Dalam wawancara di TV One, Kamis
14 April 2016, Ketua BPK Harry Azhar Aziz menyatakan bahwa pembayaran lahan RS
Sumber Waras dari Pemprov DKI ke Yayasan Sumber Waras sebesar Rp. 750 Miliar
dilakukan secara tunai (cash) pada malam tahun baru. Berikut kutipannya
"Ini mau tahun baru tiba-tiba ada pembayaran tunai, ada apa ini?".
Kata kata dari ketua BPK ini berkembang dengan berbagai pelintiran berita dari
media digital yang tak jelas reputasinya. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa
transaksi pembelian lahan memang wahana bancakan bagi Ahok dan jajaran SKPD.
Benarkah ? Dari data dokumen, pembayarannya memang pakai cek no CK 493387
perpindahan antar rekening di Bank DKI. Tanggal deposit ceknya 30 Desember 2014
dan masuk rekening RS Sumber Waras tanggal 31 Desember 2014 sebesar
Rp.717.905.072.500 Miliar. Bersama itu pula dibayarkan untuk pajak dengan cek
no CK 493388 sebesar Rp. 37.784.477.500. Tapi Ketua BPK bilang setoran uang
tunai berlangsung pada malam hari 31 Desember 2013. Maka, Ketua BPK telah melakukan kebohongan
publik dalam dua hal: (1) ia menyatakan pembayaran Rp750 Miliar dengan tunai
yang bertentangan dengan akal sehat dan dokumen yang ada (2) dia menyatakan
tanggal pembayaran pada malam hari menjelang tahun baru (31 Desember) yang
benar tanggal 30 Desember 2014.
Hal tersebut diatas membuktikan kredibilitas, integritas dan
marwah BPK semakin terpuruk, karena Ketuanya masuk dalam Skandal Panama Papers,
melakukan kebohongan publik, juga hasil audit BPK atas pembelian lahan RS
Sumber Waras bertentangan dengan dokumen-dokumen yang ada. Bagaimana dengan
team pelaksana audit BPK? ICW menduga adanya dugaan konflik kepentingan
pemimpin BPK Jakarta, EDN, yang memeriksa pembelian Sumber Waras. EDN diduga
memiliki konflik kepentingan karena punya dua bidang tanah 9 ribu meter persegi
di tengah pemakaman Pondok Kelapa. Dia berusaha merayu pemerintah DKI Jakarta
agar membeli tanah tersebut, tapi ditolak karena lahan tersebut telah
dibebaskan. EDN dicopot dari jabatannya. Dari dugaan ini muncul pertanyaan
mengapa BPK mengacu pada Pasal 13 Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Pasal 2, 5, dan 6 Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum sebagai dasar hukum prosedur pembelian lahan rumah
sakit.
Padahal Peraturan Presiden Nomor
71 Tahun 2012 sudah dirubah oleh Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perubahan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Bahwa proses pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan langsung
oleh instansi yang memerlukan dan pemilik tanah. Gubernur DKI cukup membentuk
tim pembelian tanah.Jadi audit yang dilakukan oleh BPK tidak punya landasan
hukum alias ngaco. Lokasi tanah bukan keputusan Ahok sendiri tapi telah
ditetapkan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara
(KUA-PPAS) APBD Perubahan 2014. KUA-PPAS ini juga telah disetujui oleh pimpinan
DPRD DKI. Ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perubahan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, pasal 121. Jadi kalau hasil audit BPK bahwa penunjukan lokasi tidak
sesuai dengan ketentuan, itu juga ngaco.
Mengapa BPK menghitung kerugian
negara berdasarkan nilai kontrak pembelian antara Yayasan dan PT Ciputra pada
2013 dengan harga tanah Rp 15,5 juta per meter persegi. Karena itu menyimpulkan
kerugian negara menjadi Rp 191,3 miliar. Padahal pembelian terjadi pada
Desember 2014 , menggunakan nilai jual obyek pajak (NJOP) 2014 sebesar Rp 20,7
juta per meter persegi dan NJOP ditetapkan pada Juni tiap tahun. Jadi hasil
audit tentang kerugian itu juga ngaco. Lantas mengapa harus dibeli tanah itu? Ahok
punya kreatifitas tinggi untuk memastikan tanah strategis sesuai peruntukan
Rumah Sakit dapat dikuasai oleh PEMDA, walau sebetulnya DKI punya tanah untuk
bangun rumah sakit. Membeli tanah bagi pemda adalah Pembentukan Modal Tetap
Bruto ( PMTB) yang bisa langsung dirasakan oleh rakyat. Apapun itu tidak akan
merugikan negara karena setiap tahun harga tanah akan naik dan negara tetap
harus beli tanah untuk RS. Kalau bisa beli sekarang kenapa harus tunggu besok.
Yang pasti niat pengusaha mau jadikan tanah itu untuk komersial sudah dihadang.
Ahok mengikuti standar kepatuhan yang ditetapkan oleh UU dan peraturan yang
berkaitan dengan pengadaan lahan untuk sarana umum. Ahok tidak berhak
menentukan NJOB dan tidak berhak melakukan pembayaran. Kalau karena itu dituduh
negara dirugikan, maka harus dibuktikan siapa yang mendapatkan keuntungan dari
proses pembelian lahan ini. Kalau prosedur nya salah maka salahkan UU dan
aturan.
Itu sebabnya KPK lebih focus
kepada bukti tindak korupsi, bukan pada prosedur pembelian lahan. Bukti itu
harus digali dari motif seseorang berbuat. Apa motif dia? kalau motif nya
memperkaya diri, ya dia tak perlu beli lahan tapi rubah aja peruntukan lahan
dari RS menjadi Komersial, pasti dapat cuan dari Ciputra yang sudah teken PJB
dengan pemilik lahan. Aman kan. Kalau dia korupsi , pasti ada aliran dana masuk
ke rekening Ahok atau pihak yang dekat dengan Ahok..PPATK akan sangat mudah
melacaknya. Atau akan ada pihak SKPD yang tersangkut dan pasti akan nyanyi
kalau ahok kebagian uang. Kan konyol kalau Ahok perang dengan BPK kalau benar
dia korup. Yang pasti kalau BPK benar maka ada banyak kepala Daerah yang akan
bernasip sama dengan Ahok di kriminalisasi karena mereka semua menggunakan
Perpres Nomor 40 Tahun 2014.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.