Henry Kissinger pada tahu 1970
pernah berkata “Control oil and you control nations; control food and you
control the people. Kalimat itu kini mendapatkan pembenarannya. Andaikan BBM
langka maka dipastikan siapapun rezim pasti akan jatuh. Andaikan pangan langka maka
sehebat apapun rezim seperti Morsi yang terpilih secara demokratis di Mesir akhirnya ditumbangkan. Baik BBM maupun Pangan bukan hanya sebagai komoditas perdagangan tapi lebih dari itu adalah
komoditas politik. Kekuatan kartel dunia yang merupakan gabungan dari lembaga
keuangan, pedagang, industri saling terikat dalam kartel untuk memaksa negara
manapun tergantung kepada mereka.Dengan
demikian mereka bisa mengontrol negara itu.
Mengapa Petral harus di Singapore? Mengapa tidak Pertamina yang berhubungan
langsung dengan pasar? Selama era Soeharto sampai dengan sekarang era SBY, indonesia
terjebak dengan kondisi keterbatasan sumber pembiayaan pengadaan BBM. Lembaga keuangan yang memberikan dukungan trade financing lebih nyaman
apabila LC pembelian minyak dibuka dari bank di Singapore daripada dari
Indonesia. Alasannya lebih kepada keamanan dan kepastian hukum dimana Singapore dibawah hukum British. Ditengah
posisi APBN yang defisit karena beban hutang dan biaya sosial yang tinggi
memaksa pemerintah tidak punya pilihan kecuali harus mengikuti platform yang
ditetapkan oleh kartel tersebut. Akibatnya upaya swasembada BBM kandas karena rencana membangun
refinery, peningkatan lifting dan lain sebagainya harus mendapat persetujuan dari
karter tersebut.
Tak jauh berbeda dengan Pangan.
Kekuatan kartel international melalui lembaga keuangan yang terkait dengan
pembiayaan defisit anggaran berperan membuat program swasembada pangan gagal,
agar Indonesia tergantung impor dari luar negeri. Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN) dicanangkan pada tahun 2007 yang merupakan bagian dari
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) gagal dilaksanakan.
Janji Kampanye SBY akan mendistribusikan lahan pertanian seluas 9,25 juta kepada
petani, hanyalah bualan belaka. Dari tahun ketahun petani semakin
terpuruk. Mau bukti ? Konversi lahan
sawah menjadi lahan non pertanian sedikitnya terjadi 10.000 hektar per
tahun. Kepemilikan lahan para petani yang dari tahun ketahun semakin turun. Saat
ini kepemilikan lahan oleh petani di Jawa sekitar 0,3 hektar sedangkan di luar
jawa 1,19 hektar. Apa sebab? Dengan adanya Inpres No. 5 tahun 2008 yang mengatur sejumlah konsesi untuk perusahaan-perusahaan
yang berinvestasi di bidang pangan dengan sekala yang luas (food estate),
sebagai kelanjutan dari liberalisasi UUPM ( undang Undang Penanaman Modal )
yang memberikan akses luas kepada Pengusaha Besar dan Asing untuk menguasai
lahan ( HGU) sampai 95 tahun. Karenanya rakyat tersingkir ditengah konflik
agraria yang menyebabkan banyak petani di kriminalisasi dan dipenjarakan
Selama ini Petani dalam kondisi
tidak berdaya dan by design dipinggirkan. Petani setiap harinya harus
menghadapi harga bibit dan pupuk pertanian yang tidak pasti. Karena 43% bibit
tanaman pangan dikendalikan oleh asing (syngenta dan Bayern Corp). Padahal
rata-rata 45,4 persen modal petani terutama komoditas padi dihabiskan untuk
membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan racun dan ketika berproduksi harus berhadapan
dengan serbuan pangan import. Pengusaha domestik dan international saling
terkait untuk menciptakan pasar yang oligopolistis dan membuat petani terpuruk.
