Thursday, March 15, 2018

Di laut kita jaya.

Indonesia dianugerahi laut yang begitu luas dengan berbagai sumber daya ikan di dalamnya. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km (World Resources Institute, 1998) dengan luas wilayah laut 5,4 juta km2, mendominasi total luas teritorial Indonesia sebesar 7,1 juta km2. United Nations Development Programme (UNDP) bahkan menyebut perairan Indonesia sebagai habitat bagi 76 persen terumbu karang dan 37 persen ikan karang dunia. Tahukah anda  bahwa sektor maritim menyimpan potensi ekonomi hingga mencapai US$1,33 triliun per tahun dan nilai ekonomi kelautan yang menyentuh angka Rp 3.000 triliun per tahun, yang terdiri dari Potensi industri pengolahan ikan (7%), industri bioteknologi (14%), pertambangan dan energi (16%), wisata bahari (4%), transportasi laut (2%), industri jasa maritim (15%), sumber daya pulau-pulau kecil (9%) dan hutan mangrove (15%). 

Jadi kekayaan maritim kita sangat dahsyat, bahkan lebih besar dari kekayaan yang ada di darat. Tetapi apakah selama kita merdeka kita mendapatkan kemakmuran atas potensi ekonomi maritim itu ? Tidak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se-Indonesia. Mengapa ? karena potensi laut kita di nikmati oleh para perampok asing yang berkerjasama dengan lokal. Ini berlangsung berpuluh tahun.  itulah sebabnya ketika Jokowi terpilih sebagai presiden, dalam pidatonya dihadapan DPR, mengatakan bahwa kita sudah lama memunggungi laut. Kini saatnya kita harus jaya di laut.

Langkah pertama yang dilakukan Jokowi adalah menegakan hukum di laut agar terhindar dari perampokan hasil laut dari asing. Upaya tegas menegakan hukum laut ini telah membuahkan hasil dengan banyaknya kapal asing yang dibakar dan ditenggelamkan. Dampaknya nilai ekpor ikan kita turun drastis sejak awal jokowi berkuasa. Pada 2012, volume ekspor komoditas ikan laut lainnya mencapai 50,84 persen dari total volume ekspor perikanan atau sekitar 630.440 ton. Sementara itu, pada 2015 volume ekspor komoditas ikan laut lainnya turun drastis menjadi 407.010 ton atau turun sekitar 31,04 persen dibandingkan volume ekspor pada 2014, yang mencapai 590,210 ton. Volume ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2015 sekitar 15,47 persen (lihat tabel di bawah).

Mengapa ?
Kalau kita perhatikan data BPS (2018) secara detail memperlihatkan bahwa dalam periode 2014-2015 ada tiga provinsi yang mengalami penurunan drastis atas volume ekspor komoditas ikan laut lainnya pada tahun 2015. Ketiganya adalah Provinsi Maluku (turun 97,87 persen), Provinsi Papua Barat (anjlok 100 persen), dan Provinsi Papua (merosot 100 persen). Sebelum moratorium, wilayah perairan Maluku dan Papua merupakan wilayah penangkapan kapal-kapal ikan asing dan eks asing. Kapal penangkap ikan itu berasal dari  Thailand sebanyak 87,86 persen dan China sebesar 10,30 persen (KKP 2018). Ikan-ikan  dihargai sangat murah, padahal kita ketahui ikan-ikan di wilayah tersebut umumnya merupakan ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti kakap merah, tuna, dan udang.

Selama tiga tahun Jokowi berjuang melawan para perampok Sumber daya laut itu dan kini membuahkan hasil bagi peningkatkan ekonomi nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, terlihat bahwa volume ekspor komoditas ikan tahun 2017 mencapai 1,02 juta ton dengan nilai mencapai 4,51 miliar dollar AS. Nilai ekspor tahun 2017 tersebut hampir mendekati nilai ekspor tahun 2014 yang mencapai 4,64 miliar dollar AS. Bahkan nilai ekspor komoditas ikan tahun 2017 terlihat sudah melebihi nilai ekspor tahun 2012 dan 2013 yang masing-masing tercatat hanya 3,87 miliar dollar AS dan 4,16 miliar dollar AS, padahal pada tahun tersebut kekuatan kapal eks asing masih menguasai perairan Indonesia (lihat tabel di bawah).

Apa hasilnya ? Untuk pertama kali, neraca perdagangan perikanan Indonesia nomer satu di Asia Tenggara. Padahal sebelumnya , Indonesia selalu berada di bawah bayang-bayang Thailand dan Filipina dalam urusan ekspor ikan. Namun kondisinya sekarang berubah. Kebijakan pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan eks asing dan larangan bongkar muat kapal di tengah laut, hingga penegakan hukum melalui penenggelaman kapal yang dilakukan Indonesia telah berimbas kepada sektor perikanan Thailand dan Filipina. Ekspor perikanan Indonesia naik 5 persen, sementara impor ikan justru turun 70 persen. Stok ikan Indonesia juga naik dari 6,5 juta ton menjadi 12,6 juta ton. Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang menjadi salah satu indikator kesejahteraan naik dari 104 menjadi 110. Usaha perikanan tangkap juga kian menguntungkan lantaran Nilai Tukar Usaha Perikanan (NTUP) juga naik dari 102 menjadi 120. Dan konsumsi ikan nasional juga naik dari 36 kg menjadi 43 kg per orang.

Kesuksesan Jokowi menjaga kedaulatan Sumber daya alam di darat dengan ketegasan mengakan UU Minerba, UU Migas, dan juga di laut maka kini semua itu menjadi potensi ekonomi real yang terukur untuk menopang kekuatan ekonomi nasional dan meningkatkan performa APBN dalam memacu pertumbuhan ekonomi. yang tentunya untuk kemakmuran rakyat di masa kini dan masa depan.


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.