UU No 5 Tahun 2018 tentang UU anti terorisme mengamanahkan agar Presiden mengeluarkan Perpres tentang keterlibatan TNI dalam aksi anti teror. Bulan Mei 2018, Presiden sudah siapkan draft Perpres nya. Tetapi tidak bisa langsung diteken. Boleh dikatakan stuck. Tahun 2020, bulan Mei, kembali draft itu diajukan ke DPR. Sejak itu prorses pengesahan Perpers itu dilakukan. Bulan oktober tahun 2020 sudah masuk pembahasan di DPR untuk memberikan legitimasi Presiden teken. Mengapa sampai dua tahun lebih pembahasannya ?
Kalau anda baca UU No. 5 tahun 2018, Dalam Pasal 43 I Ayat 1 disebutkan tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Pada ayat 3 tertulis soal pelibatan TNI tersebut diatur dalam perpres. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga, termasuk Muhammadiah yang fokus pada isu HAM menilai aturan pelibatan TNI dalam menumpas terorime memberikan mandat yang luas dan berlebihan kepada TNI. Terlebih pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum.
Disamping itu dalam pasal 1 (4) difinisi ancaman kekerasan yang dimaksud oleh UU 5/2018 adalah “setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat. “ Artinya sangat mudah sekali orang dianggap sebagai terorisme.
Bagaimana proses hukumnya ? Pasal 31(1). Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang: a.membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan b.menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme. Walau pasal 31(1) itu mengharuskan izin dari Pengadilan namu Pada Pasal 31 A. Dalam keadaan mendesak, bisa dilakukan tanpa perlu izin dari Pengadilan dan bisa tangkap orang sebelum dia melakukan aksi teror.
Apa artinya? Penangkalan terorisme lebih terfocuskan kepada operasi intelijen. Mengapa? Karena kita negara demokrasi. Bukan negara totaliter atau diktator yang represif terhadap orang yang dicurigai. Makanya anggaran BIN meningkat 4 kali lipat dari periode era SBY. Berdasarkan Buku III Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara atau Lembaga Tahun Anggaran 2020, BIN menjadikan operasi intelijen siber sebagai salah satu prioritasnya. BIN juga dilengkapi dengan instrument gugus tugas pemukul Dansus 88 dan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) yang berisi satuan elite dari tiga matra di TNI. Terdiri dari Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI AD, Detasemen Jalamangkara punya TNI AL, dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI AU.
UU 5/2018 merupakan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU Nomor 15 Tahun 2003 dinilai tidak memberikan kewenangan luas kepada negara untuk menangkal aksi terorisme, dan tidak melibatkan TNI dalam operasi intelijen dan pemukulnya. Namun hikmah dari aksi 411 dan 212, memaksa DPR dan pemerintah harus merevisi UU tersebut. Setelah sebelumnya mengeluarkan PERPPU terhadap UU Ormas. Dengan adanya Dua UU itu yaitu UU Anti teror dan Ormas, maka ancaman teror yang karena idiologi dan politik bisa ditumpas secara sistematis. Kedua UU ini tidak ada pada Suriah dan Libia, yang sehingga bibit radikalisme berkembang menjadi terorisme dan akhirnya mengarahkan kepada separatisme. Jadi kita akan baik baik saja. Tidak perlu kawatir.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.