Tuesday, December 31, 2019

AS dan Iran?



Dalam perang dunia ke-2 korban dari tentara AS mencapai 450.000 orang. Ongkos perang mencapai USD 4 triliun. Semua dikorbankan untuk menghadapi Jerman, Italia dan Jepang. AS tercatat sebagai pemenang. Namun setelah itu AS terlibat dalam perang Korea, berhadapan dengan China yang mendukung Partai Komunis korea. Perang di Vietnam, Afghanistan, Irak. Korban pasukan  tidak seikit. Biaya tak terbilang. Namun AS tidak mendapatkan apapun dari perang tersebut. Tidak ada kehormatan seperti AS menang dalam Perang Dunia ke-2.

Setelah perang Dunia ke-2 , Jerman, Jepang, Italia menjadi mitra AS. Bukan hanya soal pertahanan namun juga dibidang ekonomi dan bisnis kemitraan terjadi secara luas. Seakan AS sudah melupakan korban pasukanya dalam perang dunia kedua. Sudah melupakan besarnya ongkos untuk menjadi pemenang. Begitu berakhir perang, maka berakhirlah semua permusuhan. Semua sepakat untuk memulai hal yang baru untuk masa depan yang lebih baik.  Tapi berbeda dengan Iran. AS tidak pernah ada kesepakatan damai dengan Iran. Mengapa ? Ada sejarah yang kelam diantara mereka, saling menunggangi pihak ketiga untuk menyalakan api, perang opini lewat media massa tiada henti, ketidakmampuan untuk saling memahami, dan Amerika menyebut Iran sebagai musuh nomor satu.  Mengapa?  Baik akan saya jelaskan akar masalah hubungan kedua negara yang  sampai kini selalu tidak bisa saling memahami.

Mohammad Mossadeght
Dalam perang dunia kedua, Iran diserang oleh Rusia dari Utara, dan oleh inggris dari Selatan. Setelah perang dunia kedua berakhir , Rusia tidak mau keluar dari Iran Barat Laut. Namun AS berhasil membujuk Rusia keluar dari Iran. Maklum waktu itu AS dan Rusia adalah sekutu menghadapi Jerman. Tentu itu tidak gratis. AS ingin mengontrol ladang minyak yang dimiliki oleh Iran. Tapi sayangnya, tahun 1953, Mohammad Mossadegh yang terpilih sebagai Perdana Menteri. Ia melakukan program nasionalisasi semua ladang minyak punya asing. Inggris tentu meradang marah.  AS dan inggris menggunakan CIA dan M16 untuk menjatuhkan Mossadegh dan mengembalikan kekuasaan kepada Shah Reza Pahlevi. Setelah aksi kudeta berhasil, sebuah konsorsium minyak dibentuk oleh AS untuk mengendalikan industri minyak Iran. Selama 25 tahun , AS mendukung rezim Shah yang menjalankan kekuasaan dengan cara menindas rakyat dan melecehkan gerakan agama. Karena itu terjadilah pemberontakan yang meluas di seluruh negeri. Mendorong Shah untuk meninggalkan Iran pada Januari 1979. Menandai kemenangan revolusi Iran, yang melahirkan Republik Islam pada April 1979.

Shah Reza Pahlevi
Ketika Shah sedang berobat kanker di Amerika Serikat, para mahasiswa memanjat tembok Kedutaan Besar AS. Mereka menyerbu kedutaan dan menyandera 52 warga Amerika selama 444 hari. Apa pasal ? Para mahasiswa kawatir, AS akan menggunakan CIA lagi untuk melakukan kedeta seperti tahun 1953. Sebetulnya tindakan ini dapat dipahami sebagai pelanggaran hukum oleh Mahasiswa. Namun menjadi lain ketika aksi Mahasiswa ternyata mendapat dukungan dari Ayatollah Khomeini. Itu artinya secara resmi pemerintah Iran ada dibalik penyanderaan kedutaan AS. Ketika para sandera dipamerkan lewat TV, disitu kehormatan bangsa AS seperti diinjak-injak.  Ini terukir dalam jiwa bangsa AS. Tidak akan mudah terlupakan. Bibit permusuhan pun tertanam kepada Iran.

