praktisi Politik dan peradilan serta latar belakangan pendidikan yang mumpuni, Sheldon Whitehouse menulis buku yang berjudul “the scheme.” Menurut saya buku ini lebih sekedar curhat dengan niat baik agar sistem dibenahi. Apalagi dibantu oleh Jennifer Mueller alumni hukum Harvard yang memang jago dalam hal riset hukum dan menulis artikel akademis.
Kalau anda pernah belajar financial engineering dan financial structure, pasti anda paham apa itu the scheme ( skema). Pengertian bukan sekedar skema tetapi berkaitan dengan tailor made. Apa sih tailor made ? saya analogikan seperti membuat pakaian. Dari menentukan bahan kain, menentukan model pakaian, membuat pola, dan memotongnya, dan akhirnya menjahit sehingga layak dan pantas dipakai orang. Paham ya. Artinya Skema mengatur yang rumit menjadi sederhana sehingga semua keliatan indah dan baik baik saja.
Saya gambarkan analogi sederhana berkaitan dengan hukum. Sistem pengadilan kita mengenal tiga pihak yang terlibat. Jaksa. Pengacara dan Hakim. Ibarat masakan. Jaksa itu menentukan menue dan memasak. Tugas Pengacara memastikan jenis menu, bumbu, porsi dan lain lain sudah sesuai dengan standar menu. Kalau tidak tepat , dia akan buktikan ketidak benaran itu. Nah tugas Hakim untuk cicipi makanan itu. Keputusan apakah masakan itu sudah sesuai dengan menue ada pada Hakim. Paham ya. Ok lanjut.
Karena hulu dari skema itu ada pada jaksa. Maka pengatur ( tailor made ) sidang bisa dekati jaksa untuk membuat dakwaan yang memberikan celah bagi pengacara untuk melemahkan dakwaan itu. Kalau nyerempet aturan sidang. Tugas pengatur mendekati Hakim agar memberikan ruang bagi pengacara untuk menyudutkan Jaksa sehingga punya jalan untuk mematahkan kontruksi hukum yang dibuat jaksa. Sehingga peroses peradilan jadi orkestra. Yang jadi konduktor adalah pengatur. Paham ya. Ok lanjut.
Apakah sesederhana itu ? Tidak. Pengatur dekati Partai untuk mengatur anggota DPR agar menkondisikan MA dan jaksa agung. Maklum pejabatat tinggi di MA dipilih oleh panel DPR dan Jaksa agung itu orang partai. Nah tugas MA dan Jaksa agung mengarahkan Jaksa dan hakim agar patuh kepada skema. Untuk implementasi di lapangan, tugas pengacara memuluskan jalan sidang agar tidak melanggar hukum dan norma. Demikianlah penjelasan sederhana apa itu skema. Nah skema itu bisa jadi tailor made karena uang. Uang bicara segala galanya termasuk membeli keadilan dan kekuasaan.
Dalam buku The Scheme : How the Right Wing Used Dark Money to Capture the Supreme Court, digambarkan bagaimana dana anonim menguasai Kehakiman AS, termasuk Mahkamah Agung. Tujuanya adalah pengadilan dan keputusan politik memenangkan agenda sipemilik uang. Whitehouse mengatakan uang anonymous mengalir ke jaksa, hakim sampai ke istana. Uang juga mengalir ke influencer untuk mempengaruhi opini publik atas proses pengadilan yang sedang berlangsung. Bahkan mereka mampu membujuk Senat untuk melanggar aturan, norma, dan preseden untuk melaksanakan agenda yang tidak sesuai dengan konstitusi. Kalau anonymos, kira kira indikasi mereka itu siapa? Elite oligarki bisnis. Singkatnya setan jobless karena kejahatan diborong kabeh mereka.
