Thursday, September 6, 2018

Kurs melemah karena faktor eksternal

Setelah krisis Lehman ekonomi AS jatuh. Kejatuhan sesuatu yang sudah diprediksi jauh sebelumnya oleh para ekonom.  Proses kejatuhan itu sudah berproses sejak tahun 90an tetapi sengaja disembunyikan lewat sistem supply and demand pasar uang derivative yang bubble. Bubble itu pasti meledak hanya kapan?, tidak ada yang bisa menentukan. Karena semua orang terjebak dalam bisnis ilusi. Jadi ketka terjadinya kasus Lehman . pemain pasar engga kaget banget. Mereka sadar inilah saatnya dimulainya babak baru kehidupan krisis tanpa jeda bagi AS. Dampaknya bukan hanya AS tetapi dunia. Semua negara didunia menyalahkan AS tetapi mau marah gimana? karena proses transaksi yang menyeret negara lain itu melalui sistem keuangan dunia yang cross border dan liberal. Free entry free fall.

Ketika Obama terpilih sebagai presiden, team ekonominya berusaha menyelesaikan krisis ekonomi dengan cara konvensional. Yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan suku bunga rendah. Melalui skema QE , the Fed mensuply uang ke perbankan. Diharapkan perbankan akan mensuplai uang ke dunia bisnis agar ekonomi bergerak. Logikanya, kalau suku bunga rendah maka efisiensi bisnis akan naik dan orang akan terpacu untuk mengembangkan usaha. Tetapi apa yang terjadi ? ekspansi kredit perbankan tidak terjadi. Dunia usaha AS tetap tidak tumbuh significant. Mengapa ? karena supply uang ke perbankan dari the Fed itu bukan gratis tetapi utang dengan jaminan saham, dan tentu ada bunganya. Daripada perbankan suplai kredit kepada nasabah yang beresiko lebih baik mereka lempar ke pasar uang emerging market dengan suku bunga tinggi.

Makanya uang dari AS mengalir deras ke 30 negara emerging market seperti Turki, Brazil, Argentina, Indonesia, Rusia, China dan lain lain. Semua instrumen utang dibeli oleh fund manager yang terhubung dengan the Fed. Likuiditas dollar negara emerging market melimpah. Dollar melimpah ini ditukar ke mata uang lokal untuk disuply ke dunia usaha. Ekonomipun tumbuh pesat. Tapi dunia usaha AS terpuruk. Banyak pabrik gulung tikar karena kekurangan dana. Sementara dunia usaha negara emerging market dan negaranya kelebihan dollar. Akibatnya mata uang mereka menguat.  Pada moment ini kebijakan Obama berdampak positip terhadap ekonomi AS. AS diuntungkan dua hal, pertama, perbankan AS kembali sehat setelah terkena krisis mortgage. Spread margin atas bunga the fed dengan bunga pinjaman negara emerging market sejak 2008 sampai dengan 2013 lebih dari cukup menutup kerugian mereka. Artinya secara tidak langsung AS membebankan kerugian itu kepada negara emerging market untuk membayar kejatuhan wallstreet. Kedua, mata uang AS semakin melemah sehngga punya daya saing ekspor ke negara emerging market. Tetapi momentum ini tidak berdampak real terhadap gairah dunia usaha di AS. Padahal peluang sangat bagus. Bank sehat, inflasi rendah , suku bunga rendah dan kurs melemah.

Kemudian, Trump terpilih sebagai presiden. Kalau kita ingin melihat kebijakan ekonomi suatu negara harus tahu latar belakang pemimpinnya. Karena ini besar sekali pengaruhnya dalam mengambil keputusan terhadap berbagai pilihan kebijakan.  Sebagai pengusaha, Trump berpikir realistis. Dia sadar bahwa masalah ekonomi AS tidak bisa mengandalkan sektor real.  Bahwa generasi AS sekarang bukan generasi ketika terjadi great depression tahun 1930. Dimana pada waktu itu ketergantungan ekonomi rakyat kepada pemerintah hanya 16%. Artinya mental rakyat AS memang dominan sekali membawa As keluar dari krisis. Sementara sekarang, tingkat ketergantungan Rakyat AS kepada pemerintah mencapai 90%. Terbukti tingginya tingkat pemilih pada Pemilu.  

Menghadapi realita ini , Trump tidak mau terjebak dengan kebijakan jangka panjang. Ini masalah mental. Bukan masalah ekonomi. Bagi Trump yang penting adalah bagaimana ekonomi AS bisa survival ditengah kas yang kosong dan rasio utang terhadap GDP mencapai 108 %. ( Bandingkan dengan Indonesia 29%). Artinya AS itu secara akuntasi udah insolvent. GImana caranya.? AS menaikan suku bunga the fed. Apa yang terjadi ? Para pemilik danapun di negara emerging market yang pegang porfolio asset mata uang lokal melakukan reposisi portfolio. Mereka menjual asset itu untuk membeli surat utang AS yang bermata uang dollar. Maka yang terjadi adalah pelepasan Asset (  saham dan bond)  mata uang lokal dan berpindah ke T bill AS. 