Saddam Hussein
Beberapa bulan setelah penyanderaan itu, pada bulan September 1980, Irak menginvasi Iran untuk mengambil sebidang tanah strategis untuk meningkatkan akses ke Teluk Persia. Presiden Irak Saddam Hussein mendapat dukungan dari AS. Dan sekaligus memanfaatkan situasi dalam negeri Iran yang sedang kacau paska jatuhnya Shah. Kelemahan Iran ini dijadikan alasan tepat untuk memulai perang dengan Iran. Perang pun berlangsung selama 8 tahun. Selama perang 8 tahun ini, AS dan sekutunya mendukung Irak dengan peralatan militer dan intelijen, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mendukung Irak secara finansial, dan AS serta negara-negara Barat melakukan semua yang mereka bisa untuk mengembargo peralatan milliter untuk Iran.

Namun ketika Iran berada diatas angin dalam perang itu, Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa memberi suplai senjata kimia ke Irak. Padahal senjata kimia itu dilarang oleh PBB. Tapi AS dan sekutunya tidak peduli dengan hukum international. Akibat senjata kimia itu, tentara Iran tewas sebanyak 500.000, termasuk warga sipil yang tidak berdosa. Usai perang, praktis Iran luluh lantak. Menderita kerugian phisik yang luar biasa. Dari perang 8 tahun itu, Iran belajar banyak tentang ketidak-adilan dunia. Tentang konspirasi kejahatan kemanusiaan: hukum internasional tidak ada, pelanggaran kuat adalah pertahanan terbaik, dan lima anggota tetap Dewan Keamanan mengontrol PBB. Semuanya di bawah kendali AS.
Bashar al-Assad
Iran sadar bahwa mereka dalam situasi terancam. Mereka di kelilingi oleh pasukan A.S, bertetangga dengan Arab dan Israel yang memusuhinya. Tidak ada jalan lain bagi Iran guna mempertahankan diri kecuali memperkuat kemampuan militer konvensional mereka, memajukan penelitian nuklir mereka, dan mengembangkan sekutu di wilayah tersebut. Mereka berkomitmen akan menjaga rezim Bashar al-Assad di Suriah. Karena hanya Suriah satu-satunya negara yang mendukung Iran dalam perang dengan Irak. Iran mendukung Hizbullah sebagai porxy untuk menekan musuh di seluruh kawasan Teluk.

Kemudian, setelah penggulingan Saddam Hussein dan kemunculan rezim Syiah di Baghdad, Iran segera merangkul Irak sebagai sekutu. Kedua bangsa ini setuju untuk melupakan masa lalu bahwa mereka pernah berperang. Mereka sepakat berdamai dan saling bergandengan tangan untuk masa depan yang lebih baik. Setelah perang dengan Irak, hubungan Iran-AS tidak membaik secara signifikan. Bagi Amerika Serikat, penyanderaan kedutaan AS itu tidak mudah dilupakan. Apalagi setelah itu, Iran selalu ada dimana saja kepentingan AS berada di Teluk, di Irak, Suriah, dan Libanon, Yaman , itu menandakan Iran tidak pernah menyerah dan selalu reaktif dengan segala ulah AS dan sekutunya. Mengapa? 

Bagi Iran, kudeta tahun 1953, dukungan untuk Shah selama 25 tahun , dukungan kepada Saddam Hussein dalam perang 8 tahun, penggunaan senjata kimia terlarang, tidak manusiawi dari sanksi ekonomi yang berkelanjutan, dan dukungan berlebihan untuk Arab Saudi dan agresi yang tidak manusiawi di Yaman, merupakan sesuatu yang harus dilawan Bukan untuk meraih hegemoni tetapi untuk memastikan keamanan nasional Iran. Antara Iran dan AS, tidak ada perang yang berakhir. Tidak ada gencatan senjata. Tidak ada jabat tangan. Tidak ada kesepakatan untuk membuang masa lalu dan melanjutkan. Jadi, ini terus berlanjut.

