Kalau ada Pemda sampai berani
mengeluarkan aturan melarang berdagang di bulan ramadhan maka itu sebetulnya
bukanlah keputusan sederhana. Mereka punya dasar pijakan atau dalil untuk
sampai membuat aturan dalam bentuk PERDA. Dalil itu dasarnya adalah qiyas. Apa
itu ? dalam ilmu fiqih disebut dengan sadd adz-dzari’ah yang artinya larangan melakukan sesuatu yang
akan berdampak rusaknya iman atau tergelincir orang melakukan maksiat. Contoh
berdagang makanan itu tidak dilarang. Karena berdagang adalah
bagian dari ibadah itu sendiri. Namun karena di lakukan di bulan ramadhan akan
berdampak merusak iman orang yang sedang berpuasa maka di laranglah berdagang
itu. Atau bisa juga contoh air mengalir ke salah satu sawah tetangga. Pihak
tetangga lain merasa tidak mau air itu mengalir karena merasa aliran air itu
miliknya. Maka agar jangann sampai si tetangga mendapat dosa karena mengambil air orang lain maka di buatlah ketentuan agar air itu di hentikan mengalir ketempat
tetangga. Padahal air itu milik Allah dan tidak ada siapapun berhak melarangnya
mengalir kemana dia pergi. Contoh lain ada seorang wanita yang diceraikan oleh
suaminya. Maka selama masa iddah wanita itu di larang memakai perhiasan dan
berhias agar nampak cantik. Maksudnya agar tidak membuat pria lain menggodanya.
Padahal bersolek tidak di larang bagi wanita ,apalagi dia sudah bercerai..
Di lihat dari aspek aplikasinya,
sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum
(istinbath al-hukm) dalam Islam dan salah satu sumber hukum. Namun tidak semua
ulama sepakat dengan sadd adz-dzari’ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Mengapa
? . Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau
tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan
berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i).
Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi
dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus
ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’.
Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata dengan dasar paranoid. Karena keimanan orang tidak ada urusan dengan
orang lain, dan tidak ada urusan dengan lingkungannya. Keimanan itu hidayah
dari Allah. Setelah keimanan bersemayam di hati , apakah setelah itu tetap
kokoh ? tidak! Karena ada proses ujian yang harus di lalui agar iman itu tetap
kokoh. Tidak bisa dikatakan orang
beriman tanpa di uji. Itu sudah platform dari Allah. Bukan tidak mungkin orang
yang sangat taat dalam keimanan dalam waktu singkat dapat menjadi ingkar. Allah
berhak membalok balikan hati manusia dan Allah lebih tahu mengapa dan kapan
hati itu akan di bolak balik.
Lantas mengapa sadd adz-dzari’ah menjadi
dasar menetapkan dalil salah atau tidak salah ? Paham ini di anut kuat oleh
wahabi. Aplikasinya sudah menjadi grand design untuk menggiring agama dalam
wilayah politik. Awalnya sadd adz-dzari’ah diterapkan dalam hukum syariah dalam
bentuk symbol symbol agama. Kemudian bila ini sudah menjadi kepatuhan orang
banyak atas dasar pembenaran maka mereka akan masuk lebih luas lagi “ hanya Negara
islam berdasarkan Al quran dan hadith yang bisa memastikan manusia tetap dalam
keimanan. Membangun khilafah islam adalah keniscayaan dalam prinsip al`amru bil-ma'ruf
wannahyu'anil-mun'kar. Benarkah khilafah akan membuat orang semua baik dan
khilafah akan membuat orang berdamai dengan system kekuasaan ? Dari buku " Kebenaran Yang Hilang" di terbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama yang di tulis oleh Farag Fouda, dengan kata pengantar Samsu Rizal Panggabean kita akan mengerutkan kening betapa mengerikan ketika agama di tunggangi oleh nafsu kekuasaan.
Tersebutlah dalam buku Fouda di saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.
Tersebutlah dalam buku Fouda di saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.
Tampak, ada dinamika lain yang
mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika
itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang
memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si
penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Pada
tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh
seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah
dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki
orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya
dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang
pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah
mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya.
Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang
lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas
harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke kuburan. Makam pun dibongkar.
Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera, disalib,
dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang
hidup, apa lagi….
Sejarah masalalu yang kelam, tulisan jenengan sangat mencerahkan dengan penyampaian yang sederhana dengan niatan negara kita menjadi negara baik dan menulak aliran yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik dengan sopan dan elegan
ReplyDeleteMakasih banyak buat ilmunya
ReplyDelete