Ditengah suara sumbang tentang Aseng yang
konotasinya etnis china,saya sempat
diajak diskusi teman etnis China soal kebangsaan ini.Dia berbicara panjang lebar.Saya
hanya diam untuk menjadi pendengar yang baik.
Setelah usai bicara dia bertanya kepada saya “ Apakah kamu orang minang.
Tentu dengan bangga kamu menjawabnya ? “
Saya ketawa masam. Jawab saya: ”Saya tak tahu apa kah saya orang minang , atau bukan orang minang.”. Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa
dia bingung. Berada di Singapura (atau Malaysia) saya sering sekali menemui
percakapan macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat menyebut seseorang
dan mengaitkannya dengan ”bangsa Cina” atau ”bangsa Melayu” atau ”bang sa” apa
saja dengan suatu sifat yang mereka anggap khas pada ”bangsa” itu.
Berada di dua negeri ini, di mana ethnisitas menguasai kebijakan
politik dan kehidupan sehari-hari, tendensi itu tampak sudah jadi bagian bahasa
yang otomatis. Tak mengherankan bila di sana saya selalu dipandang dan
diletakkan dalam satu kotak identitas. Khususnya yang terkait de ngan
”perkauman”. Kalau saya bergerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti
halnya tuan rumah saya malam itu. Di
Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu di sini adalah
bagaimana identitas diterjemahkan dengan istilah yang seakan-akan keramat,
yakni ”jati diri”. Saya selalu berkeberatan tentang ini, karena tak ada yang
keramat di dalamnya. Bahkan ketika orang mengatakan telah menemukan ”jati
diri”, orang sebenarnya tak tahu bahwa ”diri” yang ”(se)-jati” mustahil
didapat.
”Diri” atau ”aku” lahir selamanya
tak pas, bahkan terbelah. Pendekar psikoanalisis Prancis, Lacan, menemukan
bahwa kesadaran akan ”aku” dimulai ketika seorang bocah berada dalam ”tahap
cermin”. Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia diberi tahu bahwa
itulah dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada ketika itu juga, dan untuk
seterusnya, ada yang tak tampak pada cermin: bawah-sadarnya, gejolak
biologisnya, kedalaman impian dan traumanya. Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Gestalt pun
muncul. Itulah yang, kata Lacan, ”melambangkan posisi permanen dari ‘aku’”.
Ketika kemudian si bocah diberi nama oleh si ayah bapak yang menguasai bahasa
identitas pun dikukuhkan. Tapi
dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia dirumuskan oleh
nama dan bahasa sebuah bangunan simbol yang disusun masyarakat. Identitas tam
pak sebagai perbedaan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbandingan
selamanya mirip mata rantai yang tak putus-putusnya antara X dan lain-lain di
dunia. Di sini, saya selalu ingat
James Baldwin. Pengarang da ri New York ini ia hitam, gay, dan melarat mening
galkan Amerika dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya: ”Aku
bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bahkan berjumpa dengan
diriku sendiri.” Kesadaran akan
diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan orang lain. Bahkan sifatnya
mengandung antagonisme. ”Identitas ditanya hanya ketika ia terancam,” kata
Baldwin, ”… atau ketika si orang asing datang memasuki gerbang.”
Dalam Mein Kampf, ada satu cerita
Hitler. Ketika ia masih muda, pada suatu malam ia berjalan di pusat kota Wina.
Di sana ia bertemu dengan sesosok bayangan berkaftan hitam dan berambut hitam
dikepang. ”Yahudikah ini?” Hitler bertanya pada diri sendiri. Setelah ia amati
lebih jauh, ia bertanya kembali dalam hati: ”Orang Jermankah ini?” Hitler tak bertanya apakah si bayangan
itu seorang seniman atau seorang profesor. Ia mempersoalkan identitas ethnisnya
karena baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia menganggap identitas
adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena antagonisme yang diyakininya adalah
sesuatu yang permanen. Baldwin,
yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam kerangkeng identitas (hi tam,
gay, asing), menampik itu. Baginya iden titas lebih mirip ”garmen yang menutupi
ketelanjangan diri”. Baginya, lebih baik gar men itu dikenakan dengan agak
longgar, seperti pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat
diperkirakan, diri yang telanjang yang terbungkus di sana. Bahkan bagi Baldwin,
orang harus punya ”kekuatan untuk mengganti jubahnya”. ”Anda orang minang…,”
kata tuan rumah saya, dan saya tersenyum masam. Saya seperti Baldwin: bagi
saya, yang penting bukanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak
dan seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia sebagai
agency, pelaku. Politik identitas
sejak 1970-an punya peran dalam pembebasan orang hitam dan perempuan dan
mungkin minoritas lain yang tak diakui. Tapi politik identitas selamanya
mengacaukan kenyataan bahwa identitas itu se sekali perlu (ketika ia
”terancam”) tapi tak pernah benar-benar hadir.
Ia konstruksi atas multiplisitas
yang inkonsisten, yang serabutan. Untuk meminjam kata-kata Alain Badiou da lam
konteks lain, identitas adalah hasil ”compter-pou run”, ”menghitung buat jadi
satu”. Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku meletakkan diri
sebagai pemersatu dari segala yang carut-marut dan tak terduga dalam diriku. Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di
luarku, terkadang terasa mengancam, bergelombang perbedaan-perbedaan yang
membentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan identitas itu adalah
bagian dari paranoiaku.@