Mengapa Iran dan AS tidak dapat melihat kesalahan masa lalu mereka dan melanjutkan hubungan yang lebih damai ? Penyebabnya, ada beberapa negara ketiga yang ikut campur, seperti Israel, Arab Saudi, dan UEA, masing-masing dengan alasan mereka sendiri untuk menghambat Iran-AS berdamai. Arab Saudi berkomitmen untuk merampas kemampuan ekonomi dan militer Iran karena Saudi percaya Iran berkomitmen untuk menggulingkannya. Israel, dengan lobi yang kuat di AS, sangat kawatir terhadap Iran. Bahkan lebih kawatir dibandingkan dengan Arab. Mengapa? Kalau Arab jatuh, maka kepentingan bisnis Israel dengan negara Arab juga akan hancur. Bagi Iran, israel adalah representasi dari AS sendiri. Bahkan lebih buruk dari AS. Karena israel adalah wakil dari konglomerat AS, yang membiayai politik para elite di Gedung putih dan di kongres, dan melahirkan kebijakan luar negeri memerangi Iran.

Media massa di Eropa Barat dan AS, ikut berperan membuat hubungan antara AS dan Iran semakin memburuk. Gambaran tentang Iran tidak pernah disampaikan secara objecktif dan selalu menimbulkan salah pengertian bagi warga AS. Media massa di AS terus membangun narasi kebencian dan penuh prasangka buruk terhadap Iran. Berita itu terus diulang. Bahkan luka terdalam bangsa AS akan peristiwa pembajakan kedutaan terus diulang ulang narasinya. Namun dengan serangan rudal dron terhadap General Qassem Soleimani  atas perintah Trump, publik AS disadarkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam kebijakan luar negeri AS. Mengapa?

Warga AS sangat mengetahui bahwa General Qassem Soleimani  adalah orang yang paling berjasa menghabisi ISIS di Suriah dan Irak. Bahkan ia berperang dengan  ISIS , Al Qaida sejak awal perang sipil di suriah terjadi. Dia bukan teroris, jusru dia adalah pemburu teroris. Sementara kemenangan Trump dalam Pemilu, berjanji akan memerangi ISIS dan menuduh pesaingnya Hillary berada di belakang ISIS. Bagi Trump, ISIS adalah teroris. Tetapi mengapa Trump perintahkan untuk membunuh General Qassem Soleimani?. Artinya, Trump lah sesungguhnya ISIS, dan menyelesaikan tugas ISIS yang belum tuntas menghabisi musuh nomor satu ISIS, yaitu General Qassem Soleimani.

Para analis Barat , sangat kawatir kemungkinan perang akan meluas. Yang paling beresiko adalah Eropa yang tidak siap untuk berperang, karena mereka sedang menghadapi krisis ekonomi.  Ancaman selat Hormuz sangat beresiko bagi ekonomi Eropa. Arab Saudi tidak bisa lagi menjadi donatur utama perang. Karena, Arab Saudi sedang menghadapi defisit anggaran dan di bawah prakondisi dari IMF untuk mereformasi ekonomi dan hukum. Yang lebih mengkawatirkan Arab adalah serangan rudal Iran bila sampai ke Irak tentu mudah pula menjangkau Arab. Praktis semua ladang minyak Arab terancam. Rencana IPO Saudi Aramco pasti gagal tahun ini. Satu demi satu sekutu AS menarik diri dari koalisi memerangi Iran. 

Trump kecewa “ AS tidak membutuhkan minyak dari Timur Tengah. AS sudah mandiri”  Itu ungkapan Trumps kemarin. Sebagai ujud kekecewaan Trump, bahwa AS tidak butuh Arab dan Eropa, mereka yang butuh AS. Kalau tidak mau bantu, ya sudah. Perang dihentikan, dan bagi sekutu AS, resiko terhadap Iran tanggung sendiri. Apakah resiko itu seburuk yang dikawatirkan AS? Saya yakin, Iran akan memanfaatkan situasi ini untuk lebih bijak, dan China akan memanfaatkan itu lewat bantuan ekonomi, agar Timur Tengah menjadi kawasan damai atas dasar kerjasama ekonomi untuk kemakmuran bersama. Kelak, bila sekutu AS sudah lebih dulu berdamai, AS akan berjabat tangan dengan Iran. Mungkinkah?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.