Tuesday, November 15, 2016

Bom di Samarinda...


Ia tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri. Jo bin Muhammad Aceng Kurnia ( 32 tahun) , selama ini jarang berinteraksi dengan warga. Namun, rumah Jo sering didatangi orang-orang dari wilayah lain. Menurut Ketua RT, selama dia tinggal di kawasan ini, Juhanda jarang berinteraksi dengan warga. Bahkan, sangat tertutup sehingga dia sendiri tidak banyak tahu tentang Jo. Jo dengan darah dingin melemparkan bom molotov di halaman Gereja Oikumene Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, beberapa hari lalu. Seorang anak kecil meninggal karena luka bakar. Jo  ditangkap. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat, Tengku Zulkarnain meminta masyarakat tidak terprovokasi isu di media sosial yang ramai membicarakan seolah-olah teror bom Samarinda terjadi karena demo 411. Menurutnya, isu tersebut mencuat karena ulah 'pengkhianat bangsa' yang ingin memanfaatkan situasi demi memecah-belah Indonesia.

Pada kesan pertama, orang Islam itu memang ganjil. Kekerasan dengan darah dingin di sebuah negeri yang maklumat kemerdekaannya di dasarkan berkat rahmat Alalh, dapat terjadi. Gerakan islam radikal? Begitu kuatkah gerakan itu di sebuah negeri yang pernah dianggap teladan sebagai bangsa yang ramah dan penuh senyum? Tapi zaman berubah. Keramah tamahan, dan bersama paham gotong royong semangat yang lebih toleran, tengah surut di negeri ini. Juga mungkin di seluruh Dunia. Ledakan Bom yang membunuh anak kecil itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di sebagian masyarakat Indonesia. Sinting atau tidak, apa yang di lakukannya sebuah isyarat: kita tengah memasuki zaman kebakhilan. Dunialah yang memulainya, kata mereka. Kami hanya membalas sesuai dengan firman Allah. Memang ketika Firman ALlah di masukan dalam teori maka apapun bisa di cocok cocokan untuk membenarkan syahwatnya, termasuk membunuh. 

Jo tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepaham akan mau membunuhi anak kecil yang kesalahannya hanya karena terlahir dari orang tua yang kristiani. Bagi Jo, yang berbeda harus di habisi; penguasa sekarang inilah yang dengan mudah membiarkan asing, terutama yang Aseng, masuk ke Indonesia. Jo bergabung dengan kelompok Jemaah Ansyarut Tauhid (JAT) yang di dirikan Abubakar Baasyir, terpidana kasus terorisme yang sudah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ketika dia mendekam di Nusakambangan. Pada 16 April 2016, pemilik Pesantren Ngruki, Sukoharjo, itu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Tak jauh pandangannya dari sang pembantai, meskipun mungkin ABB, merasa sedih bahwa anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan bahwa Jo tak sendirian: kaum fundamentalime kini berada dalam posisi yang naik, setelah aksi damai 411 berlangsung sukses walau sedikit tercederai.

Banyak suara diam namun terdengar lantang di sosmed dan demo akbar bahwa gerakan apapun itu selagi menyebut Takbir “ Allahuakbar" maka itu artinya sedang “membela Islam”. Indonesia sedang terancam oleh sekularisme, kata mereka, Indonesia  sedang berubah jadi Sinosia….Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat pandangan Islam kembali jadi antitesis Pancasila. Inti pandangan adalah eksklusivisme. Bagi mereka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial, peradaban Islam—adalah milik eksklusif. Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah wilayah yang batasnya mereka tentukan dan tutup sepihak.

Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya Islam Kaffah, mereka anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka. Batas itu mereka beri wilayah: “halal haram” dengan fatwa masuk ke ranah muamalah. Dan waktu mereka adalah waktu yang “dulu”—artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan. Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusivisme. Bila pemikiran mereka hendak mengembalikan perempuan ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali seperti dulu, kata mereka. Yang tak mereka sebut, “dulu” itu adalah “dulu” dalam ingatan yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan kaum perempuan, tak boleh ikut.

Di bandingkan dengan itu semua, sebagian besar rakyat Indonesia punya tradisi anti-kebakhilan. Tradisi itu bisa ditarik ke gagasan para bapak pendiri negara ini. Bahwa negera harus di bangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karenanya kebeningan hati  harus di utamakan agar adil dan beradab tercipta. Dengan demikian persatuan dapat terjelma untuk melahirkan sebuah republik degan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia menjadi rumah besar bagi semua. Indonesia bukanlah semata-mata milik eksklusif. UUD 45 menegaskan syah dan adilnya redistribusi sumber-sumber material dan intelektual. Dan untuk beberapa dasawarsa, Pancasila didengar, entah kini... Mengapa ? Tapi sejarah sosial dan ekonomi Indonesia tak membiarkan itu berlanjut dengan damai. Kini Pancasila yang ingin adil pada gilirannya di tuduh tak berlaku adil. Apa yang mereka inginkan  adalah membagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih payah orang. Hasil itu di bagikan kepada orang miskin, yang umumnya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak berjerih payah. Para pembayar pajak marah. Subsidi di hapus. Mereka mulai menentang agenda kapitalis itu. Tak mengherankan bila elite partai islam mampu merebut posisi di hati mereka. Kebakhilan bergema.

