Program Prabowo Sandi salahnya satunya adalah swasembada pangan seperti era Soeharto. Diketahui, survei Indo Barometer yang dirilis Minggu (20/5/2018) menyebutkan, 32,9 persen responden memilih Soeharto sebagai presiden yang paling berhasil. Urutan kedua dan ketiga diikuti Soekarno yang dipilih 21,3 persen responden dan Joko Widodo dipilih 17,8 responden. Kalau kita merujuk pada hasil survey ini maka dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa masyarakat Indonesia terjebak dengan pemikiran pragamatis. Suka tidak suka, di era Soeharto kita kehilangan momentum 32 tahun untuk menjadi negara terbesar di Asia tenggara. Dan faktanya warisan Soeharto membuat kita kalah sama Malaysia dan lebih buruk dari Singapore yang tidak punya SDA hebat seperti kita.
Dulu era Soeharto saya masih ingat orang mendambakan “ zaman Normal” pada era kolonial. Walau terjajah namun kehidupan lebih tertip. Saya pribadi tidak bisa memahami itu. Tetapi generasi kakek saya punya pandangan seperti itu terhadap era Soeharto. Lantas mengapa publik sampai menilai Soeharto sebagai presiden yang berhasil? Menurut saya penyebabnya adalah kita ini memang bangsa pelupa dengan sejarah. Apalagi suasana di era sekarang nasipnya tidak lebih baik seperti era Soeharto. Atau merasa terancam dengan teroris dan merasa lebih aman di era Soeharto dimana teroris tidak ada ruang. Tetapi kita lupa di era Soeharto ulama tidak bebas pidato dan yang ngeyel di cekal hak politiknya. Kehidupan demokrasi di pasung. Beda sekali dengan era sekarang.
Atau karena harga barang naik dan subsidi konsumsi dikurangi maka berharap era Soeharto kembali dimana harga barang diatur negara lewat subsidi. Tapi kita lupa ketika era Soeharto harga minyak tinggi dan kita sebagai negara net eksportir minyak. Sekrang kita net impor minyak dan sumber minyak terus berkurang sementara kebutuhan terus meningkat. Ya hasil survey mengindikasikan bahwa masyarkat kita masyarkat pragamatis yang selalu ingin gampangan. Dan lupa sejarah , juga lupa bahwa hidup tidak boleh manja. Ketika ada tuntutan bangkit dari tidur panjang malah berbalik ingin tidur lagi tarik selimut. Sementara semakin tahun zaman bergerak kedepan dan kompitisi adalah keniscayaan. Perubahan tak bisa dihindari. Mari kita lihat data dibawah ini untuk lebih objectif menilai era Soeharto.
Harga beras tahun 1993 Rp.700/Kg. UMR rata rata nasional Rp. 24.000 perbulan. Atau kalau dikurskan dengan beras UMR adalah 34 Kg. Gimana era SBY ? era SBY upah UMR Jakarta Rp. 2,2 juta. Harga beras Rp. 8.000 atau sama dengan 275 kg. Era Jokowi UMR DKI Rp. 3.650.000. Harga beras Rp. 10.000/KG atau sama dengan 365 Kg Beras. Gimana kemampuan membeli barang sekunder di era Soeharto seperti TV? Itu sama dengan 27 bulan upah buruh. Jadi benar benar TV adalah produk tak terjangkau oleh kaum buruh. TV barang mewah sekali. Gimana dengan Motor ? Itu sama dengan upah selama 158 bulan atau kurang lebih 13 tahun. Artinya motor itu benar benar barang super mewah bagi kaum buruh die era Soeharto. Di era Jokowi motor itu hanya 3 bulan upah buruh. Harga BBM di era Jokowi itu setara dengan 400 liter BBM. Kalau ere Soeharto itu sama dengan 34 liter BBM. Padahal dulu era Soeharto kita net Exporter minyak engga seperti era sekarang kita net Import. Sementara TV di era Jokowi bukan lagi barang mewah. Harga TV hanya 20% upah buruh.
Dengan perbandingan tersebut diatas maka jelas bahwa semakin waktu semakin makmur negeri ini. Semakin bergerak kedepan. Apalagi di era Jokowi dimana Purchasing power parity (PPP) terus meningkat. Apa itu PPP?. Kalau saya analogikan begini, anda punya penghasilan Rp. 3600.000. Upah sebesar itu sudah bisa sewa rumah, bayar angsuran motor dan TV. Tetapi pendapatan sebesar itu tidak akan bisa bertahan hidup satu bulan di Hong Kong. Karena sewa Apartement termurah saja di Hongkong sebesar HKD 3.000 per bulan atau Rp. 4800.000. Nah UMR Hong Kong adalah HKD 7,000 atau RP. 12.000.000. Itu dari segi PPP sama dengan upah di Indonesia sebesar Rp. 3,6 juta. Makanya upah TKI sebesar HKD 4,500 di Hong Kong itu, kalau di hitung atas dasar PPP masih dibawah UMR di Indonesia. Masih belum jelas ? Baik saya ilustrasikan secara sederhana. Mungkin sebagian besar anda sudah tahu teori Mac Parity. Anda tahu harga Big Mag di Amerika serikat dijual dengan harga $ 5.06 pada tahun 2017. Sementara pada waktu yang sama di Indonesia dijual dengan harga Rp. 31.000. Apabila kita membagi harga Big Mac di Indonesia dengan Big Mac di Amerika Serikat maka kita akan mendapat angka 6,126. Nah bila di bandingkan dengan kurs mata uang pada kurs sekarang kita harus membeli 1 dolar seharga Rp. 14.790. Bila dikaitkan dengan kurs big mag tersebut, nilai rupiah 59 % terlalu rendah terhadap dolar Amerika. Atau seharusnya kurs dollar itu sama dengan Rp. 6126 per dolar. Itulah kondisi real kurs kita terhadap dollar AS. Artinya upah Rp. 3.600.000 di Indonesia atas dasar PPP itu sama dengan Rp. 7 juta di AS.
Seharusnya program Prabowo - Sandi bukannya membuat harga murah dengan subsidi tetapi bagaimana meningkatkan purchasing power parity. Artinya pendapatan rakyat bisa menjangkau berapapun harga dipasar. Caranya ya kendalikan inflasi dengan baik, dan tingkatkan produktifitas agar terjadi persaingan dipasar untuk terciptanya harga pada titik keseimbangan yang tidak merugikan konsumen dan produsen. Bila awal Jokowi berkuasa GDP berdasarkan PPP adalah USD 1,285. Nah tahun 2017 GDP berdasarkan PPP mencapai USD 3,243. Artinya meningkat 2,5 kali lipat. Kalau dibandingkan tahun 1999 maka peningkatanya 5,3 kali lipat. Dahsyat kan! Nikmat mana lagi yang kita dustakan kepada Jokowi?