Saat sekarang ini KUHP kita masih peninggalan kolonial. Walau banyak UU yang diterbitkan namun sistem peradilan masih menggunakan konsep Hukum Belanda. Apa pinsip hukum peninggalan Belanda itu? hukum berpihak kepada kekuasaan. Itu philosopi nya. Ya waktu itu kan Belanda sebagai kolonial. Hukum mereka ciptakan untuk tujuan memperkuat hak dan kekuasaan di negeri jajahannya. Jadi sulit sekali rakyat bisa menang kalau sengketa di pengadilan.
Sampai hari ini kita belum punya kUHP sendiri. Sudah puluhan tahun, tetapi tidak pernah disahkan R-KUHP. Itu membuktikan elite politik memang orientasinya kepada kekuasaan seperti era kolonial. Berdirinya republik ini hanyalah kelanjutan dari sistem kolonial saja. Zaman Kolonial penjajahan itu nampak dari identitas gelar, pakain, tempat komunitas. Sangat timpang sekali. Yang pakai jas hanya kaum bansawan, rakyat jelantah hanya pakai celana dan baju yang kadang tidak berkancing.
Tetapi era sekarang ketimpangan itu diukur dalam statistik yang disebut rasio GINI. Rasio GINI kekayaan sekarang adalah 0,384. Atau 1 % penduduk menguasai kekayaan nasional sebesar 38,4%. Rasio Lahan sekarang 0,58. Artinya 1% penduduk menguasai 58% lahan dan ruang secara nasional. Apa beda dengan kolonial ? sama kan?. Dalam kehidupan keseharian, kelas itu nampak dari pembagian kursi di kendaraan umum. Ada business class dan ada economy class. Kamar hotel juga ada kelas. Kartu kredit juga ada kelasnya dari silver, gold dan planium. Bahkan PSK pun ada kelasnya. Semua itu diukur dari dompet anda.
Lantas mengapa mayoritas kita tidak bisa beranjak dari status terjajah itu? Karena mindset. Kalau dulu sebelum kemerdekaan semua elite politik borfocus kepada gerakan nasionalisme menuju kemerdekaan. Tetapi Tan Malaka berfocus kepada kemerdekaan berpikir menuju kemerdekaan yang bermartabat. Kita tidak bisa mandiri dibidang industri dan manufactur, perdagangan dan jasa, riset dan tekhnologi, itu karena mindset kita selalu melihat masalah dari kesulitan dan hambatan. Bukan melihat setiap masalah adalah peluang untuk berubah menjadi lebih baik.
Akibatnya tercipta road block dalam pikiran kita. Daripada produksi repot, lebih baik impor saja. Daripada B2B lebih baik utang aja ke bank atau pakai APBN. Daripada susah jual SBN ke pasar mending suruh BI beli. Daripada buat inovasi sulit dan belum tentu berhasil bersaing, lebih baik beli aja yang sudah ada. Daripada repot buat KUHP baru, mending pakai yang peninggalan kolonial. Daripada repot disiplinkan masyarakat terhadap prokes, ya PPKM aja. Daripada repot olah tambang sendiri, mending suruh asing buat smelter di dalam negeri.
Karena roadblock itulah walau kita merdeka tapi secara ekonomi kita tidak merdeka. Yang terjadi adalah hukum rimba,. Yang kuat makan yang lemah. Dan politik memback up yang kuat untuk terus semakin kuat sehingga rasio GINI melebar. Itulah sebabnya periode pertama Jokowi menggaungkan revolusi mental. Menurut saya itu sangat cerdas. Tetapi sayang, belum berkobar api revolusi itu, pada periode kedua gaung revolusi itu lenyap sebelum menjadi api membara. Kita tetap terjebak di tempat, tidak kemana mana…masih sibuk membahas yang remeh remeh, dan omong kosong.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.