Di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu
Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka
menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia. Keempat
pedagang besar ini bermitra dengan segelintir pengusaha lokal. Di industri pakan unggas yang hampir 70% bahan bakunya adalah jagung ,
empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Sementara
itu, empat produsen gula rafinasi
terbesar menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula
putih. Kartel juga terjadi pada industri
gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah) 3 juta ton
setahun yang dikuasai delapan produsen. Untuk distribusi gula impor di dalam
negeri diduga dikuasai oleh hanya enam perusahaan.
Baik BBM maupun Pangan kita benar
benar dibawah kekuatan kartel yang beroperasi seperti mafia. Mereka menggunakan
kekuatan loby politik, menebar komisi, suap untuk melahirkan UU dan Peraturan yang
sesuai dengan kepentingan bisnis mereka. Mengapa Kartel dan mafia perdagangan
tidak bisa dihapus? Jawabanya sudah jelas bahwa
semua pemimpin bisa dibeli dan berlaku bagaikan boneka bagi para kartel
untuk bersikap dan bekerja demi kepentingan Kartel ( bukan kepentingan rakyat).
Dan semua itu tidak ada yang gratis. Bagaimana melawan kartel itu ? Pemimpin harus bersih dan amanah. Sehingga dia bisa memastikan negara harus berdaulat secara politik dibidang energy dan Pangan. Jokowi
telah dengan tegas mengeluarkan kebijakan swasembada pangan dan BBM. Itu sebabnya
infrastruktur pertanian beruapa irigasi dan waduk akan direvitalisasi semua
agar produktifitas pertanian dapat meningkat. Program ini telah lebih 5 tahun
tidak pernah dikerjakan oleh SBY. Harus mulai meninggalkan ketergantungan
dengan pupuk kimia impor yang selama ini 90% dibayar dengan dana subsidi, dan
selanjutnya subsidi diarahkan untuk meningkatkan produksi pupuk
organik,membangun pabrik Gula, Infastruktur jalan desa dan pusat terminal agro
disemua kabupaten akan diperbaiki agar logistik pertanian efisien. Tujuannya
adalah kita harus mampu swasembada pangan juga swasembada alat dan bahan
produksi dan memastikan harga menguntungkan petani namun tidak memberatkan
konsumen. Kita akan mampu menjaga keseimbangan demand and supply karena kita
mandiri.
Dibidang BBM, pemerintah segera
akan membangun kilang minyak berkapasitas 2x 500.000 Barel dan membangun
Stasiun BBM berkapasitas raksasa, meningkatkan lifting MIGAS dan menyediakan kapal berlambung lebar untuk
saran logistik. Ini semua untuk memastikan kita sebagai player dibidang BBM ,
bukan hanya sebagai konsumen dan produsen yang semua diatur oleh player ( asing
dan domestik). Itu hanya mungkin apabila kita mandiri. Namun untuk bisa keluar
dari jebakan kartel atau mafia BBM dan Pangan maka syarat utama adalah kita
harus punya modal sendiri. Kalau Pertamina mencoba meminjam dana dari asing maka
pasti mereka tolak dengan berbagai alasan. Kalau Pertamina menarik dana dari
perbankan jelas akan mengganggu rasio legal lending limit. Satu satunya
cara adalah negara memberikan tambahan modal kepada Pertamina dan itu sumbernya dari APBN 2015-2016, Pemerintah Jokowi harus mau dan berani
merestruktur APBN untuk memastikan program kemandirianya dibidang pangan dan
energy dapat tercapai. Ini memang kebijakan yang pahit karena akan memaksa PNS,
Rakyat harus berkorban demi APBN yang sehat , demi kemandirian dalam pembangunan.
Ya Kita lihat nanti APBN-2105-2106. Semoga elite politik dapat berdamai dan
bergandengan tangan untuk membuat Indonesia makmur dan bermartabat.
Inspiratif Pak..
ReplyDeleteSemoga semua do'a yg terbaik untuk negeri ini dikabulkan. Amien.
ReplyDeleteAnalisa yg super..semoga Allah memberikan yg terbaik untuk negeri ini. Aamiin
ReplyDelete