Soeharto sudah lama tiada. Namun kini
dia seakan bangkit dari kuburnya. Ia dibangkitkan
oleh sekelompok orang yang merindukan kekuasaan seperti era Soeharto. Liatlah
cara Soeharto memimpin negeri ini, demikian saya ingat kata mentor saya ketika
mahasiswa dulu, bahwa apapun kata katanya lebih sakral dibandingkan kitab suci. Perintahnya lebih menakutkan dibandingkan UU.Tak pernah ada yang
menyalahkannya.Keluarganya selalu dipuja dan tak ada satupun yang membicarakan
keburukan keluarganya,apalagi menghujat. Tak pernah pusing mendatangkan uang
agar APBN tetap jalan untuk program pembangunannya. Karena ada sekumpulan
negara donor yang selalu setia memenuhi kas APBN yang miskin penerimaan pajak
kecuali hutang luar negeri. Dari seorang Soeharto itu, semua diuntungkan. Para
sahabatnya mendapatkan konsesi business meluluh lantakan hutan untuk
mendapatkan kayu dan menghancurkan bukit untuk mendapatkan barang tambang.Semua
dijual ke luar negeri dengan harga obral. Dari kegiatan itu para putra putri, kakak, adik,ipar, sedulur mendapatkan berkah
komisi kolusi. Mereka hidup bergelimang harta dan memanjakan hidupnya dikota kota mode dan kosmospolitan di Eropa,Amerika,Hong Kong, Singapore. Rumah kawasan elite
dinegeri tersebut dipenuhi oleh mereka,membaur menjadi first class dikomunitas jet set. Sementara rakyat tetap miskin. Orang miskin dikaburkan dengan program
humanis yang dipropagandakan tiada hentinya lewat televisi yang dimonopoli oleh
negara...
Seorang teman yang juga kader
partai berkata kepada saya bahwa apa yang baik dari Soeharto adalah kekuasaan
itu tidak membosankan dan menakutkan. Tapi kini , semua terasa duduk diatas
bara api. Baik executive,judicative, legislative, harus ekstra hati hati
sepanjang karirnya karena mata dan telinga KPK ada dimana mana. Tak ada yang aman. Gubernur, bupati,walikota, direktur BUMN, anggota DPR ,Ketua umum Partai bahkan besan presiden
masuk bui. Kita harus menempatkan politik menghasilkan reward tentang kekuasaan
bukan hal yang menakutkan tapi menyenangkan. Saya tak ingin mengomentari. Bagi
saya teman ini sudah masuk dalam situasi patah hati dengan demokrasi yang di
create oleh rezim reformasi. Sudah cukup bulan madu. Kini saatnya kembali
kedunia nyata bahwa kekuasaan itu hak penguasa dan tak ada urusannya dengan hak
rakyat mengawasi hingga membuat penguasa masuk bui. Apakah kembali kepada UUD
45 secara murni? Dengan tegas dia mengatakan bahwa UUD 45 yang diamandemen itu
adalah produk traksaksional dengan pihak international agar indonesia bisa
mendapatkan keuntungan dari peluang liberalisasi sektor financial ,investasi dan
perdagangan. Setidaknya indonesia tidak perlu mengemis bila perlu hutang.
Seorang pejabat eselon 1 bisa mengundertake commitment mendatangkan dana
berhutang untuk menutupi difisit anggaran. Sangat mudah.Konsep dari amandemen
UUD 45 ini harus dipertahakan.
Lantas apa yang harus dirubah
agar kekuasaan menjadi hal yang menyenangkan? Yang harus dirubah adalah
memastikan bahwa anggota DPR tidak bisa ditangkap atau diselidiki tanpa izin
dari DPR sendiri sebagai institusi.Jadi hak imunitas anggota DPR sama dengan Presiden. Kalau presiden didukung oleh partai koalisi
maka aparat hukum tidak akan mudah mendapatkan izin dari DPR bila ingin
melakukan penyelidikan atau menangkap anggota DPR yang terindikasi melakukan
kejahatan korupsi. Jadi antara DPR sebagai lemabaga dan anggota DPR saling melindungi
dari jeratan hukum. Makanya ketua DPR
harus dipastikan hasil rapat pleno
anggota DPR dan dukungan mayoritas anggota DPR. Agar koalisi DPR bisa menempatkan orangnya sebagai
ketua DPR sehingga agenda DPR sejalan dengan presiden. Kalau begitu ,kata saya,
tidak ada lagi balance power, yang ada adalah singel power. Teman itu
mengangguk sambil tersenyum. Kemudian agar anggota DPR tetap eksis untuk
periode berikutnya maka setiap anggota DPR berhak mendaptkan dana dari APBN untuk membina konstitueannya di Dapil masing
masing. Dana ini harus menjadi anggaran 16 alias anggaran bablas.Tidak ada
keharusan untuk diaudit karena resiko moralnya kembali kepada anggota DPR bila
dia tidak menyalurkan dana itu maka dia akan ditinggalkan oleh konstituennya.
Saya sempat tidak percaya dengan kata kata teman ini. Saya pilkir itu hanya
kisah imaginer saja. Karena system negara tidak memungkinkan adanya single
power.
Apa jadinya bila Presiden
terpilih didukung oleh koalisi besar yang mewakili 2/3 anggota DPR? Tentu single
power bukan lagi imaginer. Ya dari
system demokrasi secara procedural bisa by design menempatkan satu gerombolan orang
menjadi satu kekuasaan atau single power. Tapi itulah pilihan dari koalisi merah putih yang di design oleh kubu Prabowo Hatta paska Pileg. Setalah itu
anggota DPR dari koalisi merah putih membangun kekuatan untuk perubahan atas Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3). Sebelum Pilpres anggota DPR berhasil menggolkan UU MD3 dengan diwarnai aksi
walk out dari PDIP, PKB dan Hanura.Dengan UU ini maka DPR punya hak imunitas
yang tak mudah dijerat hukum. Untuk merubah UU tidak diperlukan ¾ anggota DPR
tapi cukup 2/3 anggota DPR artinya sama dengan jumlah anggota koalisi merah
putih. Dengan demikian agenda untuk merubah UU KPK agar dikebiri kekuasaanya
dapat dilaksanakan. Ketua DPR akan dapat dipastikan berasal dari koalisi merah putih. Bila Prabowo-Hatta sebagai pemenang maka kita kembali ke era Soeharto tapi Ini lebih berbahaya dibandingkan Soeharto. Karena untuk menjatuhkannya tidak bisa dengan reformasi seperti menjatuhkan Soeharto tapi revolusi total. Bila Jokowi-JK sebagai pemenang maka reformasi dilanjutkan untuk
dibelanya kebenaran, dilaksanakannya kebaikan dan tegaknya keadilan, dan UUMD3 pasti akan digugat melalui MK..Kita lihat nanti tanggal 22.
apa itu UU MD3?
ReplyDelete