Friday, May 20, 2011

Kebersamaan...

Hari ini , saya menikmati kehidupan dalam komunitas saya. Keluar rumah , saya berjalan kaki ke pangkalan Ojek. Baru melihat saya nongol ditikungan jalan, tukang Oject yang lagi mangkal langsung semua berdiri dan selalu diiringi dengan senyuman. Biasanya mereka adu cepat menawarkan diri dalam suasana berkompetisi. Namun kali ini , mereka serentak menawarkan ojek salah satu temannya. ” Pak Haji, naik ojek dia aja ” kata mereka serentak. Saya tidak tahu mengapa begitu. Dengan bismillah, saya ikut saja. Dalam perjalanan, tukang ojek itu cerita tentang uang sekolah anaknya belum bayar. Dalam hati saya tersenyum. Tahulah saya mengapa teman temannya minta agar saya naik ojek dia. Setelah turun dari ojek, saya membayar ongkos oject dan tip untuk uang sekolah anaknya. Tahap awal perjalanan, saya menyaksikan kebersamaan dari komunitas terkecil dilingkungan terdekat saya. Mereka tahu temannya punya masalah dan mereka peduli dengan temannya.

Dari pinggir jalan raya, saya naik angkot. Seperti biasanya, supir angkot tidak akan pergi sebelum penumpang penuh. Siang itu udara cukup panas. Tapi tidak ada satupun penumpang angkot yang mengeluh dengan ulah supir angkot yang tak beranjak pergi sebelum penuh. Setelah cukup lama menanti, akhirnya supir angkot menyerah untuk terus berangkat walau penumpang belum penuh. Dalam perjalanan menuju terminal, matanya dengan awas melirik disetiap mulut gang. Berharap ada penumpang yang melambaikan tangan minta ditunggu. Feeling nya cukup kuat, bila dia yakin ada calon penumpang akan keluar dari gang, dia akan menunggu dengan sabar. Kembali kami para penumpangpun harus ikhlas menunggu dalam kepanasan. Tidak ada gerutu atau kesal. Apa yang saya rasakan bahwa komunitas ”bawah” terlatih sabar dengan sarana ala kadarnya. Pemberi jasa maupun penerima jasa , sadar sesadarnya untuk saling memaklumi. Memang aturan tertip dijalan dilanggar, namun Polisi hanya melihat tanpa berbuat sesuatu untuk menegur. Hukum boleh berkata tapi realita menghapus hukum itu sendiri.

Setelah turun dari Bus Way di terminal Pasar Baru, saya berjalan kaki ke Mesjid Istiqlah untuk sholat Lohor. Dekat lapangan banteng, langkah saya terhenti melihat disamping halte dua orang anak manusia sedang makan siang. Satu bungkus nasi dimakan berdua. Mereka tidak memperdulikan hilir mudik orang berjalan. Siang ini mereka menikmati makan siang dari rezeki yang mereka terima. Saya melihat dari kejauhan ada temannya menghampiri mereka yang langsung ditawari makan. Nasi bungkus itu yang hanya berisi tempe dan tahu, dibagi untuk tiga orang. Maka pesta makan siang berlangsung dengan keringat mengalir dikening mereka. Mereka makan dengan lahapnya. Saya tahu bahwa mereka adalah kelompok urban yang hidup melata di Jakarta dengan tanpa penghasilan tanpa hope. Tapi mereka tetap bertahan, karena...kebersamaan. Saling berbagi dengan iklas. Sedikit didapat ,sedikit itulah dibagi.

Seusai sholat lohor, saya makan siang di warteg dekat Mesjid Istiqlal. Selama saya makan saya melihat orang sehabis makan hanya dicatat oleh tukang warteg tanpa membayar sama sekali. Ketika saya tanya, petugas warteg itu mengatakan itu catatan bon ( hutang makan ) yang akan dibayar kelak. Tentu setelah yang berhutang punya uang ( entah dari mana karena tidak punya sumber panghasilan tetap ) . Saya tertegun. Sebuah jalinan kebersamaan yang luar bisa dan hampir tidak ditemui dalam dunia kapitalis. Komunitas yang akrab lahir batin. Pedagang warteg itu telah bertindak sebagai undertaker dan juga provider sosial tanpa ada insetif permerintah, tanpa UU dan Peraturan. Walau setiap hari ada petugas kota memungut retribusi namun dia sadar hanya masalah waktu tempatnya akan digusur oleh PEMDA demi ketertiban kota dan tentu hutang pelanggan akan sulit ditagih. Dia mengambil resiko demi komunitasnya terdekatnya.

Saya membaca koran di tangga Mesjid Istiqlal. Ada artikel menarik tentang seseorang yang mantan pedagang kaki lima, mengorganisir pedagang kaki lima untuk membangun Mall Modern. Tidak ada bantuan pemerintah, tidak ada bantuan perbankan, tidak ada bantuand developer komersial. Mall terbangun berkat kebersamaan pedagang kaki lima. Maka jadilan Mall modern pertama di Indonesia yang dibangun oleh komunitas pedagang kaki lima. Mal terbangun untuk menampung komunitas PKL dan otomatis mereka terangkat dari status informal menjadi formal. Saya termenung., hari ini, saya melihat dan merasakan, mengetahui dengan pasti sebuah realita tentang negeri yang saya cintai. Kalau Rakyat china dan Jepang, hebat dalam kebersamaan, maka Rakyat Indonesia lebih hebat. Kalau rakyat AS dan Eropa hebat soal kreatifitas , rakyat Indonesia lebih kreatif dan gigih dalam besyariat. Mengapa ? Rakyat negara lain hebat karena system politk dan elitenya qualified. Tapi Indonesia elite politiknya brengsek namun rakyatnya tetap mampu mandiri. .

Jadi, andaikan Indonesia memiliki elite politik yang qualified lahir batin untuk kepentingan rakyat, saya yakin Indonesia adalah negara hebat terhebat didunia. Tidak usah ada program kemandirian karena rakyat memang sudah mandiri. Yang diperlukan kini adalah pemerintah yang mandiri dari segala pengaruh kekuatan asing. Engga percaya ? silahkan para angota Dewan , President, Menteri, Gubernur, Bupati, turun langsung ditengah tengah masyarakat bawah yang merupakan mayoritas populasi negeri ini. Saya yakin kesimpulannya akan sama dengan saya. Jadi tidak perlulah studi banding ke luar negeri. Membangun itu melihat kedalam bukan keluar dan tentu dengan niat baik , yaitu amanah kerena mencari ridho Allah.. Ya kan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.