Sunday, May 27, 2018

Nilai...

Mungkin kita akan berkerut kening bila melihat orang asing BAB mencuci menggunakan tissue toilet. Namun lebih bingung lagi orang asing ketika kita dengan enaknya lap tangan seusai makan menggunakan tissue toilet. Benda yang sama tetapi penggunaan yang berbeda. Kalau diperdebatkan maka tidak akan ada ujungnya. Mengapa cuci BAB dengan tissue akan ada alasan yang kuat soal itu. Orang indonesia juga punya alasan kuat mengapa BAB harus dicuci dengan air. Bagi orang barat pakaian itu ada tiga jenis. Pakaian tidur, pakaian resmi dan santai. Mereka melihat aneh ketika ada wanita Indonesia pergi keluar rumah menggunakan daster. Apalagi para pria juga pakai daster. Padahal daster itu pakaian tidur. Namun orang indonesia memandang pakaian itu dari sisi kebersihan. Perbedaan ini tidak akan ada titik temunya karena budaya dan persepsi yang berbeda walau topiknya sama.

Kalau kita memperdebatkan perbedaan maka itu bisa saja karena persepsi kita ketinggalan zaman akibat kita menolak perubahan. Dulu tahun 80an orang kaya disebut jutaan. Kemudian karena waktu berubah. Tahun 90an orang biasa dapat gaji sudah bilangan jutaan. Makanya orang kaya tidak lagi disebut jutawan tetapi milioner. Tahun 2000an orang punya uang miliaran sudah banyak. Bahkan pendapatan artis dan Dai sudah bilangan miliaran. Maka tidak lagi pantas orang kaya disebut milioner. Jadi apa ? Yang konlomerat. Tetapi karena banyak konglomerat yang bangkrut akibat krisis financial maka orang kaya tidak punya sebutan yang cocok. Perbedaan itu terjadi karena waktu akibat perubahan lingkungan.

Cobalah perhatikan, dulu ekonomi negara diukur dari kekuatan SDA. Semua negara maju berburu negara yang punya SDA besar. Penjajahan terjadi baik langsung maupun tidak langsung. Kemudian, SDA bergeser kepada pengusahaan tekhologi. Semua negara berlomba lomba melakukan riset tekhnologi agar unggul dalam putaran waktu. Namun tekhnologi tidak membuat AS dan Barat bisa melawan gagal bayar utang. Kemudian negara makmur bukan karena SDA atau tekhnologi tetapi karena SDM hebat. Tetapi SDM hebat seperti Jepang tidak bisa menahan dampak krisis spiral dan jebakan utang. Orang terkejut ketika Grab yang merugi tidak pernah kehilangan akses financial resource dan Facebook yang tidak punya pabrik sehebat GM dan Honda tetapi kapitalisasi pasarnya lebih besar dari GM dan Honda. Indonesia yang defisit tidak pernah kehilangan financial resource dan masuk investment grade.

Artinya bukan lagi SDA, Tekhnologi, SDM yang membuat kemajuan tetapi nilai. Apa itu? Nilai yang memadukan semua hal sebagai instrument untuk menghasilan nilai ekonomi. Nilai ekonomi yang hebat bukan diukur dari laba dan jumlah asset besar tetapi oleh market based. Market based bukan dasar monopoli tetapi semangat berbagi dan ketergantungan antar stakeholder. Era oligarki ekonomi dan sumber daya tidak lagi mendapatkan tempat sejak China berhasil menguasai pasar Eropa dan AS. Sejak China menjadi kreditur negara yang kaya tekhnologi dan SDM berkualitas, orang tidak lagi melihat uang sebagai sumber kekuatan tetapi produksi dan kerjasama atas dasar gotong royong sebagai nilai.

Yang lucunya nilai inilah yang diajarkan oleh bapak pendiri negara kita dan yang kita pahami dalam budaya dan agama, itulah puncak peradaban diera sekarang tetapi kita lupa. Ya kita kehilangan nilai nilai lama sebagai bangsa besar. Karena kita sibuk membahas perbedaan yang remeh sehingga lupa meliat kedalam diri kita sendiri untuk unggul dalam persaingan global. Cobalah berdamai dalam perbedaan dan focus terhadap nilai nilai kita sebagai bangsa yaitu semangat bergotong royong senasip sepenanggungan maka kemakmuran akan terjadi kini dan disini…

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.