Friday, September 2, 2016

Venezuela seharusnya belajar dari Jokowi..


My dear, saya berharap kamu baik baik saja. Saya merindukan kebersamaan kita beberapa tahun lalu. Ingatkah kamu ketika kita habiskan malam di Caracas, Las Mercedes. Kota yang tak pernah tidur. Kita pergi ke restoran,  nonton film , pergi ke Bar dan berakhir ke night club. Mentertawakan pria China yang gagal menggoda wanita latin berbokong besar. Sepertinya sosialisme tidak applicable dalam hubungan asmara, ya kan. Kini kehidupan malam di Caracas telah berubah banyak. Kamu tidak akan menemukan keceriaan di semua tempat di Caracas. Pada malam hari, rasa takut merasuk. Setelah jam 8 malam, jalan-jalan sepi, seakan berlaku jam malam. Dan itu untuk alasan yang baik: Ada 3.946 kasus pembunuhan yang tercatat pada tahun 2015, mewakili tingkat 119,87 kematian per 100.000 penduduk. Caracas menjadi kota dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia. Wajah malam kelam karena listrik di jatah hidupnya. Wajah murung di ujung malam dalam antrian di depan apotik mengharapkan jatah obat yang terbatas, dan di depan swalayan yang malas melayani karena stok tidak tersedia cukup. Harga melambung sampai 7 kali lipat. Kehidupan sehari hari penuh curiga dan awas. Caracas tidak lagi menawarkan kesenangan dengan banyak pilihan. Semua karena pemerintah salah urus perekonomian.

Kamu ingat kan La Quinta Bar tempat kita menghabiskan malam dengan live music salsa, kini hanya buka tiga hari dalam seminggu. Pengunjung sepi kecuali orang China yang masih suka datang karena merindukan wanita berbokong besar. Kami merindukan semua yang hilang itu. Kemana janji kemakmuran sosialis?. Kemana janji Negara menguasai semua dan di distribusikan kepada rakyat?. Penguasa sosialis memanjakan rakyat dengan subsidi , menaikan gaji berlipat kepada pegawai. Rakyat terlena akan program kemakmuran palsu  ini. Mungkin tadinya kami tidak pernah berpikir akan jadi begini. Tapi sebetulnya sudah dapat di tebak karena mana mungkin kita mempercayakan kemakmuran dengan penguasaan sumber daya di tangan pemerintah. Saya ingat dulu kamu bilang bahwa kemakmuran itu harus datang dari upaya kemandirian rakyat. Pemerintah tidak boleh mengintervensi pasar hanya untuk mengendalikan harga. Sekali harga di kendalikan maka itu akan menimbulkan paradox, sehingga orang malas berkompetisi. Sekali semangat kompetisi menurun maka kreatifitas hilang dan kekuatan bangsa melemah. Benarlah adanya. Ingat dulu ketika  Hugo Chavez terpilih kembali pada tahun 2006, ia mengambil alih sektor peternakan, supermarket, bank, telekomunikasi, perusahaan listrik, perusahaan minyak dan layanan dan perusahaan manufaktur yang memproduksi botol, baja, semen, kopi, yoghurt, deterjen dan bahkan kaca. Produktivitas menurun tajam di semua sector.

