Minggu lalu saya berangkat ke Lampung untuk nengok ibu saya. Istri saya sempat berdecak kagum dengan adanya jalan Toll dari Bakauheni ke Bandar Lampung. Sebelumnya dia udah duluan kagun dengan indahnya Pelabuhan Bakauheni dan Merak. Tapi kemudian, dia bertanya “ Emang untung pa? Katanya. Karena dia perhatikan, baik pelabuhan maupun jalan toll sepi, Tidak banyak yang melintasi. Dia mungkin membandingkan dengan jalan Toll di Jawa. “ Kasihan aja, dengan BUMN yang ditugasi membangun jalan Toll ini. Kapan untungnya? kapan balik modalnya? “ kata putra saya.
Pendapat putra saya, mungkin mewakili semua orang , termasuk pakar ekonomi terhadap kebijakan Jokowi membangun infrastruktur. Tetapi bagi saya, itu justru kecerdasan Jokowi dalam membangun dengan keterbatasan anggaran ( APBN). Lantas gimana solusinya terhadap BUMN kontruksi yang berdarah darah dan mengalami tekanan likuiditas akibat hutang melambung? Bulan lalu, Investor dari China ( hong kong) sudah membeli saham Waskita dalam rangka program divestasi pada anak perusahaan yang mengelola Toll. Wakista untung gede. Dengan demikian, likuiditas Waskita sudah mulai longgar sehingga bisa melanjutkan program pembangunan lainnya.
Beberapa BUMN China tahun depan sudah mulai akan masuk melakukan restruktur terhadap permodalan BUMN yang berdarah darah itu akibat pembangun jalan Tol di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan. Loh kok China lagi? Sebetulnya komitmen China itu sudah ada pada tahun 2015, dan sudah ditanda tangani oleh pemerintah di Beijing. Artinya pemerintah Indonesia talangan lebih dulu pembangunan itu, setelah selesai, China akan bailout lewat skema B2B. Ini untuk memastikan masuknya CHina sama dengan negara lain, yaitu dalam kuridor UU PMA. TIdak ada politik. Dari skema ini BUMN dapat capital gain dan sebelumnya sudah dapat kerjaan membangun insfrastruktur.
Mengapa China mau saja berinvestasi di infrastruktur di Sumatera, Sulawesi , Kalimantan? Kalau anda lihat peta dunia, anda akan lihat bahwa indonesia itu berada dijalur logistik perdagangan dunia. China butuh jalur alternatif selain selat malaka yang sudah terlanjur dikuasai AS. Kalau jalur alternatif itu tidak ada, ekonomi China terancam dari hegemoni AS. Mengingat 90 % jalur logistik China melalui selat malaka.
***
"Waktu saya ketemu Xi Jinping dia bilang mau komitmen jadi investor terbesar di Indonesia. Saat ini jepang nomor satu, Singapura berikutnya," kata Luhut di Shangri-La Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019). Itu disampaikannya setelah kunjungan ke Beijing awal bulan Nomber. Minggu lalu Jokowi menugaskan Menteri Pertahanan Prabowo ke Beijing untuk menindak lanjuti komitmen China itu. Kerjasama Pertahanan Militer China-Indonesia sudah ditanda tangani.
Menurut saya janji Presiden China itu bukan sekedar diplomasi janji kosong. Tetapi suatu keharusan bagi China untuk kepentingan geostraregi dan geopolitik jangka panjangnya. Jadi ini bukan tawaran karena Indonesia memohan. Tetapi China yang dalam posisi memohon kepada Indonesia. Mengapa? baik saya jelaskan dibawah ini dengan cara sederhana.
Cina itu sangat rakus akan oil. Ini bukan hanya untuk energi tetapi juga untuk kebutuhan Industri Petrokimia yang sangat penting bagi semua Industri di China. Suplay minyak itu 90% diharapkan dari negara Timur tengah. Secara bisnis selagi China mampu membayar tidak ada masalah. Tetapi yang jadi masalah ada soal logistik. Apa jadinya bila jalur logistik yang dikuasai AS, digunakan AS untuk menekan China? itu bisa hancur ekonomi AS. Maklum AS jago jadi rente terhadap negara lain sampai negara itu bangkrut atau lemah. China tidak ingin itu terjadi.
Nah, demi mengamankan jalur logistik ekspor dan impor, Cina harus mengamankan jalur perairan antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintas Samudera Hindia, Laut Arab, Teluk Persia, dan seterusnya sehingga kalau dipotret pada peta, membentuk seperti untaian kalung (pearl). Untuk itu China membangun infrastruktur logistik seperti di Pulau Hainan, misalnya, atau landasan terbang darurat di Pulau Woody, di Kepulauan Paracel; atau fasilitas pengiriman kontainer di Chittagong, Bangladesh, pelabuhan di Sittwe, Myanmar, pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan, pembangunan jalur pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang, ataupun fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka, pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan lain-lain.
Yang jadi masalah adalah di wilayah laut China selatan bercokolnya kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) —Armada ke 7 Amerika— di Singapura. China mati kutu di Laut China selatan. Artinya, jika kelak terjadi ketegangan antara China dan AS, jalur logistik China akan terhambat. Padahal 82% jalur logistik China melintasi selat Malaka. Lantas gimana solusinya ? sejak awal Jokowi berkuasa, China sudah melobi Pemerintah Indonesia untuk menghidupkan jalur Selat Sunda (ALKI I), Selat Lombok (ALKI II). Apa alasannya? Ya, andaikan AS meblokade laut China selatan, Jalur ini sebagai alternatif bagi China menuju Samudera Hindia, Laut Arab dll.
Artinya berapapun Indonesia butuh dana untuk meningkatkan ekonomi nasional dan dengan skema apapun yang meringankan Indonesia, China akan bersedia. Asalkan pemerintah Indonesia mengizinkan China membangun pelabuhan besar di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali. Bagi China soal geostrategis adalah segala galanya. Terlalu besar resiko Pemerintah China bila 1,8 miliar penduduk China nasipnya tergantung dengan arogansi Paman Sam. AS sudah mengetahui arah kebijakan Indonesia pada periode kedua Jokowi ini. Itu sebabnya issue soal Uighur kembali bergolak yang dilakukan oleh proxy AS di Indonesia.
Nah, saran saya, pemerintah Indonesia harus smart memanfaatkan geostrategis China ini agar bukan hanya dapat janji dan penonton saja tetapi benar benar menguntungkan Indonesia. Pakai istilah pemain hedge fund “ tempalah besi selagi panas. “ Artinya tarik uang china disaat dia kepepet. Jangan keluarkan izin investasi pelabuhan sebelum uang yang dijanjikan masuk ke Indonesia. Nah saat sekarang China kepepet. Cepatan tarik duitnya, amankan pertumbuhan investasi sampai dengan lima tahun kedepan.
***
Nah, saran saya, pemerintah Indonesia harus smart memanfaatkan geostrategis China ini agar bukan hanya dapat janji dan penonton saja tetapi benar benar menguntungkan Indonesia. Pakai istilah pemain hedge fund “ tempalah besi selagi panas. “ Artinya tarik uang china disaat dia kepepet. Jangan keluarkan izin investasi pelabuhan sebelum uang yang dijanjikan masuk ke Indonesia. Nah saat sekarang China kepepet. Cepatan tarik duitnya, amankan pertumbuhan investasi sampai dengan lima tahun kedepan.
***
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.