Sunday, June 12, 2016

Islam dan Politik...?

Kalau ada Pemda sampai berani mengeluarkan aturan melarang berdagang di bulan ramadhan maka itu sebetulnya bukanlah keputusan sederhana. Mereka punya dasar pijakan atau dalil untuk sampai membuat aturan dalam bentuk PERDA. Dalil itu dasarnya adalah qiyas. Apa itu ? dalam ilmu fiqih disebut dengan sadd adz-dzari’ah  yang artinya larangan melakukan sesuatu yang akan berdampak rusaknya iman atau tergelincir orang melakukan maksiat. Contoh berdagang makanan itu tidak dilarang. Karena berdagang adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Namun karena di lakukan di bulan ramadhan akan berdampak merusak iman orang yang sedang berpuasa maka di laranglah berdagang itu. Atau bisa juga contoh air mengalir ke salah satu sawah tetangga. Pihak tetangga lain merasa tidak mau air itu mengalir karena merasa aliran air itu miliknya. Maka agar jangann sampai si tetangga mendapat dosa karena mengambil air orang lain maka di buatlah ketentuan agar air itu di hentikan mengalir ketempat tetangga. Padahal air itu milik Allah dan tidak ada siapapun berhak melarangnya mengalir kemana dia pergi. Contoh lain ada seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya. Maka selama masa iddah wanita itu di larang memakai perhiasan dan berhias agar nampak cantik. Maksudnya agar tidak membuat pria lain menggodanya. Padahal bersolek tidak di larang bagi wanita ,apalagi dia sudah bercerai..

Di lihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam dan salah satu sumber hukum. Namun tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzari’ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Mengapa ? . Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash  dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata dengan dasar paranoid.  Karena keimanan orang tidak ada urusan dengan orang lain, dan tidak ada urusan dengan lingkungannya. Keimanan itu hidayah dari Allah. Setelah keimanan bersemayam di hati , apakah setelah itu tetap kokoh ? tidak! Karena ada proses ujian yang harus di lalui agar iman itu tetap kokoh.  Tidak bisa dikatakan orang beriman tanpa di uji. Itu sudah platform dari Allah. Bukan tidak mungkin orang yang sangat taat dalam keimanan dalam waktu singkat dapat menjadi ingkar. Allah berhak membalok balikan hati manusia dan Allah lebih tahu mengapa dan kapan hati itu akan di bolak balik.

Lantas mengapa sadd adz-dzari’ah menjadi dasar menetapkan dalil salah atau tidak salah ? Paham ini di anut kuat oleh wahabi. Aplikasinya sudah menjadi grand design untuk menggiring agama dalam wilayah politik. Awalnya sadd adz-dzari’ah diterapkan dalam hukum syariah dalam bentuk symbol symbol agama. Kemudian bila ini sudah menjadi kepatuhan orang banyak atas dasar pembenaran maka mereka akan masuk lebih luas lagi “ hanya Negara islam berdasarkan Al quran dan hadith yang bisa memastikan manusia tetap dalam keimanan. Membangun khilafah islam adalah keniscayaan dalam prinsip al`amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar. Benarkah khilafah akan membuat orang semua baik dan khilafah akan membuat orang berdamai dengan system kekuasaan ? Dari buku " Kebenaran Yang Hilang" di terbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama yang di tulis oleh Farag Fouda, dengan kata pengantar Samsu Rizal Panggabean kita akan mengerutkan kening betapa mengerikan ketika agama di tunggangi oleh nafsu kekuasaan.

Tersebutlah dalam buku Fouda di saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.

Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke kuburan. Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi….

Semoga para pemimpin kita dan tokoh agama paham soal fenomena yang terjadi sekarang ini bagaimana agama terus di dengungkan di pentas politik. Cara ini tak lebih hanya politik, agama hanya dalih belaka. Karena jarang terdengar bagaimana kekuatan agama di gunakan untuk mengangkat kaum miskin di kantong kantong kemiskinan agar mereka bisa bangkit berdasarkan symbol agama untuk keluar dari kubangan kemiskinan melalui kemandirian. Seharusnya agama menuntun kepada bagaimana ulama hebat yang celebritis lebih banyak waktunya di daerah kumuh daripada di panggung berkelas kaum berada yang lebih banyak sadar daripada lupa. Gerakan cinta berdakwah harus menjadi platform kepada siapapun. Sehingga membuat yang jauh mendekat dan yang dekat merapat. Yang kaya mau berbagi dan yang miskin mau bangkit lewat kerja keras dalam kesabaran, yang berilmu berbagi tanpa pamrih. Bukankah agama itu bagaikan elang yang terbang tinggi dengan spiritualnya dan membumi bagaikan induk ayam yang tangguh melewati sunattulah untuk menghidupi dirinya , keluarga dan lingkungan atas dasar cinta dan kasih sayang….dengan begitu bila kekuasaan itu datang maka itu memang sunattulah...

2 comments:

  1. Sejarah masalalu yang kelam, tulisan jenengan sangat mencerahkan dengan penyampaian yang sederhana dengan niatan negara kita menjadi negara baik dan menulak aliran yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik dengan sopan dan elegan

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.