Benar katamu my dear. Venezuela mendapatkan berkah kemelimpahan MIGAS dengan cadangan terbesar di dunia. Ini berkah tapi juga kutukan. Kami hidup dalam euphoria sosialisme. Semua serba mudah mengurus Negara karena Migas selalu ada untuk memanjakan rakyat. Tapi kemanjaan demi kemanjaan yang datang dari migas ini membuat kami menjadi lemah secara budaya dan ekonomi, dan sosialisme memberian ruang elite mengambil banyak dan memberi sedikit kepada rakyat. Kami terlena akan semua kepalsuan dari jargon bahwa tidak perlu bayar pajak, dan orang boleh kerja apa adanya dengan UMR perbulan sama dengan 3 bulan UMR Indonesia. Apa hasilnya kini? Ketika harga minyak jatuh yang tidak dapat lagi menutupi ongkos produksi, kami kelaparan di dalam lumbung padi. Negara yang telah menasionalisasi PMA tidak mampu lagi mencetak laba untuk mengongkosi rakyat yang tak pernah mandiri, dan hutang yang di gali untuk mempercepat kemakmuran tapi nyatanya menjebak kami gagal bayar. Kepercayaan keuangan international runtuh. Kami mulai kembali hidup keabad terbelakang dalam mengurus ekonomi : mencetak uang dan menjual cadangan emas. Apa yang terjadi? Nilai uang terjun bebas hingga 98%. Inflasi meningkat 700% dan masa  depan tidak ada harapan lagi.. Setidaknya ada satu hikmah betapa buruknya bergantung pada impor. Memang untuk mencapai tujuan sosial, lebih baik menggunakan pasar daripada menekannya. Maka, mematok harga komoditas pangan, bukan jalan keluar. Lebih penting mengelola harga pasar agar mendorong produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat. 

Kini dalam kesendirian di apartment kecil , dengan penerangan listrik yang dijatah. Aku merindukan kebersamaan dulu pernah kita alami. Oh ya aku ingat ketika suatu pagi kita berjalan ke pasar di kota kecil di China.  Aku melihat seorang ibu bersama bayinya di punggung mendorong kereta dagangannya di tengah cuaca winter. Wanita itu nampak lelah namun wajahnya ada harapan. Kamu bilang “ Wanita itu hidup dalam semangat sosialisme yang di koreksi dengan menggunakan budaya China , semangat kemandirian dan Negara menjaga passion itu lewat kebijakan pasar yang terbuka. Kompetisi terbangun dan Negara menjami keadilan dalam berkompetisi ". Sosialis komunis China belajar dari kegagalan revolusi kebudayaan, di mana semua orang di jamin dengan Negara menguasai sumber daya. Apa hasilnya?  puluhan juta orang mati kelaparan di lahan pertanian dan tambang. Pelajaran itu sangat mahal.  Tapi di china para elitenya dapat berdamai ketika harus berubah dengan mengkoreksi komunisme. Tapi My dear,  di sini ketika krisis terjadi, mereka bukannya bersatu mencari solusi malah para oposisi sibuk mencari kambing hitam dan memprovokasi terjadinya kakacauan. Penjarahan toko terjadi dengan wajah garang. Kemarahan tidak seharusnya terjadi karena kami cinta damai. Agama kami mengajarkan itu.

Rakyat bodoh karena mereka malas. Sangat mudah di provokasi dengan janji para oportunis politik,  namun tidak menawarkan sesuatu yang baru. Mereka hanya mengulang retorika sosialisme yang akan menjamin kemakmuran dengan sumber daya alam tanpa harus bayar pajak. Semua akan mudah dan setiap malam tetap bisa pesta dansa dansi di iringi  live music. Sayang sekali, banyak orang tidak menyadari bahwa pesta itu sudah usai! Kedepan, tidak akan ada kemakmuran karena MIGAS. Kami seharusnya seperti apa yang di canangkan oleh presiden kamu, berubah. Akankah ada pemimpin yang  berani bersikap seperti presiden kamu yang tidak takut kehilang citra karena memenggal anggaran dan subsidi serta mendorong terjadinya proses kemandirian lewat kebijakan yang revolusioner di bidang anggaran dan perpajakan? Yang di butuhkan Venezuela adalah keberanian elite pempimpin untuk berkata jujur kepada rakyat bahwa kemakmuran itu hanya mungkin terjadi bila rakyat mampu mandiri dengan political will pemerintah memberikan peluang dan kebebasan berkompetisi bagi semua orang, yang mau kerja keras…

Caracas
Amy


   

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.