Yang paling mencolok mereka berteriak bukan saja untuk membatasi masuknya imigran dari China. Mereka juga berjuang agar orang berbahasa dan berbudaya setengah ke arab araban, sebagai “kaum” tersendiri, memisahkan diri dari islam nusantara. Tapi bukan soal bahasa dan budaya yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan adalah sikap menolak Pancasila. Mereka tak mau SDA di PMA kan walau mereka sendiri tidak punya solusi konkrit bagaimana mengelola SDA tanpa uang. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi indonesia bukan soal bahasa dan budaya, melainkan NKRIndonsia harus di rubah jadi Negara Islam.

Tuesday, November 8, 2016

Adat dan Islam...


Bagi sebagian orang asing, Islam adalah sebagaimana di tampakkan kaum berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan sewenang-sewenang di gurun pasir Arabia. Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal ia tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai Mekkah sejak 1806 sampai dengan 1812 mengumandangkan ajaran yang menampik tafsir apapun tentang Qur’an. Mereka dengan keras menuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan Hadith, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir), dan di Hijaz mereka bakar kitab tafsir, mereka hancurkan kubur dan tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham. Tentang hal ini, ada kisah yang terjadi di Minang Kabau, dan  menjadi pelajaran berharga betapa sesuatu yang di anggap lurus tak bisa sepenuhnya tegak bila di lakukan dengan kekerasan. Tersebutlah tiga orang haji dari Minangkabau pulang dari pengembaraannya di Makkah. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampilan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang di lingkari tembok, dengan pakaian berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula. Ia menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu. 

Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam cerita yang hidup di ranah minang bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri, hanya karena perbedaan paham. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibu mihanguskan dan para pemimpin adat di bunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.  Apa sebenarnya yang didapat? Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial di bentuk oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya, akhlak orang perorang yang menentramkan. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang di kehendaki kaum Padri.

Orang yang cukup arif untuk menerima ketidak-sempurnaan itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol, yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan hasil jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Gadang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan. Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya. Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran. Namun pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang di jalankannya sesuai dengan Qur’an? Selama delapan hari ia merenung dan akhirnya ia mengirim empat utusan ke Mekkah. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran yang di bawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih. Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepala adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, masyarakat Minang Kabau menerima formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsandi Sarak dan Sarak barsandi Adat”. Adat harus sesuai dengan syariat, dan Syariat harus sesuai dengan Adat. Kaum adat memaklumi mereka merubah adat yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Namun ke islaman itu tidak merubah adat sehingga harus seperti penampilan kaum Arab di sana.  

Adat Minang Kabau tentang budi di restruktur ulang dengan menanamkan keindahanan Akhlak AL Quran. Maka apa yang kemudian yang jadi pegangan bagi masyarakat Minang adalah Islam yang indah dan damai. Islam mengajarkan setiap orang menghidupkan dakwah tapi tidak mencari hidup dari dakwah. Islam tidak mengajarkan orang cari hidup dari Politik tapi menghidupkan politik untuk cinta bagi semua  Islam tidak mendidik orang jadi pendendam. Islam itu penuh maaf, penuh prasangka baik dan menjauhkan diri dari keributan. Walau perdamaian itu pahit maka harus di terima karena Allah. islam itu agama Tauhid yang punya kekuatan spirituall yang bagaikan elang terbang menembus langit namun membumi bagaikan Induk ayam yang mampu mengikuti sunatullah dengan berani dan unggul dalam putaran waktu. Islam itu mengajarkan agar yang jauh mendekat dan yang dekat merapat.Karena ia mengajarkan cinta dan kasih sayang untuk mencapai keharmonian dalam perbedaan. Islam itu tidak memaksa orang untuk beriman namun mendoakan siapapun agar hidayah dan keselamatan bagi semua. Islam mengajarkan agar setiap orang menggunakan akalnya dan menghindari taklik buta. Karenanya Al Quran bukan monopoli satu golongan saja tapi ia bisa di pelajari oleh siapa saja dan di bahas  dengan bebas. Dari perbedaan itu , dengan cinta dan niat baik maka Islam akan semakin mempunyai tempat memakmurkan bumi, hidayah pun terbuka bagi siapa saja. Di Minang terjadi rekontruksi adat , begitupula daerah lain. Islam di Indonesia punya bentuk yang tak menawarkan radikalisme tapi kedamaian dan keharmonian...