Thursday, November 23, 2017

Pemimpin Amanah



Wacana yang ditiupkan Gubernur DKI untuk membebaskan kendaraan Roda Dua melintasi jalan Thamrin dan Sudirman, membuat saya tersenyum. Mengapa ? Karena itu hanya ngoceh, yang bukan dalam bentuk Pergub yang mengikat. Mengapa ? Baik, saya jelaskan dasar hukum penetapan kebijakan larangan menggunakan kendaraan roda dua pada jalan tertenu. Aturannya adalah Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor (“Pergub 195/2014”). Jadi atas dasar inilah maka Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 141 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor (“Pergub 141/2015”).

Mengapa Ahok mengubah aturan itu ? Bukan karena alasan arogansi. Tapi demi melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (“PP 32/2011”). Apa maksud dari PP itu ? guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang lalu lintas dan mengendalikan pergerakan lalu lintas. Manajemen kebutuhan lalu lintas tersebut salah satunya dapat dilakukan oleh gubernur untuk jalan provinsi setelah mendapatkan masukan dari bupati atau walikota. Caranya? Membatasi lalu lintas kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu, termasuk lalu lintas sepeda motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.

Apalagi sesuai dengan Rencana Jangka Panjang DKI bahwa kawasan Thamrin dan Sudirman dipersiapkan jalan protokol dengan program ERP (electronic road pricing). Layaknya jalan tol, pengendara kendaraan yang melintas harus membayar. Kendaraan yang boleh melintas hanya roda empat ke atas. Roda dua tidak boleh melaluinya. Aturan pembatasan sepeda motor dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat akan peraturan itu. Ini bukan hanya di DKI tapi hampir semua ibu kota modern menerapkan aturan ini. Tujuan akhirnya adalah memaksa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan transportasi umum yang baik. Pelanggaran atas program ini akan berahadapan dengan Pasal 287 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”).

Begitu juga dengan larangan kegiatan masyarakat di Taman Monas dasar hukumnya jelas untuk menjadikan kawasan istana itu sterill dari kegiatan massa yang bisa mengancam keamanan Lambang Negara. Lantas mengapa sampai Anies membuat wacana menghapus kebijakan tersebut ? Pertama , karena pesanan dari partai pendukungnya untuk membebaskan kawasan thamrin dan Sudirman, monas untuk aksi massa menekan presiden. Membubarkan demo kendaraan roda dua lebih sulit dibandingkan membubarkan massa orang perorang. Kedua, wacana itu hanya untuk menaikan rating dia dihadapan pemilihnya. Pada waktu bersamaan cara efektif untuk menyudutkan pihak yang membuat larangan itu. Jadi sekali nembak dapat dua burung sekalian. Tapi apakah itu akan jadi realita?

Sebagaimana kisah ngoceh sebelumnya maka itu hanya seni komunikasi dihadapan pemilihnya. Tak lebih. Seharusnya Anies _Sandi sadar bahwa dia memang dipilih oleh rakyat tapi ketika dia bekerja sebagai kepala daerah, maka sumpah jabatannya kepada Tuhan, bahwa merek harus patuh kepada UU dan Peraturan yang ada dengan sepatuh patuhnya. Apalagi sumpah itu disampaikan dihadapan langsung seorang presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih agar membuat indonesia lebih baik. Dengan sikap nya melalui ocehannya sudah membuktikan dia memang tidak amanah terhadap UU dan peraturan yang ada. Dan ini bisa di maklumi. Mengapa ? partai pendukungnya memang tidak menganggap aturan yang ada itu untuk dipatuhi walau karena itu sumpah atas nama Tuhan dibuat becanda.

Anies-Sandi memang dipersiapkan bukan untuk membangun jakarta tapi untuk melewan pemerintah pusat, targetnya membuat seseorang atau dirinya sendiri jadi presiden. Waktu sampai 2019 akan benar benar dimanfaatkan oleh team dan pendukungnya untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Tapi yang harus anggota DDB ingat bahwa kekuasaan yang didapat dengan cara mengusung issue SARA tidak akan bisa mempersatukan dan tidak akan bisa berbuat apapun. Hasilnya hanyalah paradox karena tidak ada cinta dibalik kemenangan itu. Kecuali haus kekuasaan dan cinta pada diri sendiri.




1 comment:

Note: Only a member of this blog may post a comment.