Pada 24 Desember 1998, saat bulan puasa Ramadhan, seorang warga keturunan dalam keadaan mabuk masuk ke dalam masjid. Dia membacok salah satu warga yang ada di dalam masjid itu. Situasi ini dianggap polisi sederhana saja. Di hadapi seperti kasus pidana pada umumnya. Padahal kasus ini berpotensi konflik horisontal. Karena menyangkut SARA. Seharusnya Polisi antisipasi juga melalui perdamaian antara tokoh agama setempat. Keterlambatan antisipasi itu berdampak luas. Saling serang antar kampung. Saling bakar rumah penduduk dan tempat ibadah. Mayat bergelimpangan dimana mana dan mengapung di sungai.
Selanjutnya Umat krisiten membentuk laskar Kristen. Islam juga sama. Kemudian dari luar Poso berdatangan bala bantuan kepada penduduk islam. Tokoh hero bermunculan dari kedua laskar. Dari laskar islam muncul Santoso. Dari kristen dianggap pahlawan adalah Tibo. Dalam situasi ini, lagi lagi pemerintah lambat bersikap. Seharusnya segera diberlakukan darurat sipil atau militer. Sehingga polisi jadi bulan bulan kedua laskar dari dua agama ini. Banyak polisi yang gugur. Dampaknya, kalau tadinya sebatas kerusuhan SARA, selanjutnya sudah bercampur politik. Apalagi menjelang Pilkada.
Atas inisiatif pendeta A. Tobondo mengajukan perdamaian. Usulan ini langsung dieksekusi oleh JK. Pada Desember 2001 diadakan Deklarasi Damai Malino 1. Pasca-kerusuhan di wilayah Poso mereda, Polri mendirikan Komando Lapangan Operasi yang digelar dengan berbagai sandi operasi. Misalnya, Operasi Sadar Maleo pada 2000 silam. Kemudian, pada April 2004 TNI/Polri juga memobilisasi kekuatan melalui Operasi Sintuwu Maroso. Selesai? Belum.
Yang jadi masalah adalah kehadiran Santoso yang bagaikan pahlawan itu menarik minat Abu Bakar Ba’asyir, dari Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Santoso direkrut bergabung dalam JAT. Santoso juga merekrut dan membina cukup banyak kader militan di Poso. Ini bukan lagi soal konflik agama. Tetapi sudah masuk wahana Politik. Tekad JAT mendirikan khilafah islam. Terbukti targetnya bukan hanya orang kristen, tetapi juga aparat keamanan Indonesia. Lagi lagi SBY tidak bertindak cepat mengantisipasi. Masih dihadapi secara biasa.
Sementara tahun 2010, Santoso dan para pengikutnya menggelar pelatihan militer di dua tempat di wilayah Poso. Saat itulah berdiri Mujahidin Indonesia Timur.. Santoso menjadi pemimpin tertinggi (amir) MIT pada 2012. Di tahun yang sama, kelompok pimpinan Daeng Koro yang datang dari Makassar bergabung dengan gerakan Santoso di Poso. Daeng Koro, Jadi selain Santoso, Daeng Koro juga punya andil besar di MIT. Keadaan tetap tidak disikapi serius oleh pemerintah.
Barulah di era Jokowi, upaya pemberatasan jaringan MTI dilaksanakan secara serius. Jokowi melibatkan TNI guna memback up Densus 88 memburu gerombolan MTI. Berkat bantuan Drone dari AS, TNI dan POLRI mengetahui persembunyian Santoso dkk. Tanggal 3 April 2015, Daeng Koro tewas dalam bentrokan senjata melawan pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88, sedangkan Santoso dan beberapa militan MIT lainnya berhasil kabur untuk menyelamatkan diri.
Namun pada 18 juli 2016, Santoso berhasil ditembak mati dalam operasi penyergapan oleh TNI dan Densus 88 . Tak berapa lama kaki tangan Santoso, Muhammad Basri pun ikut diringkus lantas menyerahkan diri. Pucuk pimpinan organisasi terorisme tersebut kemudian beralih kepada Ali Ahmad alias Ali Kalora. Aparat memperkirakan selama ini Ali Kalora bersembunyi di hutan-hutan di kawasan antara Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong. Sampai hari ini dia belum tertangkap. Satgas TNI-Polri yang tergabung dalam Operasi Madago Raya tahap dua, masih melakukan pengejaran. Sementara minggu lalu terjadi lagi aksi teror menewaskan 4 warga.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.