Saturday, July 17, 2010

Arah kebijakan Ekonomi ?

Suatu hari nanti Indonesia akan masuk dalam sebuah zaman ketika politik kehilangan drama dan skenario. Proses politik akan berjalan menjadi hal yang rutin. Hambar. Karena tidak ada lagi pengikat antara Rakyat dan Negara. Rakyat menjadi konsumen dan Negara menjadi Pedagang. Mungkinkah ? Dulu ketika Orla dan Orba Dari tahun 1970 sampai tahun 2000, kita mengenal APBN dengan format T Account. , rakyat tidak perlu tahu banyak soal APBN. Ini urusan Negara. Yang penting negara punya resource berupa SDA untuk menjadi undertaker kebutuhan social Rakyat. Kebutuhan pangan, papan, dan sandang adalah tanggung jawab negara dan karena itu pemimpin dipilih. Tahun 2000 format itu dirubah menjadi I account. Ini standard Government Finance Statistic. Ia sudah menjadi standard dunia , yang bisa di ukur dan dianalisa oleh siapapun. Jadi lebih transfarance.

Jadi sejak APBN mengikuti format I Account maka dia sudah menjelma seperti Neraca Perusahaan yang mudah dibaca oleh publik. Pemerintah tidak bisa lagi sesukanya menentukan pos APBN. Penerimaan hutang tidak dianggap sebagai penerimaan tapi masuk dalam pos pembiayaan anggaran dan bukan belanja negara. Didalam pos ini , solusi negara mengatasi difisit anggaran akan nampak dengan jelas ( transfarance). Seperti penjualan obligasi, privatisasi, pinjaman proyek, penjadwalan hutang, pembayaran cicilan hutang dan bunga. Semakin besar difisit semakin besar pos pembiayaan anggaran. Semakin besar beban hutang, semakin besar pengurangan pos belanja sosial negara.

Pemerintah selalu berpatokan dengan percentase difisit terhadap APBN sesuai amanat UU tapi volume selalu meningkat karena APBN dipompa terus untuk naik. Dalam 6 tahun APBN naik cepat menembus Rp. 1000 Triliun dan GPD mencapai kurang lebih Rp. 4000 Triliun. Eskalasi kenaikan APBN ini sebagai bagian dari sistem difisit anggaran untuk menutupi pos pengeluaran negara dan pembiayaan anggaran yang terus membesar. Sementara Penerimaan negara bersumber pada Pajak, Pendapatan Bukan Pajak, hibah. Creativitas Pajak terus dipacu agar semakin besar sumber pendapatan negara. Pendapatan Bukan Pajak berupa bagi hasil pengolahan SDA oleh swasta dipacu terus walau harus melepas SDA yang tak terbarukan, juga BUMN dipaksa untuk menghasilkan laba agar mampu memberikan sumbangan pemasukan bagi negara. Loby kepada negara dan lembaga multilateral digalang agar mendapatkan hibah. Hanya itulah sumber penerimaan negara.

Karena sistem penerimaan negara seperti itulah maka posisi dunia usaha ( Swasta/BUMN) sangat penting untuk menjadi sumber penerimaan negara. Artinya benar benar kekuatan negara didapat dari service fee atas legitimate yang diberikan kepada dunia usaha untuk mendapatkan laba sebesar mungkin di bumi pertiwi ini. Sementara pos anggaran sosial akan terus dikurangi agar dunia usaha sebagai income center terus memberikan sumbangan penerimaan. Mengapa ? rakyat yang populasinya nomor lima terbesar didunia adalah potensi market bagi dunia usaha dan bila subsidi dihapus akan mempercepat pertumbuhan dunia usaha ( pertumbuhan ekonomi ?) . Menteri Keuangan dengan teamnya punya cara yang hebat untuk itu yaitu mereka mengurangi pos belanja negara yang berkaitan dengan biaya social seperti subsidi listrik, Air, Kesehatan dan lain lain dan meningkatkan pos belanja negara yang berhubungan dengan instrastruktur ekonomi untuk pengadaan listrik, kesehatan . air dll.

