Pada tahun 2015 saya di undang sebagai narasumber dalam seminar terbatas yang didakan lembaga negara. Tema seminar adalah food, fuel, fiber and forests (4Fs). Sebelumnya saya sudah baca materi tentang food, fuel, fiber and forests (4Fs) dari CIFOR; World Wide Fund for Nature; World Resources Institute; CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security; International Institute for Environment and Development; World Bank; and World Business Council on Sustainable Development.
Saat itu saya tahu. Ada agenda dari pemerintah untuk meningkatkan produksi Biodisel dari CPO. INi dalam rangka mengurangi belanja impor BBM yang menguras devisa. Dalam kesempatan itu saya tegaskan. Bahwa inisiatif dari lembaga international itu paradox. Bukan hanya merugikan kita, tetapi juga berdampak luas terhadap perubahan iklim. Dunia akan kehilangan sumber paru paru dunia. Karena kebun sawit itu berdampak pada deforest atau pengurangan hutan. Ini sangat buruk pada ekosistem hutan tropik.
Artinya kalau kita gunakan CPO untuk fuel, itu sama saja kita merusak alam. Alasan ekonomi, akan terjadi penggunaan massive lahan untuk kebun sawit. Akan menggerus cadangan lahan untuk progam ketahanan pangan. Disamping itu tidak ada jaminan supply fuel yang berkelanjutan dari CPO. Ini hanya menyelesaikan jangka pendek. Saran saya. Lebih baik focus tingkatkan lifting MIGAS untuk fuel. Tetapi apa yang saya sampaikan tidak begitu ditanggapi. Peserta lebih focus bagaimana menggolkan agenda skema biodisel.
Pengusaha kebun sawit penghasil CPO dimanjakan dengan skema pengadaan biodisel. Harga CPO berpatokan kepada harga crude oil. Artinya kalau harga crude oil naik. maka harga CPO juga naik. Berapapun cost produksi, pemerintah bayar cash. Selisih dengan konsumen, ditanggung negara, dalam bentuk subsidi. Sampa tahun 2020 ada 41 BU BBN yang telah memiliki Izin Usaha Niaga BBN ( Badan Usaha Bahan Bakar Nabati ) dengan total kapasitas 14,75 Juta KL ( kilo liter.). Benar benar cuan ini bisnis. Engga pusing nego LC. Supply dapat uang cash.
Apa yang terjadi? pengusaha produsen CPO mana ada mau lagi berpikir untuk produksi oleo pangan. Walau nilai tambah tinggi, namun repot bikin pabriknya, modal besar. Enakan buat biodisel. Cash mudah dan engga repot. Jadi kalau sekarang harga minyak goreng naik. Itu wajar dan sudah by design oleh pemerintah. Sudah diperkirakan resikonya sejak awal. Artinya apapun retorika pemerintah mengatasi kelangkaan dan mahal minyak goreng, itu hanya omong kosong.
Jadi gimana solusinya ? Pemerintah harus paksa pemilik kebun sawit bangun pabrik minyak goreng. Kenapa engga bisa? Lah buat pabrik BBN saja bisa kok. Dan lagi kebutuhan domestik hanya 10% atau 5 juta liter dari total produksi CPO nasional yang 48 juta ton. Engga sulit dan tidak akan merugikan pengusaha kebun Sawit. Kemudian suruh BULOG beli hasil produksi minyak goreng sesuai harga pasar international. Kemudian jual ke rakyat dengan harga subsidi. Darimana subsidinya? dari pajak ekspor CPO. Ya semacam cross subsidi. Itu kalau benar berpihak kepada rakyat, bukan kepada oligarki bisnis.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.