***
Nah bayangkan, itu AS yang sistem demokrasinya udah established. Gimana dengan Indonesia yang sudah terbukti Hakim Agung kena OTT. Kalau melihat pak Mahfud MD di layar kaca. Saya kadang prihatin. Wajahnya selama menjabat Menko nampak menua. Tidak secerah dan sesehat sewaktu dia belum jadi Menko. Kamis (19/1/2023)- Kompas, dia mengatakan, mencium "gerakan bawah tanah" yang sengaja memengaruhi putusan atau vonis terhadap Ferdy Sambo dan kawan-kawan. Tak tanggung-tanggung, dia menyebutkan bahwa gerakan itu sebagai gerilya. Ada yang meminta Ferdy Sambo dihukum berat, ada juga yang meminta eks Kadiv Propam itu dibebaskan. Siapa mereka yang ingin mempengahui sidang itu ? Mahfud menyebut pangkat jenderal. Itu jelas dari TNI. Tentu yang "dipelihara" mliarder.
Walau Mahfud MD mengatakan bahwa dia yakin Jaksa dan Hakim indepedent, tetapi keyakinan publik atas omongan Mahfud itu tidak sama saat kasus FS belum masuk pengadilan. Kini publik bisa saksikan jalan persidangan itu. Dakwaan jaksa sangat jelas. Yaitu berkaitan dengal Pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Di persidangan, Hakim terkesan terbawa permainan Pengacara terdakwa yang berusaha mengaitkan itu dengan kasus pelecehan seksual. Benarlah. Dalam tuntutan Jaksa menyebut bahwa antara PC dan J ada perselingkuhan. Ini bisa jadi bola liar dan akan dimanfaatkan oleh pengacara FS untuk meringankan FS. Dan nyatanya Jaksa menuntut FS dengan hukum seumur hidup, yang sangat mungkin dalam proses banding hukuman berkurang, bahkan bebas. OK lah. Itu tentu ada pertimbangan hakim. Kita lihat nanti. Walau ragu hasilnya sesuai harapan.
Kemudian keberadaan Bharada eliezer (Bharada E) yang diakui LPSK sebagai Justice collaboration, dituntut hukuman 12 tahun. Alasan Jaksa, Bharada E bukanlah justice collaborator (JC). Padahal LPSK itu lembaga yang dibentuk oleh UU 31/2014. Hebat ya. Jaksa bisa abaikan produk dari lembaga yang di create oleh DPR. Jaksa punya alasan atau penilaian tersendiri kenapa Bharada E tak disebut justice collaborator. Alasan lainnya, Bharada E bisa menolak perintah FS, sebagaimana yang dilakukan Brigadir Ricky. Jadi alasan menembak karena diperintah oleh FS tidak tepat. Demikian dibalik tuntutan Jaksa kepada Bharada E.
Menurut Pakar inteligent Sulaiman B. Pontoh, Jaksa mengabaikan hukum kausalitas dan ralasi kuasa. Sudah jelas perbedaan pangkat antara Brada E dan Bripka R sangat jauh. Engga bisa disamakan, walau mereka sama sama Polisi. Begitu juga latar belakang Brada E itu adalah Brimob, yang memang dilatih untuk melaksanakan perintah, apalagi sudah diberi senjata dan peluru. Apapun istilah perintah, engga penting lagi. Ya dia tembak. Sementara Bripka R adalah polantas yang terlatih menggunakan otaknya dalam bertugas. Pangkat Bharada itu 18 tingkat dibawah FS yang jenderal. Jadi wajar kalau Bharada E tidak bisa bersikap sama dengan Bripka R.
Pedagang sempak yang rakyat jelantah, punya pendapat. Yang berkuasa adalah uang. Apapun bisa dibeli termasuk kekuasaan itu sendiri. Bukan rahasia umum. Ada Rp 150 triliun uang yang patut diduga terkait tidak langsung dengan FS ex ketua Satgasus merah putih. Kasus uang ini digelapkan oleh awan konspirasi. Itu bukan uang kecil. Bisa ongkosi orang jadi presiden, bahkan bisa jadi king maker. Jadi omongan Mahfud tentang Jaksa Independent dan hakim independent, benarkah ? Silahkan nilai sendiri. Moga setelah tidak lagi jadi Menteri Pak Mahfud bisa nulis buku seperti Senator Sheldon Whitehouse. Ya kalau tidak mampu lawan lewat jabatan, lawan lewat tulisan agar rakyat bergerak, itu gunanya demokrasi kalau ingin melakukan perubahan untuk keadilan dan kebenaran.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.