Tuesday, May 14, 2019

MENERIMA KENYATAAN.

Saya pernah melihat penggusuran rumah hunian di Guangxie, China. Memang terjadi perundingan alot antara wakil warga yang akan kena gusur dengan pihak developer yang dikawal oleh polisi. Usai perundingan itu, buldozer langsung bergerak menghancurkan hunian itu untuk dibangun super block City yang megah. Sementara pihak warga yang kena gusur dapat program relokasi ketempat lain dengan fasilitas yang lebih baik. Yang menarik dari drama penggusuran itu adalah sikap warga yang kena gusur. Sorenya saya nonton di TV, salah satu warga di tanya pendapatnya atas penggusuran itu. “ kami harus menerima kenyataan. China berubah karena waktu sementara kami tidak berubah. Ya inilah resiko yang kami terima. Kena gusur. Ini pelajaran mahal dalam hidup kami. Bahwa kami harus berubah. Semoga di tempat baru kami bisa berubah agar kelak engga kena lagi penggusuran. Kalaupun kelak ada penggusuran kami bisa membeli sendiri tanpa harus dibantu relokasi oleh pemerintah.”

Saya pernah bertemu dengan broker jalanan di Shenzhen. Saya tanya apakah dia yakin akan berubah menjadi orang kaya dengan hanya mengandalkan bisnis sebagai broker jalanan. Dengan tersenyum dia mengatakan bahwa dia bisa sukses asalkan dia bisa berubah karena waktu. Caranya? Dia akan menabung setiap sen uang yang dia dapat. Dia akan tahan selera untuk itu. Walau harus makan bubur setiap hari. Kelak dari tabungannya dia bisa meningkat sebagai pedagang dengan punya barang sendiri. Kemudian bisa meningkat sebagai agent. Kalau bisa terus meningkat jadi pabrikan. Bayangkan dalam kemiskinan dia punya dream yang bukan hanya rasional tapi sangat membumi. Ada Effort dan ada pengorbanan yang siap di laluinya. Tanpa berkeluh kesah dengan ketidak adilan didepan matanya. Orang tuanya mengajarkan bahwa hanya orang yang hidup dipenjara yang tidak berubah. Sementara dia hidup diluar penjara dengan kebebasan kapitalisme. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk sukses. Masalahnya tidak semua orang mau melewati jalan sukses itu.

Dalam politik, kita bisa mengambil contoh PDIP. Hari ini saya membaca berita ketua DPD PDIP DKI menerima kehilangan korsi 3 dalam pemilu 2019. PDIP menyadari karena pembangunan tidak di rasakan oleh rakyat DKI. Rakyat menghukum lewat pemilu. PDIP tidak mengutuk kekalahan itu. Tetapi kekalahan itu justru memacu kader PDIP harus berubah lebih baik agar pemilu berikutnya bisa meraih kemenangan di DKI atau kursi bertambah. Sama halnya kekalahan di Sumbar, yang tidak ada satupun wakil PDIP di dpr dari Sumbar. PDIP menyikapinya tanpa keluhan menuduh ada kecurangan dari lawan. Itu diambil hikmahnya agar PDIP lebih punya perhatian kepada Sumbar sehingga kehadiran PDIP dapat di rasakan. Itu menuntut perubahan lebih besar dibandingkan daerah yang dimenangkan PDIP. Pengalaman 10 tahun PDIP mengajarkan menerima kekalahan untuk langkah kebaikan dan perubahan. Hasilnya sejak tahun 2014 sampai kini PDIP menjadi partai besar.

Gerindra bersama koalisinya harus belajar menerima kenyataan dari kekalahannya. Daripada sibuk menolak kekalahan dengan keluhan, akan lebih baik segera melakukan konsolidasi internal agar periode berikutnya bisa lebih baik. Partai harus kuat berkat kaderisasi bukan karena dukungan pihak luar. Tidak ada kemenangan yang bergantung dari pihak diluar partai. Saatnya program partai kedepan lebih focus bagaimana bisa hadir ditengah masyarkat dalam setiap moment dibidang ekonomi dan sosial. Belajarlah dari kemenangan PDIP dan Jokowi bahwa kemenangan itu tidak gratis tetapi melalui efffort yang luar biasa dan pengorbanan tidak sedikit. Bukan effort dengan cara hoax dan ujaran kebencian berbungkus agama tetapi lewat karya nyata yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Dengan demikian kita tidak perlu berkata kepada Tuhan” apakah engkau tidak malu dengan kekalahan kami, sementara doa kami bercucuran air mata tiada henti.” Tuhan maha tahu siapa yang pantas jadi presiden dan siapa yang pantas jadi presiden presidenan. Tuhan maha pemurah tapi Tuhan tidak pernah kirim uang ke ATM anda. Belajarlah menerima kenyataan agar bisa berubah karena waktu.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.