Kasus OTT, terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah yang didukung oleh PKB dan PKS. Kemudian Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan dilakukan tanpa ada pemberitahuan dan izin dari Dewan Pengawas KPK. Artinya kedua tersangka itu sudah jadi target sebelum anggota KPK baru dilantik. Aksi OTT KPK bukan lagi penyadapan tetapi atas dasar informasi dari pihak luar. Apakah itu salah procedur. Tentu tidak. Tanpa data sadapan telp , selagi ada bukti kuat seperti dalam kasus OTT bisa saja secara prosedur itu dibenarkan.
Saya hanya ingin mengulas soal operasi KPK dalam hal OTT terhadap komisioner KPU. Kasus ini sebetulnya tidak perlu terjadi bila KPU menghormati keputusan MA atas uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan ini terkait dengan meninggalnya Nazarudin Kiemas. Gugatan ini kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019, dan diputuskan bahwa partai adalah penentu suara dan PAW ( Pergantian Antar Waktu). Berdasarkan keputusan MA itu PDIP berkirim surat kepada KPU dengan menetapkan Harun Masiku menggantikan Nazarudin Kiemas.
Tapi KPU tidak mau mengikuti keputusan MA itu. Surat penetapan PAW atas Harun Masiku sebagai caleg dari PDIP diabaikan. Pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky sebagai pengganti Nazarudin. Hal itu berdasarkan Keputusan KPU Nomor 1318/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VII/2019 tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota DPR dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Mengapa ? KPU tetap berdasarkan penafsiran UU Pemilu sebagaimana Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019. PDIP berpegang pada tafsir putusan MA bahwa partai berhak menentukan pengganti caleg meninggal di DPR. Memang engga ada fatwa MA menentukan siapa yang berhak. Artinya bisa Partai, bisa juga KPU. Namun oleh KPU, permintaan itu ditolak karena tak sesuai UU Pemilu. Tapi bukan berarti PDIP salah mengajukan haknya. Itu sah. Kalau andai PDIP dan KPU berseteru soal tafsir ini , ya itu ranah MK untu menyelesaikannya. Karena itu berkaitan dengan UU. PDIP menerima keputusan KPU itu. Memang seharusnya begitu partai. Patuh pada UU. Selesai. Sampai disini kasusnya jelas kan?
Bagaimana soal suap? inisiatif suap itu tidak datang dari Harun Masiku. Tapi datang dari pihak calo bernama Syaiful, yang mengatakan Agustiani Tio Fridelina (ATF), mantan anggota Bawaslu bisa bantu. Namun menurut ATF, Anggota KPU, Wahyu minta uang operasional sebesar Rp.900 juta. Harun menyanggupi dan menyerahkan uang itu kepada staff Sekjen PDIP. Penyerahan dana kepada Wahyu dilakukan oleh ATF, Doni, dan Saeful. Tapi baru dibayarkan kepada Wahyu sebesar Rp. 600 juta. Wahyu meminta kekurangannya kepada ATF. Sehari setelah itu, KPK mencokot Wahyu dan ATF dalam operasi tangkap tangan. KPK menyita uang Rp. 400 juta dari tangan ATF.
Ketika OTT dilakukan , Harun Masiku sedang berada di Luar negeri. PDIP sudah memecat Harun Masiku sebagai kader PDIP. Itu konsekwensi dari perbuatannya. Sampai kini Harun Masiku masih belum kembali. Dalam kasus ini peran Sekjen PDIP dan Ketua Umum PDIP hanya sebatas minta KPU melaksanakan fatwa MA. Mengapa? Negeri ini berjalan atas dasar UU. Kalau terjadi perbedaan pendapat atas materi UU ,maka pihak yang berbeda bisa mengajukan uji materi ke MA. Apapun keputusan MA harus diterima. Itu sistem dan prosedur nya. Kalau sampai ada penyuapan, menurut saya itu bukanlah datang dari PDIP. PDIP sebagai ruling party engga mungkin bertindak bodoh soal receh ini. Itu murni ulah kader dan staff sekjen PDIP. Partai manapun berpotensi melakuan itu. Maklum untuk jadi anggota DPR memang tidak mudah. Ya politik namanya. KPK focus saja kepada pihak yang tersangkut OTT.
Namun bagi pihak yang tidak bisa move on atas kekalahan 02, tetap saja kasus ini dikait kaitkan dengan kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Kasus ini dipolitisir dan berita di framing seakan akan PDIP culas, MA culas, sama culasnya dengan kemenangan Jokowi. Padahal dalam sidang MK, yang terbuka untuk umum, pihak Prabowo-sandi sudah diberi kebebasan menyampaikan sanggahan atas kemenangan Jokowi. Namun hanya sanggahan. Itu tidak disertakan bukti hukum. Hanya teori dan retorika. MK sudah memutuskan Jokowi - Ma’ruf sebagai pemenang. Namun sampai sekarang ada saja pihak yang belum bisa move on…Ya sabar aja sampai 2024. Moga engga gila kelamaan nunggu.
PDIP berusaha mencari pembenaran atas kemauannya utk menggolkan PAW Masiku dgn meminta Fatwa MA. Itu bukan sikap berhukum yang baik.
ReplyDeletePutusan JR MA thdp PKPU atas permintaan PDIP sdh tegas menyatakan bahwa MA tidak berwenang untuk menguji masalah penentuan calon terpilih, tapi PDIP terus berusaha mencari pembenaran utk ambisinya menempatkan Masiku di DPR. Terakhir, entah atas restu DPP PSIP, upaya menggolkan Masiku diupayakan denfan cara menggoda KPU.
Menurut saya, MA tolol, Wahyu anggota KPU goblok, PDIP culas.