Seorang pemuda lajang memprotes
Gubernur Banten lewat SMS karena mengizinkan berdirinya gereja di wilayah
Pandeglang. Namun protes lewat SMS ini berujung dengan urusan Polisi. Pemuda
itu dijebloskan kedalam penjara dengan dakwaan mengamcam seseorang sehingga
seseorang merasa tidak nyaman. Pemuda ini diancam pidana dalam pasal 335 ayat
(1) ke 1 KUHP. Ancaman hukumannya 6 tahu. Saya tidak akan membahas otoritas
Gubernur memberikan izin berdirinya gereja. Ketika membaca berita itu saya
sempat termenung setelah terkejut. Mengapa ? karena saya memandang
demokrasi sebagai sebuah ide yang dicanangkan oleh kelompak menengah untuk
melahirkan kepemimpinan yang terseleksi , dan dipilih langsung oleh rakyat.
Tentu secara ideal ,pemimpin terpilih adalah ideal pula karena dipilih secara
bebas lewat seni kompetisi ala
demokrasi.
Hukum pidana yang dijatuhkan
kepada pemuda itu atas dasar delik aduan. Siapa yang mengadu ? ya pemimpin yang
dipilih oleh rakyatnya sendiri , yang merasa terancam nyawanya oleh mereka yang
memilhnya. Ironi sekali. Benarkah pemimpin itu memang terpilih ? Pertanyaan itu
tak perlu dijawab karena konsep demokrasi hanya ada ditengah gelegar
pemilu/pilkada. Ketika itu pagar tinggi penguasa menjadi rendah, pintu gerbang
kekuasaan terbuka lebar dengan hiasan disana sini. Namun setelah usai pesta
pemilu maka semua kembal menutup. Rakyat banyak tak bisa lagi melihat apa yang
terjadi didalam pagar itu, apalagi yang
ada didalam benak penguasa itu. Rakyat banyak hanya bisa merasakan penguasa
semakin jauh jarak seiring semakin banyaknya jalan yang rusak, rumah sekolah
yang bojor atapnya, rumah sakit yang semakin pelit melayani orang miskin dan
akhirnya membiarkan orang mati dalam kesakitan tak terobati.
Lantas untuk apa sebetulnya
tujuan Pemilu ? Jawabnya pasti “ tidak ada tujuan kecuali merebut korsi sebagai
ladang hidup senang tanpa kerja keras. Ini perampok secara sistematis dari
kebodohan orang yang banyak , yang masih percaya akan hari esok, yang masih
percaya akan hope dari janji para politisi yang selalu bermanis muka namun
bagaikan srigala berbulu domba. Ini sudah menjadi design politik ala reformasi. Ada ratusan partai politik yang tak pernah
jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan
ideologinya, bahkan tak pernah jelas tanda gambarnya. Ada ratusan partisipan
yang memperebutkan korsi diparlemen dan ratusan korsi Kepala Daerah Tingkat Dua
dan puluhan korsi Gubernur. Semua bersaing dan bersaing. Tujuannya hanya satu :
kekuasaan. Soal bagaimana kekuasaan itu didapat tidak penting. Para
Penyelenggara pemilu dan pengawas nampak bingung dengan semua itu karena mereka
juga tak lepas dari tekanan para partisipan. Tekan menekan, terjadi dan membuat
semakin bingung dan semakin tidak jelas untuk apa Pemilu/Pilkada itu ada .
Jangan-jangan, di negerti inilah sebuah
pemilu dipaksakan ada untuk sebuah symbol sebagai Negara modern tapi kampungan.
Mengapa kampungan? Karena semakin lama semakin menampakan wajah dari gerombolan
penipu yang membuat muak rakyat banyak. Makanya tak usah terkejut bila seorang
pemuda desa yang tak terdidik baik dikampus secular berani menyampaikan
kekesalannya lewat SMS .Itu hanyalah letupan dari kekesalan atas opera kampungan
yang telah memakan ongkos miliaran namun tak jelas tujuannya. Terbukti pemimpin
yang lahir dari opera kampungan itu memang berjiwa kampungan. Lapor ke Polisi
dan menggunakan pedang hukum untuk menghunus rakyat yang seharusnya dicintai,
dibina dan didengar walau pahit rasanya. Tapi sayang, memang system demokrasi
tidak bisa melahirkan pemimpin seperti Ali Bin Abi Thalip yang mau mendengar rakyatnya
walau dihujat dan diancam pedang didepannya. Ali tetap tersenyum tanpa membalas
marah dengan pedang kekuasaanya.
Segala ulah yang memalukan oleh
para politisi dan pemimpin negeri ini sebetulnya mereka sedang mempertontonkan
kebobrokan demokrasi sebagai sebuah system. Rakyat semakin sadar , semakin
paham bahwa mereka tak ubahnya dibodohi oleh segelintir orang yang malas dan
culas. Dan karenanya lewat system demokrasi yang mengusung kebebasan berbicara
dan berpendapat, rakyatpun bicara tapi hanya sebuah SMS seorang pemuda desa
harus masuk penjara. Jadi kesimpulannya tak ada kebebasan seperti nilai nilai
demokrasi. Itu semua umong kosong. Yang ada adalah kekuasaan yang tak boleh disinggung
hatinya apalagi sampai bernada mengancam. Rakyat harus diam! Tak ubahnya dengan
kekuasaan dictator , hanya bentuknya berbeda namun tujuan sama : menindas.!