Hukum permintaan dan penawaran terjadi.  Kurs lokal negara utama emerging market melemah karena terjadi permintaan dollar untuk membeli asset ( surat utang ) AS. Dollar AS pun pulang kampung. Terjadilah krisis likuiditas Dollar dimana mana. Mata uang Turki jatuh karena tidak cukup US dolar untuk memenuhi rush pasar lokal. Kemudian Argentina juga tumbang. Pasar memang kejam. Sekali saja pemerintah lokal lambat merespons pasar untuk permintaan dolar AS maka langsung berdampak kepada sentimen negatif terhadap kurs lokal. Kurs akan berjatuhan cepat sekali. Ini disebut efek sistemik. Makanya kalau anda lihat data 10 negara utama emerging market semua mata uangnya melemah.  Mengapa ? karena mereka paling banyak menyerap supply dollar dari operasi the Fed.

Karena Dollar pulang kampung ke AS. Likuiditas jadi banjir. Mata uang AS otomatis menguat dan mata uang negara emerging market melemah. Lantas apakah AS diuntungkan dari kurs yang menguat ini? tidak. Index manufaktur AS tidak begitu bagus.  Industri belum bisa tumbuh secara significant. Mengapa ? Daya saing industri AS masih lemah untuk berhadapan dengan produk dari China. Karena faktor upah buruh AS yang tinggi dibandingkan negara emergin market terutama China. Karenanya negara emerging market seperti China tetap bisa masuk ke pasar AS walau mata uangnya menguat. Tentu China terpaksa memenggal laba pabriknya. Itu lebih baik daripada kelebihan kapasitas produksi tidak terserap yang bisa berdampak kepada gelombang PHK. Ini lebih bahaya bagi negara komunis. Maklum negara para buruh. 

Apakah situasi ini membuat Trump menyerah? tidak. Trump menuduh negara emerging market seperti China, Argentina, Eropa, Indonesia dan lain lainnya melakukan praktek proteksi dan penipuan mata uang. Itu sebabnya Trump menerapkan tarif impor tinggi terhadap produk negara emerging market. Bagi negara emerging market dengan kenaikan tarif impor dan kurs yang menguat maka ini merupakan pukulan beruntun AS kepada mereka. Apakah negara emerging market diam saja.? Tidak. China membalasnya dengan mendevalusi mata uangnya agar lebih murah. Dan negara lain seperti Eropa dan jepang mengeluarkan program QE ( skema cetak uang secara tidak langsung ) agar mata uangnya melemah. Maka perang dagang terjadi, terjadilah. Bagaimana dengan nasip AS ? keliatanya gaya Trump yang pragmatis dan bertumpu pada utang untuk mengongkosi APBNnya lewat kebijakan suku bunga tinggi, akan terus berlangsung sampai masa akhir jabatannya. Tentu dampaknya likuditas negera lain akan berterbangan ke AS sampai tahun 2020. Korban sudah berjatuhan seperti Turki, Argentina dan bukan tidak mungkin berikutnya nyusul adalah Malaysia dan Thailand juga Pakistan.

Bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia, India, Afrika Selatan, Brasil, Turki adalah kelompok negara yang masuk fragile five dimana sebetulnya sudah keluar dari resiko kebijakan operasi pasar uang the FED. Tetapi itu dengan dasar tidak ada perang dagang ulah Om Trump. Dengan adanya perang dagang maka 10 negara emerging market yang merupakan mitra dagang Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan berusaha melemahkan mata uangnya. Akibatnya daya beli juga turun. Pasar jadi menyusut. Harga jatuh. Itu sebanya walau volume ekspor tinggi namun nilainya turun dalam mata uang dollar. Terjadilah defisit transaksi berjalan. Jadi defisit itu bukan hanya karena faktor rendahnya kinerja ekpor tetapi lebih karena jatuhnya harga komoditas. Jadi jatuhnya mata uang rupiah, lebih disebabkan faktor eksternal. 

Bagaimana solusinya ? Masalah Indonesia bukan kepada utang gagal bayar seperti Turki, Argentina. Secara fiskal dan moneter resiko utang sangat kecil. Tetapi lebih kepada perdagangan international. Maka masalah perdagangan itulah yang harus diselesaikan.  Pertama, ini saatnya kita menggunakan special condition dalam article force majuer WTO. Apa itu? menaikan tarif produk impor agar barang impor jadi mahal. Sehingga terjadi perluasan indusri substitusi impor. Ini baru akan dirasakan dalam lima tahun kedepan.  Kedua, Bank Indonesia menyediakan fasilitas swap dengan tarif barter valas yang lebih murah. Dengan demikian perusahaan yang menguasai 85% devisa dollar AS dari perdagangan ekport berani menukar dolarnya kerupiah. Karena ada asuransi resiko atas kejatuhan rupiah dikemudian hari. Dampaknya rupiah akan menguat karena ada sisi permintaan terhadap rupiah.



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.