Monday, April 18, 2016

Giant Sea Wall

Pada awalnya di era Soeharto , reklamasi pantai bertujuan meluaskan lahan untuk pembangunan perumahan karena tidak mungkin menambah lahan di wilayah lain. Kemudian di era Gubernur Fauzi Wibowo reklamasi di lanjutkan lebih terencana. Tujuannya bukan hanya untuk perluasan lahan hunian tapi lebih dari itu adalah sebagai sebuah sistem untuk mengatasi banjir rob di jakarta utara dan barat. Banjir rob ini terjadi karena daratan Jakarta setiap tahun turun. Sehingga kini berada dibawah permukaan laut. Dalam rencana tata ruang DKI ,pembangunan Giant Sea Wall (GSW) dimasukan. Namun Fauzi Wibowo gagal mendapatkan dana dari APBN untuk pembangunan proyek ini. Maklum pembiayaan proyek tanggul raksasa ini memakan biaya hampir Rp.400 Triliun. Apalagi ketika pembiayaan ini diajukan keadaan APBN tertekan karena DSR indonesia sudah diatas 50 % akibat anjloknya harga komoditas utama. Namun entah mengapa proyek pembangunan 17 pulau sebagai bagian dari proyek GSW tetap diteruskan. Disinilah muncul permasalahan. Perusahaan yang telah mengantongi izin dari gubernur sebelumnya menuntut agar proyek reklamasi diteruskan. Karena maklum semua proses mendapatkan izin telah sesuai dengan produk hukum yang ada. 

Era Jokowi sebagai gubernur , Izin tetap dikeluarkan namun syarat yang ketat dengan memasukan persetujuan dari para stakeholder. Apabila tidak ada persetujuan dari stakeholder maka izin reklamasi tidak bisa dipakai. Di era Ahok, peraturan gubernur berkaitan dengan izin tersebut di tuangkan dalam Perda agar punya kekuatan hukum dan sesuai dengan UU No.1/2014. Tapi perda tak kunjung rampung sampai terbongkar kasus suap. Akhirnya DPRD DKI telah memutuskan dihentikan pembahasan dua Raperda yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Dengan demikian mengenai reklamasi kembali kepada Perda No. 8 tahun 1995, yang memang memberikan hak kepada gubernur untuk memberikan izin reklamasi namun bertujuan untuk perluasan lahan hunian, bukan untuk program strategis pengendalian banjir ( giant Sea Wall). Menteri Kelautan ibu Susi tidak berhak membatalkan iZin atau menghentikan reklamasi. Ibu Susi sadar kalau dia hentikan maka akan sangat mudah di kalahkan di pengadilan oleh pengusaha. Lain halnya bila Raperda Zonasi dan reklamasi telah di syahkan DPRD.

Bagaimana kalau Ahok batalkan? maka akan digugat oleh pengusaha melalui PTUN dan pasti pengusaha menang. Satu satunya yang bisa dilakukan Ahok adalah tidak memberikan HPL dan HGB atas lahan yang telah di reklamasi. Karena sudah di kunci oleh UU No. 1/2014. DPRD DKI memang hebat membuat pengusaha semakin besar mendapatkan akses laba tanpa peduli soal lingkungan hidup. Apabila setelah reklamasi, izin HPL dan HGB tidak di terbitkan maka pengusaha tinggal minta ganti rugi atas biaya yg telah dikeluarkan. Maklum mereka lakukan reklamasi atas iZin Pemerintah. Namun permasalahan sesunggugnya bukanlah soal izin yang dikeluarkan pemrov dan diterima oleh pengembang tapi lebih kepada soal pembiayaan proyek GSW yang memang tidak siap. Para pengembang diharapkan mampu memberikan subsidi silang tapi tidak mau keluar uang terlebih dahulu untuk memastikan proyek GSW terlaksana sesuai dengan standar lingkungan hidup yang ditetapkan oleh peraturan. Para pengembang justru mengharapkan dana dari penjualan lahan reklamasi. Ini memang berbahaya karena belum tentu rencana penjualan terlaksana. Sementara reklamasi telah dilaksanakan. Apa jadinya bila program bisnis tidak terlaksana baik dan GSW gagal dibangun? Jakarta akan bertambah parah dan semakin tenggelam.

Membangun mega proyek dengan dana besar , pasti berdampak sosial yang luar biasa dan belum lagi dampak lingkungan. Tanpa network planning yang akurat tidak akan berhasil. dan untuk mendukung rencana ini tidak bisa dengan dana yang belum pasti. Apalagi mengharapkan dana subsidi silang dari proyek Swasta di kawasan reklamasi yang belum ditangan. Lantas apa yang harus dilakukan oleh pemerintah bila dana tidak tersedia melalui APBN atau APBD? jalan terbaik adalah mengeluarkan SUKUK atau revenue BOND seperti yang dilakukan oleh Dubai dan China. Basis revenue adalah :
- Retribusi dari lahan yang telah selesai direklamasi. 
-Toll fee kepada kendaraan yang melintasi tanggul raksasa. 
- Penjualan Air baku. 
- Toll fee dari setiap kapal yang melintasi tanggul. 
Semua sumber revenue itu harus diatur dalam bentuk PERDA. Sumber pendapatan tersebut sangat exciting dalam jangka panjang, tentu akan menarik minat para investor dalam dan luar negeri. Andai SUKUK atau revenue bond diterbitkan sebesar USD 30 miliar ( Rp.400 triliun) akan diserap pasar dengan mudah. Setelah dana penjualan SUKUK atau revenue bond terkumpul maka dana itu diserahkan kepada Project managemen berkelas dunia dengan dukungan fund manager sebagai financial supervision. Sehingga akuntabilitas terjamin.

Untuk sementara proyek reklamasi dihentikan sampai proyek GSW selesai dibangun secara lengkap. Setelah proyek selesai dibangun maka project management dapat melakukan beauty contest kepada calon pengembang yang berminat melakukan reklamasi.Siapa yang berani memberikan lebih besar kontribusi kepada pemrov maka dia pemenang dan berhak mendapat konsesi lahan dari hasil reklamasi pantai atau bisa saja pengembangnya adalah mereka yang kini telah mendapatkan izin tersebut, yang tentu disesuaikan dengan skema pembiayaan proyek dimana mereka harus membayar retribusi yang ditetapkan oleh Perda.
Demikian semoga bisa dipahami.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.