Akibatnya Difisit akan membesar dan menjadi pos pembiayaan anggaran. pada momen inilah, peran undertaker yang menjamin financial resource menutupi difisit menjadi sangat penting. Bank Dunia ( worldbank ) ikut bicara, IMF ikut bicara, Negara kreditur ikut bicara. Pemerintah harus membuat prospectus dihadapan para undertaker fund termasuk underwriting obligasi seperti JP Morgan, Credit Suisse, UBS, Citibank, dll. Yang berlaku adalah hukum pasar uang. Semakin rendah risknya semakin tinggi ratingnya, maka semakin mudah mendapatkan reseouce itu. Platform undertaker ini sangat sederhana. Selagi negara tidak menempatkan rakyat sebagai beban social , selagi negara tidak menempatkan rakyat sebagai program charity ,selagi rakyat ditempatkan sebagai konsumen untuk membayar maka negara akan mendapatkan resource. Semakian besar harga yang dibayar konsumen semakin tinggi ROI maka semakin cepat mendapatkan uang berapapun yang diminta.

Apakah arah kebijakan ini sudah benar ? Mari perhatikan perbandingan GDP terhadap hutang pemerintah : AS tahun 2009 adalah 98%, artinya hampir 100% dari Gross Domestic Product. Inggeris 94%. Jerman 155%. Jepang 205%. Ketiga negara ini digaris depan sebagai kekuatan ekonomi global. Tapi lihat beban hutangnya sangat besar bahkan jepang dan Jerman diatas dari produk domestic brutonya. Hasil survey terhadap kepuasaan Rakyat kepada Negara sangat rendah ditiga negara ini. Mereka menganggap peran Corporate semakin besar mengontrol kehidupan negara. Peran negara semakin kecil. Artnya semakin besar hutang negara semakin rendah akses sosial pemerintah terhadap rakyat. Dengan cara ini GDP semakin terus membesar agar Perusahaan semakin besar memberikan penerimaan kepada negara . Tapi di Eropa maupun di AS dan Jepang ini tidak begitu bermasalah karena hampir semua perusahaan itu adalah milik local dan sumber hutang juga sebagian besar berasal dari dalam negeri..

Hutang Indonesia terhadap GDP sebesar 28%. Masih tergolong rendah dibandingkan Philipina yang 33% tapi tetap lebih tinggi dibanding Thailand yang 25%, Singapore yang 11 % dan Malaysia yang 25%. Apakah fenomena kemajuan ekonomi yang dipicu oleh difisit anggaran untuk menambah pos pengeluaran anggara lebih baik ? apakah kita akan meniru AS dan Eropa yang semakin jauh dari tanggung jawab sosialnya kepada rakyat dan mengalihkannnya kepada Corporate karena beban hutang. Ataukah kita meniru China yang hutang pemerintah hanya 7% dari GDP dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa menghilangkan tanggung jawab sosialnya kepada rakyat. Ataukah kita mau meniru Iran yang hutangnya hanya 6% dari GDPnya tapi mampu mensuply kebutuhan dasar rakyat dan mandiri disegala bidang. Walau Iran di Embargo ekonominya oleh PBB.

Yang jadi masalah di Indonesia adalah sebagian perusahaan itu milik asing atau berafiliasi dengan asing secara langsung maupun tidak langsung. Semakin besar APBN semakin besar volume pembiayaan anggaran maka semakin besar ketergantungan penerimaan Pemerintah terhadap dunia usaha, yang sebagian besar dikuasai asing. Inilah yang menyedihkan. Inilah yang disebut dengan neocolonialism. Seharusnya kebijakan Pembangunan itu adalah menjadikan rakyat sebagai kekuatan membangun dengan menciptakan pemerataan agar semua rakyat dapat menanggung beban social secara berjamaah tanpa menguntungkan segelintir orang ( corporate ). Dan negara mengawal Resource national untuk lahirnya keadilan social. Untuk apa ekonomi tumbuh tinggi tapi nyatanya semakin menghilangkan tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat apalagi mengalihkannya kepada TNC asing. Bukankah itu tujuannya rakyat memilih pemimpin ?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.