Saturday, July 3, 2010

TDL dan kita

Kalau kita lihat laporan keuangan PLN, nyata sekali bahwa kondisi keuangan PLN cukup kuat. Walau tahun tahun sebelumnya PLN mengalami kerugian namun tahun kemarin PLN mencatat laba sebesar Rp. 7,6 Triliun. Pemerintah berbangga hati karena berhasil memperbaiki kondisi keuangan PLN. Dari kacamata kapitalisme, Ya. Namun dari segi social responsibility semakin jauh untuk dikatakan berhasil. Listrik sudah menjadi komoditas kapitalis untuk memaksa konsumen membayar dengan harga yang sesuai dengan prinsip prinsip ekonomi kapitalis.

Pemerintah tak bisa berbuat banyak untuk membelokkan kehendak pasar keuangan bahwa PLN hanya akan mampu mengakses dana bagi ekspansinya bila menutup rapat tanggung jawab sosialnya. Komunitas rakyat yang diatas 200 juta adalah konsumen yang sangat potensi untuk menarik dana orang kaya masuk dalam business energi ini. Legitimasi PLN sebagai business monopoliy merupakan risk management bagi investor untuk memastikan uangnya aman dan berlipat. Pemerintah yang rendah kepeduliaannya kepada rakyat adalah sistem yang kondusif bagi investor. Dari semua itulah design pembangunan dibuat diatas cerita "peduli pada rakyat" diatas cerita " kemanusiaan yang adil dan beradab namun TDL tentap harus naik. Subsidi harus dikurangi dan bahkan bila perlu dihapus karena distorsi pasar.

Lantas bagaimana dengan rakyat akibat kenaikan listrik ini, yang harus menghadapi eskalasi kenaikan harga sebagai akibat dari derivative kebijakan kenaikan TDL itu ? oho itu tidak pernah terpikirkan dalam kebijakan kapitalis. Rakyat dalam definisi kapitalis adalah mereka yang mampu bayar pajak. Selebihnya sampah. Pajak itu tidak melulu dalam bentuk langsung atau tidak langsung tapi juga ada yang dikemas dalam bentuk kebijakan harga. Kenaikan harga akibat kenaikan tariff adalah salah satu bentuk memaksa rakyat membayar kontribusinya bagi kelangsungan rezim kemaruk uang. Tentuk akan menyengsarakan rakyat ? Tunggu dulu , jangan buru buru bilang pemerintah zolim. Dengar prinsip kapitalis, yang kuat yang menang. Bagi rakyat yang lemah memang harus ikhlas untuk digilas zaman dan bagi yang kuat akan diberikan ruang untuk berproduksi dan berkosumsi. Ini hokum purba , hokum alam.

Memang menyakitkan dikelola dengan cara dibiarkan untuk hidup ditengah situasi yang kuat yang menang. Tapi kehidupan memang begitu adanya.tak ada charity lagi untuk menjadikan kumpulan manusia sebagai beban. Proses harus dilewati sebagai sebuah pilihan yang tak sempurna. Apakah sosialis sebagai sebuah solusi? Tak juga benar bila kenyataanya socialis mengontrol harga tapi juga mengontrol kebebasan. Antara kapitalis maupun socialis berada dalam kurungan dengan tangan dirantai oleh princip buy low sell high and pay later. Pemilik uang bukan lagi negara. Uang sudah teridistribusi dalam system kepada semua orang kaya. Orang kaya ini adalah orang orang yang hidup dalam princip individualisme yang tak paham soal hidup harus berbagi. Tak paham soal risk management by social responsibility. Dan pihak bank harus taat kepada orang kaya ini untuk hanya memberikan dana kepada business yang berorietasi laba.

Itulah sebabnya PLN berusaha memperbaiki citra keuangannya melalui kenaikan tariff dan rasionalisasi sumber daya manusia.. Itulah sebabnya pemerintah tak berdaya untuk tidak menyetujui kenaikan tariff. Semuanya berujung pada satu titik yaitu membuat PLN bankable untuk mendapatkan financial resource membiayai ekspansi businessnya. Untuk siapa sebetulnya semua ini ? bila PLN laba, maka PLN akan lancar bayar bunga kepada bank dan bank pun akan lancar memanjakan deposan kaya. Bila kelak PLN masuk bursa maka laba itu akan meningkatkan value asset milik pemodal. Sebuah cara sistematis tengah teraktualkan ditengah tengah kita bahwa jangan lagi berharap segala sesuatu bisa murah, jangan pernah lagi berharap selagi rezim ini masih bercokol …Kita bukan lagi rakyat tapi hanyalah konsumen.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.