Ada teman di China dapat tawaran dari AS untuk men supply alat musik gitar. Marketnya besar dan berpeluang terus berkembang. Bahan baku gitar ini adalah kayu kapuk yang ringan. Kayu itu banyak di Indonesia, Vietnam dan Kamboja. Pada waktu itu dia berniat mendirikan pabrik mendekati bahan baku di Vietnam. Tetapi supply chain tidak tersedia. Di Kambodja juga sama. Di Indonesia supply chain tersedia namun terkendala batasan aturan Investasi asing yang tidak bisa menguasai saham 100% bagi perusahaan yang mengolah bahan baku SDA seperti Kayu. Mengapa dia butuh saham 100%? Karena investasi itu menggunakan kredit ekspor dari negaranya. Kalau saham tidak 100% dia tidak akan dapat kredit ekspor.
Kemudian dia memutuskan untuk membangun pabrik di China dengan bahan baku dari Indonesia. Tentu dengan pertimbangan ekonomi bahwa harga belinya sudah dipotong dengan biaya angkut. Bagi pengusaha indonesia yang mendapatkan kontrak ekspor kayu mentah ke china itu memang peluang bisnis yang bagus namun tidak memberikan laba yang significant. Laba sudah berkurang karena dipotong biaya logistik. Artinya SDA kita tidak punya nilai tambah yang berarti. Tidak memberikan dampak berganda atas tersedianya lapangan kerja. Tetapi dengan adanya kemudahan investasi asing sampai penguasaan saham 100% seperti sekarang ini, akan mendorong investor asing untuk invest bangun pabrik di Indonesia. Ini memberikan keuntungan bagi pemasok dalam negeri. Mereka dapat menjual langsung ke pabrikan tanpa harus dipotong biaya angkut.
Contoh lain adalah seperti pabrik Pharmasi. Semua tahu bahwa industri pharmasi itu tumbuh dan berkembang berkat kartel TNC. Tidak mungkin negara bisa melawannya. Satu satunya cara agar industri ini tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi adalah memberikan kemudahan izin pendirian pabrik sampai 100% penguasaan saham Asing. Dengan adanya pabrik berdiri maka angkatan kerja tersalurkan. Supply chain dalam negeri akan terbangun sebagai dampak dari multiplier effect ekonomi. Distribusi channel jadi pendek. Biaya logistik jadi rendah. Tentu harga jual jadi murah. Pada gilirannya rakyat sebagai konsumen yang di untungkan.
Jadi Paket Kebijakan Ekonomi XVI, yang salah satunya mencakup relaksasi adalah bertujuan efisiensi ekonomi nasional dan mendorong tumbuhnya industri dan manufaktur lewat FDI. Apakah ini tidak nasionalisme ? Kebijakan investasi asing yang full protected adalah paradigma konservatif secara hukum. Kebijakan hukum investasi yang berparadigma konservatif di Indonesia, berakhir pada akhir tahun 1966 pada saat Indonesia mengeluarkan kebijakan hukum investasi baru pada tahun 1967 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak itu regulasi PMA terus berkembang dari tahun ketahun.
Paradigma kebijakan hukum investasi pada masa ini pada dasarnya berorientasi pada paradigma liberal yang memberikan uluran tangan bagi investasi dan investor asing, namun dengan prinsip negara kesejahteraan. Artinya tidak dilihat darimana asalnya investasi itu berasal tetapi dilihat sejauh mana investasi itu memberikan kesejahteraan kepada rakyat lewat kontribusinya dalam hal penyediaan angkatan kerja, pajak dan ketertiban lingkungan. Atasa dasar itulah negara tidak perlu memiliki semua tetapi mengendalikan semua lewat hukum dan UU untuk memastikan bahwa industri itu untuk kepentingan dalam negeri. China, Malaysia, Thailand, Vietnam sudah lama menerapkan ini dengan menghapus DNI secara luas. Indonesia walau terlambat setidaknya sudah berani memulai dan ini dimasa depan mengharuskan siapapun harus berani bersaing. Pekerja maupun pengusaha harus punya daya saing. Suka tidak suka, inilah kado abad 21 era globalisasi semua aspek kehidupan. Sebuah perubahan yang akan melindas mereka yang tidak mau berubah…
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.