Saturday, December 12, 2020

MRS dan POLRI.






Bagi sebagian masyarakat Indonesia, MRS itu adalah icon perjuangan gerakan Islam, yang mendambakan Indonesia dikelola dengan syariah Islam atau bahasa mesranya Pancasila bersyariah. Mereka percaya bahwa hanya dengan syariah islam keadilan bisa ditegakan dan kemaksiatan bisa ditumpas. Menilik sejarah islam. Turki Usmani berkuasa 6 abad. Abassiah berkuasa 542 tahun. Umayyah hampir 1 abad. Apakah karena itu peradaban lebih baik. Apakah keadilan tegak dan kemaksiatan punah? Tidak. Ketiga kerajaan itu tumbang justru karena kemaksiatan dan ketidak adilan. Mau diulang lagi? Apakah tidak cukup sejarah lebih dari 1000 tahun itu untuk kita sadar ? bahwa perjuangan politik membawa syariah itu tidak beda dengan oportunis.


Negara sekular barulah ada setelah abad 19 yang tidak di-endorsed oleh otoritas agama tetapi di-endorsed langsung oleh rakyat lewat pemilu demokrasi. Tentu sistem negara dilengkapi perangkat hukum dan UU, yang memastikan agar keadilan tegak dan kemaksiatan itu hilang. Tetapi apakah sampai sekarang itu tercapai. Belum. Apakah sistem sekular salah ? tentu tidak. Sama halnya 1000 tahun lebih sejarah kekuasaan islam, apakah demoralisasi dan ketidak adilan terjadi karena agama islam salah? tentu tidak. Mengapa ? Keadilan itu bukan karena aturan dan hukum,  bukan karena agama. Tetapi karena akhlak.


Kita selalu punya stigma bahwa kalau ada orang ahli hukum, maka dia pasti tidak akan melanggar hukum. Faktanya justru yang banyak melanggar hukum adalah mereka yang melek hukum. Kita anggap bahwa  kalau ada orang tinggi ilmu agamanya, bahkan dengan gelar berderet di belakang namanya, kita lantas simpulkan dia orang sholeh dan pasati benar. Faktanya yang paham agama itu tidak lepas dari kesalahan dan tidak pasti benar.  Apa artinya? baik sekular maupun agamis sama saja. Ukurannya bukan retorika dan luasnya ilmu tetapi perbuatannya. Kalau perbuatannya tidak merugikan orang lain dan keberadaannya bermanfaat bagi orang lain, orang banyak tidak akan tanya apa agama dan apa titelnya. Dia tetaplah orang baik.


MRS hadir bukan karena  proses politik real. Tetapi karena Icon gerakan syariah islam yang tidak nyaman dengan sistem sekular. Berkat gerakan anti sekularisme yang dibungkus dengan perjuangan amar makruf nahi mungkar, memang sangat mudah menggiring orang banyak kedalam kerumunan. Tentu mereka yang datang dan mendukung itu tidak dengan fantasi kosong. Mereka punya fantasi penuh. Mereka medambakan sebuah negeri utopia: keadilan tegak, kemaksiatan punah, kemakmuran terjadi. Tidak ada orang miskin lagi yang kelaparan. Dalam sistem demokrasi orang tidak dihukum karena berfantasi. Itu biasa saja. Tetapi perbuatannya. Apabila perbuatannya patut diduga melanggar hukum, maka dia akan jadi tersangka.


Nah perbuatan MRS bukan hanya icon perjuangan gerakan islam tetapi sudah masuk pembangkangan sipil. Apa itu? menghindari proses hukum. Bahkan secara vulgar menghalangi proses hukum. Sikap paranoid menuduh Polisi sengaja mencari cari kesalahan. Itu lebih karena ketidak percayaan kepada sistem hukum negara Indonesia. Padahal dia tahu, proses hukum itu transparans. Dia berhak didampingi pengacara. Kelak sidang di pengadilan akan terbuka untuk umum. Media massa akan meliput. Publik se Indonesia dan dunia akan mengetahui. Bayangkanlah.  Apakah berani Aparat hukum main main merekayasa kasus? Kan engga mungkin. Karena itu akan mempermalukan institusi negara.


Bila Polri yang akhirnya bersikap tegas dengan mamaksa MRS patuh terhadan proses hukum, itu bukan karena MRS icon perjuangan gerakan syariah. Bukan karena pertimbangan politik. Itu semata mata untuk menegakan hukum dan UU. Di mata hukum semua orang sama. Hukum adalah icon, bahwa kekuasaan negara ada pada rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Kalau ada sebagian rakyat membangkang maka pedang hukum itu juga yang menebasnya.  Begitulah sistem kekuasaan bekerja,  baik sekular maupun agama sama saja. Membangkang  ya dihukum

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.