Thursday, October 13, 2022

Hukum yang rumit.

 




Kepada teman yang mengerti hukum saya tanyakan soal kasus Anies di KPK berdasarkan temuan BPK. “ Hasil audit BPK itu satu hal tetapi KPK lain hal. “ Katanya.


“ Mengapa ? Tanya saya.


“ Karena BPK hanya membahas penyimpangan prosedur penggunaan anggaran Formula E dan kebijakannya. Sementara unsur korupsi tidak ada.”


“ Bukankah bukti temuan BPK soal penyimpangan dan kebijakan itu juga korupsi? Tanya saya lagi. 


“ Penyimpangan soal kebjakan, itu lebih bersifat administrasi. Itu bukan korupsi. Untuk jadi tersangka Korupsi harus ada minimal dua alat bukti. Pertama, menerima uang secara pribadi dari adanya proyek itu. Kedua, ada peristiwa pidana. Yang pertama, sampai sekarang belum  ada bukti aliran dana ke Anies. PPATK tidak temukan bukti itu. OTT juga engga ada. 


Yang kedua, KPK kan punya izin penyadapan telp untuk mengetahui keterkaitan Anies dalam peristiwa pidana. Hasil sadap dengan semua pihak yang terkait, juga engga ada. Kalau memang ada, dua alat bukti itu, cukup sekali Anies dipanggil KPK, setelah itu dia pakai baju orange. Nyatanya kan berkali kali dipanggil KPK, dia senyum aja. Bebas aja”


“ Kenapa KPK sulit sekali temukan dua alat bukti itu?


“ Ya pertama, korupsi itu kejahatan extra ordinary. Dengan sistem hukum kita, engga mudah temukan bukti pelaku korupsi, Kecuali pelakunya lugu seperti Gubernur Makasar, Gubernur Riau, Gubernur Sumut dan lainnya. DKI itu team yang back up Anies itu bukan kaleng kaleng. Kedua,  saat Jokowi jadi gubernur DKI, dia teken MOU dengan KPK. Setiap program , peran KPK terlibat langsung mengawasi.”


“ Terus gimnana dengan temuan BPK”

“ BPK itu lebih kepada program. Sementara program itu kan berkaitan dengan sistem anggaran”


“ Soal kebijakan ?.”


“ Gubernur itu kan pejabat publik, sama dengan presiden. Itu jabatan politik. Kebijakannya tidak bisa dipidanakan.”


“ Kalau ada penyimpangan alokasi anggaran ?


“ Itu tugas DPRD dan mendagri mengawasinya. Dan lagi sangat kecil sekali Gubernur bisa salah alokasi anggaran. Karena Anggaran itu dibuat bersama sama dengan DPRD dan sebelum dibahas, draftnya harus disetujui Mendagri.”


“ Kalau memang ada penyimpangan pelaksanaan penggunaan anggaran ? Tanya saya.


“ Itu yang kena pidana pejabat Kuasa anggaran yaitu Sekda dan Penerima kuasa anggaran atau SKPD, termasuk pihak yang terkait yang diuntungkan secara tidak sah. Lain halnya kalau dalam pelaksanaan anggaran itu ada bukti gubernur terima uang secara pribadi. Nah Itu baru bisa dipidanakan.


“ Jadi kalau hanya kebijakan tidak bisa dipidanakan ?


“ Kalau kebijakan bisa dijadikan pidana. Maka yang masuk KPK bukan hanya gubernur tapi DPRD juga. Dan bisa jadi seluruh Gubernur di Indonesia bisa dipidanakan, dan bahkan Menteri dan presiden juga bisa masuk. “


***

Kasus Formula E modusnya sama dengan LRT Jabodebek, Kereta cepat dan lainnya. Formula E itu event hanya sekian menit tapi ongkosnya triliunan. Selanjutnya Pemrof DKI harus bayar cicilan utang ke bank DKI. Padahal skemanya B2B. LRT dan kereta Cepat jakarta Bandung, itu awalnya proyek B2B. Akhirnya beban APBN. Setelah itu negara harus tanggung biaya subsidi dan cicilan utang selama puluhan tahun. Lucunya modus sama. Biaya membengkak dari yang dianggarkan. Walau BPK temukan unsur penyimpangan. KPK dan kejaksaan bungkam. Mau gimana lagi.


Melalui pengertian tindak pidana korupsi dari Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor ini, terlihat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri, dan kerugian negara. [1] Ketiga unsur ini harus saling berhubungan dan dapat dibuktikan keberadaannya. Kalau salah satu tidak bisa dibuktikan, maka tidak bisa dijadikan tersangka korupsi. Kalau terbukti satu aja, maka yang duanya bisa dikonstruksikan peristiwa pidanannya. Seperti kasus OTT, yang terbukti memberi suap kepada pejabat.


Makanya KPK itu selalu menggunakan operasi intelijen dengan hak UU untuk menyadap telp siapa saja. Sehingga dia bisa ikuti terus pejabat yang dicurigai melalukan tindak korupsi. Bahkan mereka lakukan operasi jebakan agar peristiwa OTT dapat terjadi. Walau yang kena OTT orang lain, tetapi hasil sadapan bisa membuktikan bahwa penerima OTT itu atas suruhan dari target yang sebenarnya. Baik KPK maupun kejaksaan melakukan SOP sama saja. Hanya bedanya Kejaksaan agung lebih lengkap teamnya dan kerjanya lebih cepat.


Pelaku tindak korupsi itu ada dua jenis. Yang pertama, memang punya niat korupsi dan sudah merancang modus. Nah mereka pasti mempersiapkan segala galanya termasuk menghindari jebakan aparat hukum. Dan kedua, memang dari awal tidak ada niat korupsi dan tidak punya modus special. Tapi karena sesuatu hal kebijakannya, dia terjebak peristiwa pidana. Nah ini mudah jadi jebakan aparat hukum. Kadang tidak semua ditangkap tapi dijadikan ATM oleh aparat hukum.


Jadi apa masalahnya ? Sistem hukum kita memang rumit dan menganggap semua orang itu baik dan soleh. Harus ada prinsip “ praduga tidak bersalah “. Di negara lain kalau pejabat dicurigai, mereka segera mundur. Tapi di negara kita, udah kena OTT masih bisa senyum dan masih dianggap belum bersalah sebelum ada keputusan berketetapan dari pengadilan. Dan udah terpidana masuk bui, setelah bebas, masih bisa jadi anggota legislatif. Urat malu memang engga ada. Kita sebagai rakyat, bego aja kalau terus ributin kasus, mending ketawain aja. Ketawa kan sehat.


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.